Rabu, 27 November 2013

[ Lumajang ] Akulah Sang Penunggu Ranu Regulo

Tubuh yang sudah renta dan tak terurus menjadi perhatian saya ketika saya baru datang menginjakkan kaki di kawasan Ranu Regulo. Dengan baju adat jawa serta menggunakan ” Jarik ” sebagai pengganti ” Rok ” membingungkan pikiranku siapa beliau sebenernya. Akhirnya dalam penasaran saya tinggalkan si nenek tua ini untuk menidirikan tenda karena bau gerimis sudah tercium sejak meninggalkan Ranu Pane yang hanya berjarak 15 menit.

sunrise Ranu Regulo

Ranu Regulo adalah sebuah kawasan camping ground dalam wilayah Taman Nasional Tengger Semeru. Letaknya yang hanya beberapa ratus meter dari pos pendaftaran pendakian Gunung Semeru menjadikan akses menuju Ranu Regulo jauh lebih mudah daripada ke Ranu Kumbolo. Namun siapa yang menyangka bahwa beberapa pendaki gunung malah melewatkan keindahan Ranu Regulo ini bahkan malah memandangnya sebelah mata. Saya tidak akan tau dan mungkin tidak akan penasaran dengan si Regul ini jika tidak ada ” kegagalan trip Ranu Kumbolo ” karena kasus pendaki hilang di blank75. Bersama teman sepenjelahan saya Hafiz Darmawan melanjutkan long expedition dari tanah tinggi Dieng menuju tanah tinggi Tengger. Dalam kegalauan menunggu kabar baik bahwa kedua pendaki sudah di temukan hingga bakdha adzan dzuhur rupanya belum memberikan kesempatan kepada kami untuk mengunjungi Ranu Kumbolo. Bayang- bayang Ranu Kumbolo yang terus menghantui membuat kami memutuskan untuk menginap semalam di sekitar Ranupane dan berharap keesokan harinya Ranu Kumbolo sudah buka. Bertemu dengan rombongan calon pendaki yang gagal juga dari Jakarta kami pun di sarankan bergabung dengan mereka untuk camping di Ranu Regulo. Dengan ketinggian 2100 mdpl Ranu Regulo mampu memberikan sensasi dingin dan pemandangan yang memanjakan mata. Sepertinya cukup pembukaan kenapa akhirnya kami menyasarkan diri ke Ranu Regulo, kembali ke topik awal yaitu tentang ” Penunggu Ranu Regulo ”

Nenek Ranu Regulo

Seorang nenek tua ntah siapa namanya saya belum sempat berkenalan hingga kami pulang. Tubuhnya yang tak terurus terlihat begitu kusam dan seolah sangat rapuh. Tanpa jaket atau pakaian penghangat lainnya si nenek bertahan dalam dekapan dingin Ranu Regulo setiap malamnya. Jangan berfikir si nenek tinggal di rumah atau setidaknya gubuk kecil sederhana, tanpa tedeng aling- aling nenek hanya berlindung dari hujan di bawah Gazebo kecil. Dari awal saya datang dan perhatikan si nenek tak hentinya membakar kayu dan memasak ntah apa yang dimasak. Ketika menumpang sesaat dari hujan sebelom tenda kami berdiri saya beranikan untuk bertanya namun si nenek tak menjawab dan hanya tersenyum. Tak ingin menganggunya yang sedang asik memasak saya pun mendirikan tenda. Dari pinggir danau tempat tenda kami berdiri si nenek suka berkata sendiri ntah bernyanyi atau apakah saya juga tidak tau. Astaghfirullah dalam pikiran saya sempat terbesit apakah nenek ini orang gila atau pengemis???. Setelah cerita sama cak Hafiz akhirnya kami sepakat untuk sengaja mendatangi dan sekedar ngobrol ngalor ngidul.

Ranu Regulo

Sedikit percakapan kami dengan si nenek,

Hafiz : nek, lagi apa nek?

nenek : hehe hehehe… ( si nenek hanya tersenyum cengengesan )

Hafiz : masak ya nek, masak apa nek?

nenek : anu, iki mangan… ( nenek membalas dengan bahasa jawa )

Hafiz : oh o o o o….

