09:00 saya sudah siap menunggu bus jurusan Surabaya ( Bungur asih ) dan pukul 22:00 barulah ada bus yang mengangkut saya menuju Bungur. Awalnya saya pikir dalam 2 jam saya sampai di terminal bungur, ya karena bus jenis ini terkenal ugal- ugalan di jalur panturan ( Semarang- Surabaya) namun entah apa yang di pikiran supir saat itu bus melaju sangat lambat bahkan dalam bahasa lebaynya melaju seperti keong. Saya tiba di Bungur sudah pukul 01:30 menunggu barangkali ada Damri dalam lebatnya hujan tengah malam. Info yang saya dapat dari penjaga toilet Damri paling awal adalah pukul 05:00 artinya saya bisa tiba di bandara sudah pukul 06:xx, tak lama pun datang supir taksi menawarkan jasa. Dengan sedikit terpaksa saya sikat harga 75ribu naik taksi ke bandara karena memang sudah tidak ada Damri jam segitu. Pukul 03:00 saya sudah ready di bandara Juanda dan hujan masih turun dengan deras mengguyur bumi. Belum sempet tidur karena sudah mepet juga mau tidur kemudian saya menghampiri travel partner saya Hafiz yang sudah menunggu sedari pukul 20:00. Gerbang check in sudah di buka kami langsung saja masuk dan menunggu flight pukul 06:05 naik Lion Air. Flight Surabaya – Denpasar Alhamdulillah lancar dan aman di tempuh dalam waktu 2 jam ( karena perbedaan waktu). Di Denpasar pindah pesawat ATR Wings Air menuju Tambolaka Sumba dan mendarat di Tambolaka Sumba pukul 12:00. Karena sudah sangat lapar tidak sempat sarapan kami segera mencari warung nasi, ketika sedang makan kami di hampiri orang tak di kenal yang menawarkan hotel. Ternyata yang akhirnya saya tahu namanya oktavianus ini adalah karyawan hotel Sinar Tambolaka yang di rekomendasikan teman saya. Seusai makan siang di bandara kami langsung menuju hotel Sinar dan check in, disini terpaksa check in room standar ( 350ribu/malam) karena room ekonomi sudah full dan hanya bisa menginap satu malam karena keesokan harinya semua full booked.
Selesai ngobrol dengan resepsionis hotel mengenai destinasi dan bagaimana cara kesana akhirnya kami beranikan diri keluar hotel dan melihat- lihat di sekitar. Tak butuh waktu lama kami langsung di serbu pasukan tukang ojek dan supir losbak. Tapi tak perlu khawatir disini mereka ramah dan tidak ada paksaan untuk menyewa mereka seperti di beberapa tempat lain. Akhirnya saya dan Hafiz deal dengan supir lossbak dan 2 temannya, kami menuju pantai mananga aba dan kampung adat bondo kampumbu. Setelah berkenalan kami cepat akrab dengan Agus, Doni dan Slavianus orang asli Sumba. Hari pertama di Sumba kami tutup dengan menunggu sunset di pelabuhan Waekelo. Sambil bercanda tawa dan minum bir ( mereka bertiga yang minum bir ) hingga matahari terbenam kemudian kami kembali ke hotel.
04:00 terbangun dari tidur panjang dan cukup nyenyak. Gerimis biasanya kulihat manis kini justru membuatku cemas. Sampai akhirnya mobil bang doni yang kami sewa tiba pukul 08:20 namun gerimis belum juga reda. Bersyukur tidak jadi sewa motor karena sudah pasti basah kalau nekat atau tidak harus nunggu reda baru berangkat explore. Sebentar bangdoni jemput mama ke gereja baru kami berangkat pesiar ( bahasa orang NTT ) . Mayoritas penduduk Sumba adalar beragama kristen dan katolik sehingga banyak orang pigi ke gereja di minggu pagi. Selain Nasrani masih banyak pula masyarakat Sumba yang beragama/ ber keyakinan Marapu. Selesai bangdon jemput mama dari gereja kami segera berangkat, “Aman sudah!” kata bangdon. Perjalanan menuju Bondo Kodi dengan melintasi hutan jati dan beberapa perkampungan. Ada beberapa kemiripan yang saya temukan di Sumba dengan Tuban Jawa Timur. Hutan Jati, Rumah dari anyaman bambu kemudian mulai berganti tembok dari batu kapur, daratan sebagian besar sama sama di dominasi karang dasar laut yang muncul ke permukaan serta banyaknya pohon lontar yang di jadikan minuman ataupun gula khas daerah.
Tiba di desa Kodi kami menambah penumpang sekaligus guide kami menuju Danau/ Laguna Weekuri. Namanya Ongky adik ipar bangdon, asli dari bondokodi dan sudah bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sumba pada umumnya serta bahasa daerah Kodi itu sendiri. Kalau menurut cerita bangdon di Kodi ini masih banyak orang yang tinggal di pinggiran belum banyak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Sumba secara umum pun banyak yang belum bisa, sebagian besar bisa dan pandai bahasa daerah Kodi saja. Ya memang bahasa Kodi dan Weetabula sudah berbeda. Ongky adalah lahir di Kodi dan kini dia adalah seorang lulusan SMA dan lebih sering bekerja sebagai supir truck ekspedisi dari jawa timur/ Surabaya ke Sumba. Di tengah perjalanan bangdon tetiba mendapat telp dari bos nya yang tempo hari memesan Tanah kavling di Sumba Barat Daya. Karena bangdon tidak bisa menemani maka kendali mobil di serahkan kepada Ongky. Biar bangdon tenang mengurus penjualan tanah dengan Bos nya dari Bali. Ya memang benar sedang ada penjualan tanah besar besaran di Sumba. Lanjut perjalanan menuju Weekuri, sebentar kami melewati jalan kampung yang masih cukup bagus dan sebentar kami melewati jalanan tak beraspal menuju laguna weekuri. Dari jalan tak beraspal masih 1 jam perjalanan karena jalan yang tidak bagus maka laju kendaraan pun tak bisa berlari kencang.
Sebuah laguna, ya laguna karena air yang masuk adalah air laut melalui sela sela batu karang dalam bahasa Sumba mempunyai arti weekuri adalah air yang dikupas. Jernihnya air laguna dan tenang terlihat gradasi warna tosca ke hijau permata. Laguna dengan di kelilingi oleh batu karang dan berbatasan langsung dengan laut. Saat hari minggu atau liburan Weekuri sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan, baik dari daerah lain di Sumba bahkan dari luar Pulau Sumba sekalipun. Untuk kebersihan di Weekuri masih terbilang cukup terjaga namun sayangnya belum ada tempat sampah yang memadai untuk pengunjung membuang sampahnya. Sebentar saya berenang di laguna merasakan air yang sebening kaca dan dingin menyegarkan. Saya lihat- lihat sekeliling di bawah air tidak nampak adanya kehidupan baik coral maupun ikan. Puas berenang saya naik dan menutup acara di Weekuri dengan mengambil foto serta video dari tebing batas laguna dengan laut.
Tak jauh dari laguna Weekuri kami melanjutkan explore ke pantai mandorak. Pantai kecil dan seolah terdapat mulut/ gerbang yang terbentuk oleh batu karang. Pemandangan dari atas batu karang dan pantai sangat indah. Selain pemandangannya yang indah banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar pantai ini. Para nelayan langsung menjual hasil tangkapanya di pinggir pantai. Dengan perahu kecil/ sampan mereka menjaring ikan sedapatnya dan ada pula yang lainnya dengan cara memancing dari atas batu karang. Tidak begitu lama kami di pantai Mandorak dan langsung melanjutkan ke kampung adat terbesar di Sumba yaitu Ratenggaro. Untuk lama perjalanan dari Weekuri/ Mandorak menuju Ratenggaro sekitar 1 jam. Ratenggaro ini salah satu kampung adat terbesar dengan kubur batu terbanyak di Sumba. Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adat (Uma Kelada) dengan menara yang menjulang tinggi mencapai 15 meter, berbeda dengan rumah – rumah adat di kampung lainnya yang tinggi menaranya hanya mencapai 8 meter. Ratenggaro yang berarti Kubur Garo ini ada 304 buah kubur batu dan 3 diantaranya berbentuk unik yang terletak dipinggir laut dan merupakan kuburan bersejarah. Masyarakat dikampung ini masih mempraktekkan tradisi Marapu dan adat istiadat peninggalan leluhur seperti kampung – kampung lain pada umumnya yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasi situs Kampung Ratenggaro berdekatan dengan situs kampung Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara sungai Waiha dengan bentangan pantai berpasir putih. Kampung Ratenggaro juga sering di datangi oleh wisatawan kapal pesiar karena terletak di pinggir pantai dan terlihat jelas dari kejauhan ketika berada di atas kapal, serta sangat mudah dijangkau dari bibir pantai dengan berjalan kaki sekitar 200 meter. Namun sayang di hari kedua kami explore terpaksa ada 2 destinasi yang di skip, yaitu pantai mbawana dan pantai watu maladong. Dengan alasan jauh dan jalan yang rusak akan memakan waktu kurang lebih 2 jam.
Video Perjalanan Sumba
Setelah dari Ratenggaro kami kembali menuju Waetabula untuk menunggu bus yang menuju Waikabubak. Diantarkan Ongky dengan oto bangdoni kami melaju kencang agar tidak ketinggalan bus. Bus terakhir dari Waetabula menuju Waikabubak adalah pukul 17:00 WITA. Setibanya di Waikabubak kami turun di Polsek kemudian berjalan sebentar ke Hotel Pelita dengan tarif 250/ malam. Kemudian sembari mencari makan malam dan mencari info adakah hotel lain yang lebih murah. Sambil makan nasi soto ayam kami mendapat info dari pemilik warung bahwa ada wisma yang harganya jauh lebih murah yaitu 100ribu/ malam. Dengan diantar anak pemilik warung kami menuju wisma yang tak jauh dari warung si bapak.
Video Sumba
Cerita Lanjutannya Selama di Sumba
http://tjuputography.com/air-terjun-lapopu-dan-matayangu-sumba-barat.html
http://tjuputography.com/puru-kambera-kakaroluk-loku-sumba-timur.html
http://tjuputography.com/watu-parunu-kaliuda-waimarang-bagian-timur-sumba-timur.html