Siang hari terik matahari mulai menyengat kulit pertanda cuaca cerah dan beratap langit biru. Deru ombak berkejaran menuju bibir pantai disambut dua bocah yang asik bermain air. Dermaga kecil gerbang memasuki pulau Moyo mereka menamainya labuan aji. Perkampungan kecil berpenduduk tak lebih dari 150 jiwa berasal dari suku Bima mendiami pulau Moyo sudah sejak tahun 19xx. Hutan lebat dan sengaja tak di urus oleh warga kampung dan pengelola Amanwana resort, karena mereka masih berfikir nantinya akan merusak keseimbangan ekosistem jika mereka membuka hutan untuk kepentingan mereka. Rumah panggung berderet dengan jarak yang sedang saja tak rapat seperti di Jakarta tak terlalu renggang juga seperti di Jawa. Kesan pertama melihat wajah penduduk kampung saya sudah psimis bakal “unwellcome” kepada kami. Wajah tegas kulit eksotis berperawakan kurus kekar terlihat sangat garang dan sinis. Tanpa senyum mereka seperti prajurit perang siap mengayunkan pedangnya. Mencoba mengenal mereka lebih dekat, ajaklah tersenyum dan menyapanya maka itulah aslinya mereka yang sangat ramah serta bersahabat. Kami berenam sangat beruntung datang tanpa ada turis lain di pulau Moyo ini. Mendapat tumpangan di rumah pak Madi seorang juragan saudagar kaya di Moyo. Kemudian mulai melakukan tawar menawar sewa motor serta guide untuk explore pulau Moyo. Ramahlah kepada mereka maka duakali lipatnya keramahan mereka kepada kamu. Setelah bersendau gurau disertai obrolan serius tawar menawar harga akhirnya kami mendapat kesepakatan harga bagus. Pukul menunjukkan pada 15:00 kami baru memulai petualangan di pulau kecil penuh ketenangan dan keindahan ini. Jalanan tanah sesekali di plester dengan beton yang sudah rusak sedikit naik turun di kanan kiri hutan lebat rindang menghiasi. Beberapa belas menit kami tiba di air terjun mata jitu, spot pertama penuh decak kagum. Hawa dingin angin bertiup sangat pelan rimbunnya pepohonan hijau meneduhkan air terjun Mata Jitu ini. Gemercik air yang jatuh suaranya sangat bening sebening air yang menetes.
Air hijau bercampur biru perpaduan warna menjadi tosca berkilauan karena saking beningnya. dasar sungai terlihat jelas sepertinya cetek namun tubuhku yang setinggi 177 cm ini tenggelam dibuatnya ketika menceburkan diri. Sepertinya sangat sayang jika suatu hari nanti tempat ini ramai dikunjungi dan rusak karena ulah manusia Endonesa. Beberapa bangunan seperti pagar jalur treking dan jembatan sungai yang terbuat dari batang pohon serta ranting membuat harmoni alam di tempat ini sungguh terasa. Kicau burung dan nyanyian tenggeret menambah kedamaian menghipnotis kami agar tak mau meninggalkannya. Tak terasa sudah satu jam kami menikmati surga tersembunyi ini, saatnya berpindah ke surga lainnya. Meninggalkan air terjun Mata Jitu menyusuri jalan setapak terkadang terjal beton rusak tanah berpasir hutan lebat di kanan kiri semoga tetap begitu hingga nanti. Tak cukup setapak dan terjal beberapa kali kami menyebrang sungai kecil untuk sampai di air terjun Niwu Mbai. Di atasnya genangan air seperti kolam dangkal dengan air bening berhiaskan guguran daun berwarna kuning. Di bawahnya kolam sungai yang lebih dalam dijadikan tempat mendaratnya mereka yang berlompat- lompatan terbang diatas air terjun. Tak hanya diatasnya yang indah, dibawah air hidup ikan ikan sebesar telapak tangan meski tak berwarna warni namun indahnya sangat sempurna. Air terjun Niwu Mbai bening segar damai arus yang tak begitu kencang teduh rindang pepohonan. Cuma tiga puluh menit kami dipaksa meninggalkan Niwu Mbai ini karena waktu sangat sempit dan kami harus mengejar matahari tenggelam di Batu Kapal.
Mengulang yang sudah menyusuri jalanan setapak berhiaskan hutan lebat dikanan kiri. Pantai batu kapal, ya namanya sesuai kondisi tempatnya pantai dengan batu karang besar menjorok ke laut berbentuk seperti kapal sedang bersandar. Diatas batu kapal kita dapat merasakan adegan seperti di film titanic dan di bawah kita dapat melihat kegagahan kapal sedang dihantam ombak. Perlahan matahari memerah matahari dari kuning menuju merah, dari seperempat langit menuju tenggelam. keindahan setelah sunset memberikan kejutan warna warni langit menggelora seakan langit sedang menghibur kami yang ada. Di pantai ombak datang silih berganti di langit awan berjalan lambat warna merah biru orange berpadu padan menyempurnakan aftersunset senja kala itu. Benar jika lady dyana menyempatkan untuk singgah sejenak di pulau seindah ini. Duduk menikmati semilir angin pantai serta suara merdu deru ombak bertautan menabrak karang batu kapal. Berpagarkan kayu kayu kecil dirangkai tertancap membuat batu kapal semakin mirip dengan Titanic. Tak jauh dari bongkahan batu kapal dapat kita liat deretan cottage milik Amanwana yang damai dan tenang dalam lengkungan teluk. Sayangnya area laut teluk tidak dapat serta merta di nikmati keindahan bawah lautnya, hanya tamu resort yang boleh diving atau snorkling disana. Semakin gelap lamunan semakin jauh menelusur, tiba tiba disadarkan oleh percikan debur ombak di wajahku. Jam ditangan pun menunjukkan pukul 18:49 pertanda matahari sudah benar benar tenggelam. Menyusuri belantara hutan lebat pulau Moyo meninggalkan pantai Batu Kapal menuju perkampungan Labuhan Aji. Jalan gelap tak berambu sedikitpun, melenceng sedikit saja sudah tentu kita nyusruk direrumputan ya itulah yang terjadi padaku. Motor yang saya pakai memang sudah custom tak berbentuk, motor ala trail tanpa lampu memang membuat kerja ekstra untuk digunakan malam hari tanpa penerangan sedikitpun. Dengan bantuan lampu motor bang Bento dan mas Doni kami berjalan perlahan beriringan. Benar- benar menambah koleksi pengalaman ngetrip gokil, nekat, ngawur, tanpa rencana dan penuh tantangan. Biasanya memang saya suka nekat dan menantang namun kali ini bisa di bilang lebih dari biasanya. Hanya setengah jam kurang kami sudah tiba di rumah pak madi sang juragan desa. Malam hari kami istirahat sambil bercakap cakap bercengkrama bersama di teras rumah pak Madi sembari meneguk teh hangat khas malang bercerita banyak tentang perjalanan, gadis Sumbawa, laki- laki solehah dari Lombok, jodoh yang baik, masyarakat Moyo yang magis, istri- istri pak Madi yang sudah 5 jumlahnya, dan kegiatan mas Doni sebagai guru SMP. Setelah larut dalam hangatnya suasana dan gelapnya malam akhirnya kami sudahi dan segera tidur karena keesokan harinya harus meninggalkan pulau Moyo. Pukul 07:00 kami sudah siap meninggalkan rumah pak Madi menuju Amanwana resort untuk numpang lewat sebentar naik ke kapal menyebrang kembali ke Labuhan Badas. Tiga jam selama penyebrangan saya berharap gelombang ombak sudah tenang dan kapal berenang lancar, namun masih tak jauh beda dengan hari keberangkatan kami. Gelombang setinggi 0,5 – 1 meter menjadi teman setia selama pelayaran.
Video Hidden Paradise Moyo