Percakapan berakhir sementara karena Cak Hafiz menyerah tak mampu melanjutkan percakapan dan kami bertiga hanya sekedar menikmati dingin dengan asap rokok sedangkan saya sendiri menyeruput teh tarik. Tak lama rombongan calon pendaki datang dari mushola selesai shalat dan bergabung bersama kami. Setelah mendapat penjelasan dari si mbak sapa saya lupa :(, ternyata si nenek tidak faham sama sekali bahasa INDONESIA. Ampuni saya ya nek saya kira nenek orang gila, saya sungguh tidak tau saya benar- benar menyesal. Saya sekarang yakin dan tau bahwa nenek jauh lebih terhormat dari mereka orang- orang gila dan pengemis. Setelah tau sebabnya nenek ini tidak nyambung diajak ngobrol dan hanya senyum- senyum karena tidak tersambungnya perangkat komunikasi kami maka saya sebagai orang Jawa nekat dengan bahasa Jawa saya untuk mengajak bercakap- cakap.

Saya : mbah sampean daleme pundi?

nenek : hemm opo?

saya : omah mbah, omahe sampean ngendi?

nenek : ndek kene iki, .. ( rupanya bahasa Jawa Alus pun nenek kurang faham )

saya : ohhh, gak kademen tah mbah ndek kene?

nenek : gak, gak adem…

saya : ndek kene karo sopo mbah sampean?

nenek : dewean, gak ono sopo- sopo…

saya : ohhh…

Hidup seorang diri dalam belantara dinginnya tanah Tengger nenek menjadi sosok seorang yang kuat dan tangguh. Tidur beralaskan sesobek kardus dan beratapkan sepotong seng dalam Gazebo tanpa selimut ataupun jaket hangat. Sedari pagi nenek terus membakar kayu sepertinya untuk menghangatkan diri sembari memasak air dan nasi. Sungguh mulia sekali nenek sampai menawarkan untuk berbagi nasi dan sedikit sayur kolnya kepada kami. Maaf bukan menolak karena makanan nenek tidak higienis atau tidak sehat tapi kebetulan banget saya dan Hafiz sudah makan makanan bekal pemberian Istri mas muksin. Nasi yang di masak oleh nenek dengan kaleng bekas cat berkarat itu sungguh memilukan hati. Ingin rasanya kembali ke desa terakhir sebentar untuk membelikan panci agar si nenek dapat memasak dengan sehat. Ngobrol- ngobrol pun berlanjut dan kami sengaja agar si nenek tidak sendirian menikmati hangatnya api unggun beliau.

Malam mulai menggelapkan seluruh kawasan camping kami, dingin dan kabut pun serta mengiringi datangnya malam. Kami berpamitan kepada nenek untuk masuk ke dalam tenda dan tidur. Pikiran saya masih berterbangan entah kemana jadi kepikiran si nenek apakah dia tidak kedinginan dan sakit tidur di luar seperti itu. Tak lupa setelah berdoa sebelum tidur terselip doa untuk si nenek agar tidak kedinginan. Hingga pagi menjelang terlihat nenek masih di bawah Gazebo kecil itu dan sudah asik membakar kayu. Saya tak mau kalah dengan nenek, usai shalat subuh saya menyibukkan diri untuk Hunting foto kesana kemari. Selesai hunting foto kami memanaskan air untuk menyeduh mie instan dan membuat kopi. Sisa kopi 8 sachet dan salah satu panci dari nesting saya akhirnya di hibahkan kepada nenek mungkin bisa di gunakan sementara untuk memasak dan jika suatu saat nanti saya berniat kembali akan membawakan panci yang lebih layak.

sunrise REGULO

Sunrise Ranu Regulo

Hingga saatnya tiba perpisahan kami berdua dengan Ranu Regulo serta berpisah dengan si nenek. Masih dalam dinginnya pagi Ranu Regulo kami berdua sudah packing tenda dan siap meninggalkan lokasi. Rombongan calon pendaki rupanya masih tinggal semalam lagi menunggu kabar baik dari TNBTS tentang bukanya pendakian Semeru. Sampai jumpa lagi Ranu Regulo, sampai jumpa nek, sampai jumpa kawan baru kami dari Jakarta dan Tangerang, kami duluan menuju Jakarta.

foto bersama

 

Hafiz dan Nenek

Selasa, 26 November 2013

[ Dieng ] Desa Dingin Atap Jawa Tengah

Untuk keduakalinya saya akan menuju daerah tertinggi di Indonesia yaitu Dieng. Setahun lebih yang lalu saya sudah mengunjungi Dieng bersama teman- teman seperjalanan. Kali ini sedikit berbeda dengan biasanya, ya karena saya mengantarkan orang- orang yang ingin mengunjungi Dieng. Bersama team Travollution ada Hafiz, Andi, Endang dan saya sendiri Fathur sebagai team leader dalam perjalanan atau Trip menuju Dieng atau mereka sering menyebutnya negri diatas awan. Perjalan di mulai dengan berkumpul bersama atau bahasa gaulnya meeting point di Plasa Semanggi pada pukul 20:00. Saya tau dan sudah mencium bau bau bahwa Jakarta akan hujan menjelang magrib maka seusai ashar saya memilih untuk berangkat terlebih dahulu. Hujan datang lebih awal tanpa memberikan konfirmasi membuat saya haru berlari dengan menggendong carier 80liter melintasi kerumunan dan hamburan manusia di sekitar halte busway Benhill. Sedikit basah karena sempat kehujanan menjelang tiba di depan Plasa Semanggi. Segera mencari tempat yang nyaman untuk berteduh dan menunggu peserta serta 3 kawan saya sebagai TL. Sampailah pada pukul 21:00 semua peserta sudah berkumpul dan siap di berangkatkan, bersama 70 peserta dan 4 team leader kami melaju menuju Dieng.

Candi Arjuna Dieng

Pagi hari menjelang matahari terbit kami berhenti sebentar di perbatasan Tegal- Wonosobo untuk menunaikan shalat subuh bagi yang menjalankan. Kemudian dilanjutkan menuju Dieng dengan melewati jalur pintas berdasarkan GPS namun malah sedikit membuat kami tersesat kehilangan arah. Beberapa peserta mulai bertanya- tanya apakah kita salah arah dan kapan sampainya???, saya hanya bisa menjawab sebisanya dan berusaha menenangkan :).

Sampailah kami di tujuan dari perjalanan panjang ini, Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian 2100 mdpl sebagai Daerah tertinggi di dunia setelah Tibet. Saya sendiri menyebutnya Tibetnya INDONESIA, orang- orang yang memiliki khas warna kulit eksotis pegunungan lah yang membuat mirip dengan Tibet, cuma bedanya Tibet adalah Chinese sedangkan Dieng adalah Javanese. Capek lemas dan lapar itulah saat kami tiba di kawasan wisata Dieng, maka diantarkanlah kami ke homestay yang nantinya adalah sebagai tempat untuk berlindung dari dinginnya malam Dieng. Sekedar membersihkan diri kemudian bersantai dan menikmati secangkir kopi atau teh cukup untuk me-rileks-kan tubuh.

KAwah SIKIDANG Dieng

 

Cukup dengan bersantai dan meluruskan punggung kami segera memulai penjelajahan bumi Dieng. Start dengan mengunjungi kawasan Kawah Sikidang yang menjadi primadona wisata Dieng. Kawah yang masih aktif ini menjadi kawah yang paling ramai di kunjungi wisatawan di bandingkan kawah- kawah yang lain. Mengisi acara dengan berfoto- foto ria serta bercanda tawa bersama- sama.

DPT ( Dieng Plateu Theater )

Tak begitu lama kami di kawah Sikidang kemudian dilanjutkan menuju Dieng Plateau Theater dan batu Ratapan Angin. Dieng Plateau Theater akan menyajikan sebuah film dokumenter Dieng yang berisi beberapa terbentuknya kawah serta kegiatan masyarakatnya. Untuk mereka yang sedang galau bisa melanjutkan ke batu Ratapan Angin, ya di atas puncak tatanan batu ini anda dapat menikmati ketenangan dan keindahan tingginya Dieng dari ketinggian.

Telaga Pengilon

 

Selesai menikmati sajian film dokumenter dan terpaan angin diatas puncak tatanan batu pun kami melangkahkan roda mobil menuju Telaga Warna. Konon katanya dahulu kala ada seorang dewi galuh candra kirana membuang batu permata kalungnya ke dasar telaga sehingga membuat air telaga berubah- berubah sesuai warna permata kalung sang dewi. Sedangkan di sampingnya sebuah telaga dengan air berwarna coklat tak pernah berubah warna karena tidak di lempari batu permata. Seandainya kemaren saya membawa batu permata pasti sudah saya lemparkan ke telaga Pengilon agar ikut berwarna seperti telaga warna.

Malam menjemput terpaan udara dingin semakin terasa meresapi pori- pori kulit. Agar hangat dan tetap fit mas amim ketua Team Leader kami memberikan usulan untuk menikmati semangkok mie ongklok. Mie dengan saus dari tepung kanji dibumbui rempah- rempah dengan bonus 2 tusuk sate. Rasa mie yang khas dan tiada duanya ini memang tidak berhasil memikat semua orang, ada beberapa yang tidak cocok lidahnya termasuk saya karena menurut saya sendiri rasanya memang aneh. Saya tidak suka bukan berarti tidak enak atau tidak baik karena pasti setiap makanan punya daya penggugah selera sendiri- sendiri.

Malam gelap berkelip bintang di langit menghias indah. Suara angin menabrakkan genting menelusup dalam celah bersiul seolah ingin menyanyikan untuk kami. Jauh sebelum sang fajar menyiratkan sinarnya kami sudah siap dan sigap untuk menghadapi dinginnya dini hari Dieng. Berbekal segenggam cahaya kami menuju puncak Bukit sikunir untuk menikmati pancaran sinar merah merona dari sang fajar. Hanya berjarak 30 menit dari tempat singgah kami, di balik bukit- bukit dia sudah menunggu kami. Dengan langkah kaki yang menggetarkan tanah desa Sembungan menuju puncak bukit Sikunir. Aroma pupuk kandang bercampur kabut serta di bumbui bau solar kendaraan yang ramai menuju Telaga Cebong. Tak lama kemudian kami sudah di bawah tiang atap desa Sembungan diatas alas telaga Cebong. Bau pupuk serta solar sudah tiada namun bau kabut tebat semakin kuat membuat jarak pandang kami hanya berkisar 1-2 meter dari depan mata. Hati gelisah terancam gagal bertemu sang fajar pagi yang sudah di harapkan sejak malam. Sampai di punggung puncak pun harapan itu tak jua nampak dan sepertinya saya harus tetap bersabar dan bersemangat. Sebelum menuliskan kata- kata ini semua saya pun tersadar oleh salah satu foto peserta trip Dieng ini. Dari sebuah foto beliau saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa beliau salah satu peserta yang dapat berfikir positif meskipun gagal bertemu dengan sang fajar. Foto ranting- ranting tanpa daun dengan di balut kabut sangat berasa magis namun tetap nyaman untuk di lihat. Tak ada yang sia sia dalam setiap perjalanan dan kekecewaan adalah hal yang sangat wajar namun jangan sampai membuatmu lupa untuk bersyukur.

Dalam Balutan Kabut Sikunir

 

Sang fajar pun tak lagi malu wajahnya merah merona namun mulai bersemangat dalam menerangi bumi Dieng. Penjelajahan harus dilanjutkan yaitu menuju kawasan candi Arjuna. Setelah selelai sarapan bersama acara di lanjutkan dengan acara bebas bersantai dan berfoto- foto di kawasan candi. Sambil mendengarkan cerita tentang candi- candi dari mas amim beberapa diantara kami ada yang asik berfoto narsis hingga berfoto autis. Berlari kesana kemari seolah anak TK yang menemukan kegirangannya kami menikmati semua kegirangan ini setelah di kecewakan oleh sang Fajar. Di akhir cerita mas amim memberikan pilihan apakah akan melakukan treking menuju padang savana atau cukup bermain main di kawasan museum dan candi Gatotkoco. Pilihan jatuh pada penjelajahan treking menuju padang savana semurup.

om Denny dan tante Leni

Maaf ya om Denny dan Tante Leni saya pakai fotonya untuk padang savana :D. Perjalanan yang dapat juga di sebut pendakian meleset dari perkiraan lamanya waktu tempuh yang di perkirakan. Bukan pendakian sebuah gunung yang hampir memakan waktu tempuh hingga 3 jam. Jauhnya perjalanan membuat sebagian peserta KO dan lemas. Saya pribadi malah senang dengan hal- hal seperti ini, namun dalam hal ini saya beserta banyak orang dengan banyak pemikiran dan pikiran juga. Kalau kata Ayah ” le wong liyo iku ojo mbok padakne karo awakmu ” dari situ saya belajar menempatkan diri sebagai orang lain. Dalam konteks pendakian savana semurup ini pasti tidak semua orang suka dan menikmati, pasti ada yang namanya mengeluh dan bergumam. Mereka yang kurang suka jalan jauh pasti akan sangat tersiksa dengan ini semua. Saya hanya bisa berdoa dan berharap semoga semuanya baik- baik saja serta dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan ini. Perjalanan tidak akan berakhir sebelum sang waktu menjemputmu. Maka teruslah berjalan beriringan dengan waktu karena itulah pilihannya 😀

