Mendung awan kelabu mewarnai atap kota jakarta semakin siang semakin gelap dan kelam. Lebak Bulus terminal bus antar kota menuju keluar Jakarta. Seusai membeli tiket bus menuju Bojonegoro saya dan seorang teman saya Yudha menunggu adzan shalat jumat di kumandangakan sembari melihat- lihat bus yang lalu lalang. Hingga usai shalat jumat pun waktu menunggu keberangkatan bus masih sampai pukul 15:00, benar- benar berasa banget mati gaya. Melihat- lihat banyaknya armada baru bus Pahala Kencana dan berharap dapat salah satunya. Mutar muter kesana kemari karena hujan badai pun jatuh juga ke bumi. Dalam wara wiri sempat melewati armada bus Pahala Kencana yang lama dan terfikir jangan- jangan nanti dapat bus ini. Saatnya pun tiba penumpang jurusan Bojonegoro di panggil oleh crew bus untuk segera naik ke dalam bus. Benar dugaan saya bahwa bus yang tadi sempat saya curigai menjadi teman perjalanan menuju Bojonegoro.
Bus di berangkatkan pukul 15:30 dan saya sengaja mengincar duduk di paling depan. Perjalanan bus yang biasa saja tidak ngebut namun juga tidak perlahan. Berjalan beriringan dengan bus yang lain serta beberapa truck besar melintasi jalan tol jalan raya kota hingga jalur pedesaan di apit oleh persawahan dan terkadang pantai serta perbukitan. Jalanan yang kurang bagus dari perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur membuat laju bus dikurangi menjadi perlahan dan hati- hati. Tiba di terminal Bojonegoro sudah sangat terang menunjukkan pukul 08:00. Menuju Tuban kami lanjutkan dengan bus mikro dengan lama tempuh kira- kira satu jam. Pukul 10:00 tibalah kami di desa Kedung Jambe Tuban Jawa Timur. Siang hari sepi meskipun di tepi jalan raya utama Bojonegoro- Tuban desa Kedung Jambe ini tetap tenang sunyi dalam damai. Menjelang ashar suasana hangat penuh kekeluargaan mulai terasa, beberapa laki- laki dewasa keluar dari rumah masing- masing dan ber”cangkruk” bersama dengan stelen kemeja – sarung. Ber-sarung-an rupanya menjadi trend di desa Kedung Jambe ini, style seperti ini mereka pakai setelah ashar hingga setelah isya’. Ngopi bersama sambil ngobrol ngalor- ngidul bercengkrama menambah eratnya kekeluargaan. Saya sebagai pendatang atau tamu di sini sangat merasakan seolah sudah bertahun- tahun tinggal di desa ini. Sebuah keramah-tamahan yang tidak akan terlupakan, tinggal bersama keluarga teman saya Alfian Agung Wibowo. Kehidupan yang jauh dari kemewahan namun penuh dengan keharmonian, kesederhanaan mengajarkan kepada mereka tentang hidup yang bahagia. Baru dua hari di desa ini saya sudah mulai jatuh cinta dengan suasana dan kehidupan yang ada.
Menjelang isya saya dan Yudha temen saya diajak ke masjid oleh keluarga Alfian untuk menunaikan shalat isya’, dalam perjalanan saya sambil mengamati keadaan di sekitar. Langit terang berbintang dingin tenang desa yang penuh kehangatan rumah- rumah dengan pekarangan yang luas ciri khas desa- desa di Jawa. Malamnya seusai shalat isya’ kami mempersiapkan halaman rumah untuk menggelar acara syukuran menyambut hari pernikahan Alfian. Bahu membahu mempersiapkan tikar dan berkat untuk di tata di hidangkan kepada para tetangga yang hadir. Dalam pertengahan acara syukuran seusai berdoa bersama hujan turun dengan deras, para tamu berhamburan mencari tempat berteduh. Ada yang berucap ” iki jenenge Rejeki, di paringi udah karo Gusti ” dan acara pun tetap di lanjutkan hingga selesai.
Pagi datang menghampiri pertanda acara pernikahan Alfian segera dilangsungkan. Pukul 09:00 kami semua sudah siap mengantarkan mempelai pria menjemput calon istri idamannya menuju pelaminan. Berderet mobil dari keluarga – keluarga mempelai pria sudah disiapkan dan di parkirkan di depan rumah. Beriringan menuju rumah sebelah berjarak kira- kira 30 rumah dan di tempuh hanya dalam 15 menit. Dan sah akhirnya Alfian menikah dengan Ririn, acara selesai dan saya pun kembali pulang ke rumah di Boyolali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar