Rabu, 23 April 2014

Santolo, Bandung - Garut Via Pengalengan

Terbayang- bayang bagaimana indahnya jalur meliuk- liuk Bandung – Garut via Pengalengan dari hasil membaca dan mendengar cerita teman yang sudah dulu menikmatinya. Semakin penasaran sayapun mencari informasi dan bacaan tentang jalur tersebut lebih banyak. Beberapa blog dan web telah memberikan cukup informasi yang akhirnya saya memutuskan untuk segera menikmati indahnya jalur Bandung- Garut tersebut. Sesuai rencana bersama adik kelas saya bernama Salman Farozi di kampus Telkom dayeuhkolot kami berangkat selesai Shalat Jumat. Meninggalkan Dayeuhkolot pada 14:00 dan memulai petualangan serasa bernostalgia dengan jalur pengalengan yang berkelok- kelok dan naik turun ciri khas jalur pegunungan. Perjalanan pun tak lancar dan mulus begitu saja sampai di garut, ya karena kami harus berteduh sejenak di mushola depan situ cileunca. Hujan deras turun dari 100 meter sebelum kami sampai di mushola hingga sejam kemudian. Selesai shalat ashar dan hujan reda kami melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman tiba di Garut. Lepas dari Situ Cileunca pada 15:45 dan dengan laju motor tak begitu kencang karena jalanan licin dan berkelok kelok membuat kami harus sangat berhati hati. Beberapa puluh menit kami tiba di daerah perkebunan Teh Cukul, ya Perkebunan Teh yang asri dan indah menyejukkan mata dan inilah view pertama yang katanya memanjakan mata itu. Selama 30 menit kami memang di buai oleh dinginnya udara serta hijaunya pemandangan bagaikan karpet hijau membentang. Dan mulai meninggalkan Perkebunan Teh Cukul kami menjumpai jalur pegunungan dengan sisi kanan kiri adalah jurang- jurang lembah berlipat lipat sungguh menakjubkan apalagi saat itu kami melintasi jalur tersebut sudah memasuki waktu senja sehingga cahaya keemasan mulai membakar kabut dan awan di sekitar lembah dan perbukitan. Lanjut terus dan tak lama kemudian kami memasuki kawasan pedesaan yang tenang dan damai entahlah rasanya seperti ” in the middle of nowhere “. Rumah penduduk yang sederhana jauh dari kemewahan dan kemegahan namun terpancar kedamaian dari dalamnya. Rumah- rumah dari papan dan beratapkan genteng sebagian lagi beratapkan rumbia. Rumah- rumah beberapa berupa rumah panggung dengan di samping serta belakang rumah berupa persawahan dan sungai kecil mengalir air yang jernih. Kumpulan rumah dengan di pisahkan hutan serta lembah dan perbukitan benar rasanya saya sedang entah di mana. Rasanya ingin berhenti dan tinggal sejenak menikmati semuanya. Udara dingin, sawah dengan teraseringnya, sungai berair jernih dan perbukitan berlipat lipat benar- benar memanjakan mata. Kembali lagi ke perjalanan lupakan dulu angan angan barusan, ya kami sudah tiba di daerah Cisewu Garut Jawa Barat. Setibanya di Cisewu pula lamunan saya tergusur oleh tetes air hujan yang tiba tiba turun dengan deras. Bersyukur kami temui rumah terakhir di desa cisewu tersebut dan berteduh lagi sebentar. Rumah papan kayu dengan penggung tidak begitu tinggi terletak di pinggir jalan yang di depannya terdapat warung kecil- kecilan menyediakan mie instan, gula, teh, kopi, beras dan beberapa sembako sederhana lainnya. Sambil menunggu hujan reda saya memesan kopi hitam panas agar tidak kedinginan. Tak lama hujan sudah berhenti dan waktu masih menunjukkan pukul 17:15 kamipun bergegas segera melanjutkan perjalanan. Sambil menikmati sunset kami menghabiskan jalur khas pegunungan berkelok dengan kanan kirinya jurang hingga magrib tiba di daerah Ranca Buaya. Karena sudah gelap dan katanya jalur dari Ranca Buaya menuju pantai Santolo masih sering terjadi pembegalan maka kami memutuskan untuk mencari masjid untuk menginap semalam sebelum melanjutkan ke Pantai Santolo.

Mampir di Cukul

Jalur Cisewu Garut

Perbatasan Pengalegan Cisewu

Cukul

Perkebunan Teh Cukul

Narsis Di Perkebunan Teh

Selesai shalat subuh kami pun segera bergegas meninggalkan masjid Ranca Buaya, langit masih gelap dan terlihat ada semburat milky way di arah timur atas. Sebagai jalur pembukaan menuju Santolo memang jalannya masih mulus dan terlihat baru namun setelah beberapa belas menit jalan berubah menjadi ancur dan tidak karuan. Dengan jalan yang kadang bagus kadang hancur membuat kami benar benar galau, ya galau karena pengen ngebut agar segera sampai agar tak tertinggal oleh sunrise namun belum puas ngebut jalan kembali hancur. Satu setengah jam lamanya kami baru tiba di Pantai sayang heulang yang rupanya kami kebablasan namun tak apa kami nikmati saja dulu pantainya.

sisa sunrise Sayang Heulang

cahaya keemasan

 

Sampai jam menunjukkan pukul 07:20 kami sudahi untuk menikmati pantai Sayang Heulang dan melanjutkan ke tujuan utama yaitu pantai Santolo. Pantai Santolo adalah sesungguhnya sebuah pulau kecil tapi bukan pulau juga karena jarak pulau Santolo dengan Pulau Jawa hanya di pisahkan oleh sungai lebarnya 20 meter. Untuk menyebrang ada perahu nelayan dengan membayar 5000 pergi- pulang cukup murah untuk sekedar mengobati rasa penasaran bagaimana sebenarnya pulau Santolo itu. Karena sudah siang saya melihat pantai santolo biasa saja dan masih mirip karakter pantainya dengan pantai sayang heulang terlalu banyak karang dengan sedikit pasir di pinggirnya. Hanya sebentar saja menikmati Pulau Santolo dan segera kami meninggalkannya.

nelayan Santolo

nelayan

Ya kira- kira seperti itulah perjalanan singkat saya menuju Pantai Santolo via jalur Pengalengan. Jalan- jalan kali ini lebih menikmati touringnya daripada destinasinya. Jalur Pengalengan- Ranca Buaya Garut yang sesungguhnya memikat hati saya. Namun sayang sekali tak banyak foto di jalur perjalanan tersebut.

Menuju Pulau Santolo