Kamis, 21 November 2013

[ Tuban ] Keramahan Desa Perbatasan

Mendung awan kelabu mewarnai atap kota jakarta semakin siang semakin gelap dan kelam. Lebak Bulus terminal bus antar kota menuju keluar Jakarta. Seusai membeli tiket bus menuju Bojonegoro saya dan seorang teman saya Yudha menunggu adzan shalat jumat di kumandangakan sembari melihat- lihat bus yang lalu lalang. Hingga usai shalat jumat pun waktu menunggu keberangkatan bus masih sampai pukul 15:00, benar- benar berasa banget mati gaya. Melihat- lihat banyaknya armada baru bus Pahala Kencana dan berharap dapat salah satunya. Mutar muter kesana kemari karena hujan badai pun jatuh juga ke bumi. Dalam wara wiri sempat melewati armada bus Pahala Kencana yang lama dan terfikir jangan- jangan nanti dapat bus ini. Saatnya pun tiba penumpang jurusan Bojonegoro di panggil oleh crew bus untuk segera naik ke dalam bus. Benar dugaan saya bahwa bus yang tadi sempat saya curigai menjadi teman perjalanan menuju Bojonegoro.

parkir bus Lebak Bulus

Bus di berangkatkan pukul 15:30 dan saya sengaja mengincar duduk di paling depan. Perjalanan bus yang biasa saja tidak ngebut namun juga tidak perlahan. Berjalan beriringan dengan bus yang lain serta beberapa truck besar melintasi jalan tol jalan raya kota hingga jalur pedesaan di apit oleh persawahan dan terkadang pantai serta perbukitan. Jalanan yang kurang bagus dari perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur membuat laju bus dikurangi menjadi perlahan dan hati- hati. Tiba di terminal Bojonegoro sudah sangat terang menunjukkan pukul 08:00. Menuju Tuban kami lanjutkan dengan bus mikro dengan lama tempuh kira- kira satu jam. Pukul 10:00 tibalah kami di desa Kedung Jambe Tuban Jawa Timur. Siang hari sepi meskipun di tepi jalan raya utama Bojonegoro- Tuban desa Kedung Jambe ini tetap tenang sunyi dalam damai. Menjelang ashar suasana hangat penuh kekeluargaan mulai terasa, beberapa laki- laki dewasa keluar dari rumah masing- masing dan ber”cangkruk” bersama dengan stelen kemeja – sarung. Ber-sarung-an rupanya menjadi trend di desa Kedung Jambe ini, style seperti ini mereka pakai setelah ashar hingga setelah isya’. Ngopi bersama sambil ngobrol ngalor- ngidul bercengkrama menambah eratnya kekeluargaan. Saya sebagai pendatang atau tamu di sini sangat merasakan seolah sudah bertahun- tahun tinggal di desa ini. Sebuah keramah-tamahan yang tidak akan terlupakan, tinggal bersama keluarga teman saya Alfian Agung Wibowo. Kehidupan yang jauh dari kemewahan namun penuh dengan keharmonian, kesederhanaan mengajarkan kepada mereka tentang hidup yang bahagia. Baru dua hari di desa ini saya sudah mulai jatuh cinta dengan suasana dan kehidupan yang ada.

Menjelang isya saya dan Yudha temen saya diajak ke masjid oleh keluarga Alfian untuk menunaikan shalat isya’, dalam perjalanan saya sambil mengamati keadaan di sekitar. Langit terang berbintang dingin tenang desa yang penuh kehangatan rumah- rumah dengan pekarangan yang luas ciri khas desa- desa di Jawa. Malamnya seusai shalat isya’ kami mempersiapkan halaman rumah untuk menggelar acara syukuran menyambut hari pernikahan Alfian. Bahu membahu mempersiapkan tikar dan berkat untuk di tata di hidangkan kepada para tetangga yang hadir. Dalam pertengahan acara syukuran seusai berdoa bersama hujan turun dengan deras, para tamu berhamburan mencari tempat berteduh. Ada yang berucap ” iki jenenge Rejeki, di paringi udah karo Gusti ” dan acara pun tetap di lanjutkan hingga selesai.

Pagi datang menghampiri pertanda acara pernikahan Alfian segera dilangsungkan. Pukul 09:00 kami semua sudah siap mengantarkan mempelai pria menjemput calon istri idamannya menuju pelaminan. Berderet mobil dari keluarga – keluarga mempelai pria sudah disiapkan dan di parkirkan di depan rumah. Beriringan menuju rumah sebelah berjarak kira- kira 30 rumah dan di tempuh hanya dalam 15 menit. Dan sah akhirnya Alfian menikah dengan Ririn, acara selesai dan saya pun kembali pulang ke rumah di Boyolali.