Tak biasanya langit biru berhiaskan awan putih
Sedari pagi Gubugklakah di selimuti kabut dan awan mendung
Sinar keemasan yang seharusnya menghangatkan suasana pagi juga tak singgah meski sebentar
Hanya kabut- kabut tipis bergantian dengan gerimis dan awan kelabu
Matahari seolah malu untuk menyapaku beserta seluruh isi gubugklakah
Hingga siang gerimis dan kabut yang masih setia menemani sampe saatnya tiba perjalananku menuju Ranu kumbolo di mulai
Menembus lautan kabut desa Gubugklakah hingga Ranupani dan di iringi gerimis hingga hujan deras
Kuda besi yang harusnya sudah siap menerjang segala rintangan sesekali harus meronta mengantarkan kami hingga Ranupani
Menjelang senja kami tiba di Ranupani di sambut oleh beberapa porter dan petugas TNBTS
Perjalanan tertunda dan malam kami habiskan di Ranu Regulo Danau air tawar yang konon katanya masih saudara kembar dengan Ranukumbolo
Danau dengan keheningan malam mendendangkan nyanyian angin dan daun
Kami tak ingin kalah dan ikut mengiringi dengan petikan gitar menyanyikan lagu pemberontakan
Lagu malam tentang kedzoliman seorang pemimpin
lagu perang tentang kehancuran sebuah negara
lagu keras tentang kejamnya kota- kota besar INDONESIA
Dalam tengahnya nyanyian ” Arena ” sengaja menghentikan petikannya dan memaknai arti lagu kami
Bahwa semua yang terjadi harus di kembalikan kepada Tuhan, namun Tuhan yang seperti apakah?
Apakah ada Tuhan selain Tuhan pencipta alam semesta dan seluruh isinya ini?
Ya Tuhan yang bukan benar benar Tuhan, Tuhan mereka para pemabok hingga Tuhan mereka para koruptor
Ketika para pemabok sedang menenggak air setan maka mereka sedang berTuhan kepada alkohol segelas sloki
Ketika para pecandu rokok atau bahkan ganja itu sedang menghisap asapnya maka mereka itulah sedang menghisap Tuhannya
Ketika para koruptor merampok uang negara mereka tidak sadar sedang menuhankan Uang
Dan ketika para dukun meramalkan masa depan mereka telah menuhankan Jin dan Setan- setan jahanam
Jadi Siapa Tuhanmu??? Renungkanlah…
Nyanyian pun berlanjut dan melunak menuju lagu cinta, di mulai dari ” Pengobral Dosa, 22 Januari, Kala cinta menggoda, Galih dan Ratna, hingga Demi Waktu ”
Malam makin larut nyanyian semakin mendayu asap rokok semakin pekat dan terus membakar suasana dengan air kedamaian
Entah kabut ataukah asap rokok yang menyelimuti kami hingga tak ada beda
Tetesan terakhir air kedamaian yang terus di tuang pun berganti tetes embun dari pekatnya kabut
Meneteslah embun malam hingga pagi menggantikan
Semburat sinar matahari menggores mendung pagi hari membangunkan kami
Air hangat danau keheningan serta terik matahari menggores mata menyadarkan buaian air kedamaian seperempat sloki
*hoammmmmssss ternyata saya sudah bangun dari mimpi panjang di ranu Regulo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar