Untuk keduakalinya saya akan menuju daerah tertinggi di Indonesia yaitu Dieng. Setahun lebih yang lalu saya sudah mengunjungi Dieng bersama teman- teman seperjalanan. Kali ini sedikit berbeda dengan biasanya, ya karena saya mengantarkan orang- orang yang ingin mengunjungi Dieng. Bersama team Travollution ada Hafiz, Andi, Endang dan saya sendiri Fathur sebagai team leader dalam perjalanan atau Trip menuju Dieng atau mereka sering menyebutnya negri diatas awan. Perjalan di mulai dengan berkumpul bersama atau bahasa gaulnya meeting point di Plasa Semanggi pada pukul 20:00. Saya tau dan sudah mencium bau bau bahwa Jakarta akan hujan menjelang magrib maka seusai ashar saya memilih untuk berangkat terlebih dahulu. Hujan datang lebih awal tanpa memberikan konfirmasi membuat saya haru berlari dengan menggendong carier 80liter melintasi kerumunan dan hamburan manusia di sekitar halte busway Benhill. Sedikit basah karena sempat kehujanan menjelang tiba di depan Plasa Semanggi. Segera mencari tempat yang nyaman untuk berteduh dan menunggu peserta serta 3 kawan saya sebagai TL. Sampailah pada pukul 21:00 semua peserta sudah berkumpul dan siap di berangkatkan, bersama 70 peserta dan 4 team leader kami melaju menuju Dieng.
Pagi hari menjelang matahari terbit kami berhenti sebentar di perbatasan Tegal- Wonosobo untuk menunaikan shalat subuh bagi yang menjalankan. Kemudian dilanjutkan menuju Dieng dengan melewati jalur pintas berdasarkan GPS namun malah sedikit membuat kami tersesat kehilangan arah. Beberapa peserta mulai bertanya- tanya apakah kita salah arah dan kapan sampainya???, saya hanya bisa menjawab sebisanya dan berusaha menenangkan :).
Sampailah kami di tujuan dari perjalanan panjang ini, Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian 2100 mdpl sebagai Daerah tertinggi di dunia setelah Tibet. Saya sendiri menyebutnya Tibetnya INDONESIA, orang- orang yang memiliki khas warna kulit eksotis pegunungan lah yang membuat mirip dengan Tibet, cuma bedanya Tibet adalah Chinese sedangkan Dieng adalah Javanese. Capek lemas dan lapar itulah saat kami tiba di kawasan wisata Dieng, maka diantarkanlah kami ke homestay yang nantinya adalah sebagai tempat untuk berlindung dari dinginnya malam Dieng. Sekedar membersihkan diri kemudian bersantai dan menikmati secangkir kopi atau teh cukup untuk me-rileks-kan tubuh.
Cukup dengan bersantai dan meluruskan punggung kami segera memulai penjelajahan bumi Dieng. Start dengan mengunjungi kawasan Kawah Sikidang yang menjadi primadona wisata Dieng. Kawah yang masih aktif ini menjadi kawah yang paling ramai di kunjungi wisatawan di bandingkan kawah- kawah yang lain. Mengisi acara dengan berfoto- foto ria serta bercanda tawa bersama- sama.
Tak begitu lama kami di kawah Sikidang kemudian dilanjutkan menuju Dieng Plateau Theater dan batu Ratapan Angin. Dieng Plateau Theater akan menyajikan sebuah film dokumenter Dieng yang berisi beberapa terbentuknya kawah serta kegiatan masyarakatnya. Untuk mereka yang sedang galau bisa melanjutkan ke batu Ratapan Angin, ya di atas puncak tatanan batu ini anda dapat menikmati ketenangan dan keindahan tingginya Dieng dari ketinggian.
Selesai menikmati sajian film dokumenter dan terpaan angin diatas puncak tatanan batu pun kami melangkahkan roda mobil menuju Telaga Warna. Konon katanya dahulu kala ada seorang dewi galuh candra kirana membuang batu permata kalungnya ke dasar telaga sehingga membuat air telaga berubah- berubah sesuai warna permata kalung sang dewi. Sedangkan di sampingnya sebuah telaga dengan air berwarna coklat tak pernah berubah warna karena tidak di lempari batu permata. Seandainya kemaren saya membawa batu permata pasti sudah saya lemparkan ke telaga Pengilon agar ikut berwarna seperti telaga warna.
Malam menjemput terpaan udara dingin semakin terasa meresapi pori- pori kulit. Agar hangat dan tetap fit mas amim ketua Team Leader kami memberikan usulan untuk menikmati semangkok mie ongklok. Mie dengan saus dari tepung kanji dibumbui rempah- rempah dengan bonus 2 tusuk sate. Rasa mie yang khas dan tiada duanya ini memang tidak berhasil memikat semua orang, ada beberapa yang tidak cocok lidahnya termasuk saya karena menurut saya sendiri rasanya memang aneh. Saya tidak suka bukan berarti tidak enak atau tidak baik karena pasti setiap makanan punya daya penggugah selera sendiri- sendiri.
Malam gelap berkelip bintang di langit menghias indah. Suara angin menabrakkan genting menelusup dalam celah bersiul seolah ingin menyanyikan untuk kami. Jauh sebelum sang fajar menyiratkan sinarnya kami sudah siap dan sigap untuk menghadapi dinginnya dini hari Dieng. Berbekal segenggam cahaya kami menuju puncak Bukit sikunir untuk menikmati pancaran sinar merah merona dari sang fajar. Hanya berjarak 30 menit dari tempat singgah kami, di balik bukit- bukit dia sudah menunggu kami. Dengan langkah kaki yang menggetarkan tanah desa Sembungan menuju puncak bukit Sikunir. Aroma pupuk kandang bercampur kabut serta di bumbui bau solar kendaraan yang ramai menuju Telaga Cebong. Tak lama kemudian kami sudah di bawah tiang atap desa Sembungan diatas alas telaga Cebong. Bau pupuk serta solar sudah tiada namun bau kabut tebat semakin kuat membuat jarak pandang kami hanya berkisar 1-2 meter dari depan mata. Hati gelisah terancam gagal bertemu sang fajar pagi yang sudah di harapkan sejak malam. Sampai di punggung puncak pun harapan itu tak jua nampak dan sepertinya saya harus tetap bersabar dan bersemangat. Sebelum menuliskan kata- kata ini semua saya pun tersadar oleh salah satu foto peserta trip Dieng ini. Dari sebuah foto beliau saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa beliau salah satu peserta yang dapat berfikir positif meskipun gagal bertemu dengan sang fajar. Foto ranting- ranting tanpa daun dengan di balut kabut sangat berasa magis namun tetap nyaman untuk di lihat. Tak ada yang sia sia dalam setiap perjalanan dan kekecewaan adalah hal yang sangat wajar namun jangan sampai membuatmu lupa untuk bersyukur.
Sang fajar pun tak lagi malu wajahnya merah merona namun mulai bersemangat dalam menerangi bumi Dieng. Penjelajahan harus dilanjutkan yaitu menuju kawasan candi Arjuna. Setelah selelai sarapan bersama acara di lanjutkan dengan acara bebas bersantai dan berfoto- foto di kawasan candi. Sambil mendengarkan cerita tentang candi- candi dari mas amim beberapa diantara kami ada yang asik berfoto narsis hingga berfoto autis. Berlari kesana kemari seolah anak TK yang menemukan kegirangannya kami menikmati semua kegirangan ini setelah di kecewakan oleh sang Fajar. Di akhir cerita mas amim memberikan pilihan apakah akan melakukan treking menuju padang savana atau cukup bermain main di kawasan museum dan candi Gatotkoco. Pilihan jatuh pada penjelajahan treking menuju padang savana semurup.
Maaf ya om Denny dan Tante Leni saya pakai fotonya untuk padang savana :D. Perjalanan yang dapat juga di sebut pendakian meleset dari perkiraan lamanya waktu tempuh yang di perkirakan. Bukan pendakian sebuah gunung yang hampir memakan waktu tempuh hingga 3 jam. Jauhnya perjalanan membuat sebagian peserta KO dan lemas. Saya pribadi malah senang dengan hal- hal seperti ini, namun dalam hal ini saya beserta banyak orang dengan banyak pemikiran dan pikiran juga. Kalau kata Ayah ” le wong liyo iku ojo mbok padakne karo awakmu ” dari situ saya belajar menempatkan diri sebagai orang lain. Dalam konteks pendakian savana semurup ini pasti tidak semua orang suka dan menikmati, pasti ada yang namanya mengeluh dan bergumam. Mereka yang kurang suka jalan jauh pasti akan sangat tersiksa dengan ini semua. Saya hanya bisa berdoa dan berharap semoga semuanya baik- baik saja serta dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan ini. Perjalanan tidak akan berakhir sebelum sang waktu menjemputmu. Maka teruslah berjalan beriringan dengan waktu karena itulah pilihannya 😀