Rabu, 27 November 2013

[ Lumajang ] Akulah Sang Penunggu Ranu Regulo

Tubuh yang sudah renta dan tak terurus menjadi perhatian saya ketika saya baru datang menginjakkan kaki di kawasan Ranu Regulo. Dengan baju adat jawa serta menggunakan ” Jarik ” sebagai pengganti ” Rok ” membingungkan pikiranku siapa beliau sebenernya. Akhirnya dalam penasaran saya tinggalkan si nenek tua ini untuk menidirikan tenda karena bau gerimis sudah tercium sejak meninggalkan Ranu Pane yang hanya berjarak 15 menit.

sunrise Ranu Regulo

Ranu Regulo adalah sebuah kawasan camping ground dalam wilayah Taman Nasional Tengger Semeru. Letaknya yang hanya beberapa ratus meter dari pos pendaftaran pendakian Gunung Semeru menjadikan akses menuju Ranu Regulo jauh lebih mudah daripada ke Ranu Kumbolo. Namun siapa yang menyangka bahwa beberapa pendaki gunung malah melewatkan keindahan Ranu Regulo ini bahkan malah memandangnya sebelah mata. Saya tidak akan tau dan mungkin tidak akan penasaran dengan si Regul ini jika tidak ada ” kegagalan trip Ranu Kumbolo ” karena kasus pendaki hilang di blank75. Bersama teman sepenjelahan saya Hafiz Darmawan melanjutkan long expedition dari tanah tinggi Dieng menuju tanah tinggi Tengger. Dalam kegalauan menunggu kabar baik bahwa kedua pendaki sudah di temukan hingga bakdha adzan dzuhur rupanya belum memberikan kesempatan kepada kami untuk mengunjungi Ranu Kumbolo. Bayang- bayang Ranu Kumbolo yang terus menghantui membuat kami memutuskan untuk menginap semalam di sekitar Ranupane dan berharap keesokan harinya Ranu Kumbolo sudah buka. Bertemu dengan rombongan calon pendaki yang gagal juga dari Jakarta kami pun di sarankan bergabung dengan mereka untuk camping di Ranu Regulo. Dengan ketinggian 2100 mdpl Ranu Regulo mampu memberikan sensasi dingin dan pemandangan yang memanjakan mata. Sepertinya cukup pembukaan kenapa akhirnya kami menyasarkan diri ke Ranu Regulo, kembali ke topik awal yaitu tentang ” Penunggu Ranu Regulo ”

Nenek Ranu Regulo

Seorang nenek tua ntah siapa namanya saya belum sempat berkenalan hingga kami pulang. Tubuhnya yang tak terurus terlihat begitu kusam dan seolah sangat rapuh. Tanpa jaket atau pakaian penghangat lainnya si nenek bertahan dalam dekapan dingin Ranu Regulo setiap malamnya. Jangan berfikir si nenek tinggal di rumah atau setidaknya gubuk kecil sederhana, tanpa tedeng aling- aling nenek hanya berlindung dari hujan di bawah Gazebo kecil. Dari awal saya datang dan perhatikan si nenek tak hentinya membakar kayu dan memasak ntah apa yang dimasak. Ketika menumpang sesaat dari hujan sebelom tenda kami berdiri saya beranikan untuk bertanya namun si nenek tak menjawab dan hanya tersenyum. Tak ingin menganggunya yang sedang asik memasak saya pun mendirikan tenda. Dari pinggir danau tempat tenda kami berdiri si nenek suka berkata sendiri ntah bernyanyi atau apakah saya juga tidak tau. Astaghfirullah dalam pikiran saya sempat terbesit apakah nenek ini orang gila atau pengemis???. Setelah cerita sama cak Hafiz akhirnya kami sepakat untuk sengaja mendatangi dan sekedar ngobrol ngalor ngidul.

Ranu Regulo

Sedikit percakapan kami dengan si nenek,

Hafiz : nek, lagi apa nek?

nenek : hehe hehehe… ( si nenek hanya tersenyum cengengesan )

Hafiz : masak ya nek, masak apa nek?

nenek : anu, iki mangan… ( nenek membalas dengan bahasa jawa )

Hafiz : oh o o o o….

Percakapan berakhir sementara karena Cak Hafiz menyerah tak mampu melanjutkan percakapan dan kami bertiga hanya sekedar menikmati dingin dengan asap rokok sedangkan saya sendiri menyeruput teh tarik. Tak lama rombongan calon pendaki datang dari mushola selesai shalat dan bergabung bersama kami. Setelah mendapat penjelasan dari si mbak sapa saya lupa :(, ternyata si nenek tidak faham sama sekali bahasa INDONESIA. Ampuni saya ya nek saya kira nenek orang gila, saya sungguh tidak tau saya benar- benar menyesal. Saya sekarang yakin dan tau bahwa nenek jauh lebih terhormat dari mereka orang- orang gila dan pengemis. Setelah tau sebabnya nenek ini tidak nyambung diajak ngobrol dan hanya senyum- senyum karena tidak tersambungnya perangkat komunikasi kami maka saya sebagai orang Jawa nekat dengan bahasa Jawa saya untuk mengajak bercakap- cakap.

Saya : mbah sampean daleme pundi?

nenek : hemm opo?

saya : omah mbah, omahe sampean ngendi?

nenek : ndek kene iki, .. ( rupanya bahasa Jawa Alus pun nenek kurang faham )

saya : ohhh, gak kademen tah mbah ndek kene?

nenek : gak, gak adem…

saya : ndek kene karo sopo mbah sampean?

nenek : dewean, gak ono sopo- sopo…

saya : ohhh…

Hidup seorang diri dalam belantara dinginnya tanah Tengger nenek menjadi sosok seorang yang kuat dan tangguh. Tidur beralaskan sesobek kardus dan beratapkan sepotong seng dalam Gazebo tanpa selimut ataupun jaket hangat. Sedari pagi nenek terus membakar kayu sepertinya untuk menghangatkan diri sembari memasak air dan nasi. Sungguh mulia sekali nenek sampai menawarkan untuk berbagi nasi dan sedikit sayur kolnya kepada kami. Maaf bukan menolak karena makanan nenek tidak higienis atau tidak sehat tapi kebetulan banget saya dan Hafiz sudah makan makanan bekal pemberian Istri mas muksin. Nasi yang di masak oleh nenek dengan kaleng bekas cat berkarat itu sungguh memilukan hati. Ingin rasanya kembali ke desa terakhir sebentar untuk membelikan panci agar si nenek dapat memasak dengan sehat. Ngobrol- ngobrol pun berlanjut dan kami sengaja agar si nenek tidak sendirian menikmati hangatnya api unggun beliau.

Malam mulai menggelapkan seluruh kawasan camping kami, dingin dan kabut pun serta mengiringi datangnya malam. Kami berpamitan kepada nenek untuk masuk ke dalam tenda dan tidur. Pikiran saya masih berterbangan entah kemana jadi kepikiran si nenek apakah dia tidak kedinginan dan sakit tidur di luar seperti itu. Tak lupa setelah berdoa sebelum tidur terselip doa untuk si nenek agar tidak kedinginan. Hingga pagi menjelang terlihat nenek masih di bawah Gazebo kecil itu dan sudah asik membakar kayu. Saya tak mau kalah dengan nenek, usai shalat subuh saya menyibukkan diri untuk Hunting foto kesana kemari. Selesai hunting foto kami memanaskan air untuk menyeduh mie instan dan membuat kopi. Sisa kopi 8 sachet dan salah satu panci dari nesting saya akhirnya di hibahkan kepada nenek mungkin bisa di gunakan sementara untuk memasak dan jika suatu saat nanti saya berniat kembali akan membawakan panci yang lebih layak.

sunrise REGULO

Sunrise Ranu Regulo

Hingga saatnya tiba perpisahan kami berdua dengan Ranu Regulo serta berpisah dengan si nenek. Masih dalam dinginnya pagi Ranu Regulo kami berdua sudah packing tenda dan siap meninggalkan lokasi. Rombongan calon pendaki rupanya masih tinggal semalam lagi menunggu kabar baik dari TNBTS tentang bukanya pendakian Semeru. Sampai jumpa lagi Ranu Regulo, sampai jumpa nek, sampai jumpa kawan baru kami dari Jakarta dan Tangerang, kami duluan menuju Jakarta.

foto bersama

 

Hafiz dan Nenek

Selasa, 26 November 2013

[ Dieng ] Desa Dingin Atap Jawa Tengah

Untuk keduakalinya saya akan menuju daerah tertinggi di Indonesia yaitu Dieng. Setahun lebih yang lalu saya sudah mengunjungi Dieng bersama teman- teman seperjalanan. Kali ini sedikit berbeda dengan biasanya, ya karena saya mengantarkan orang- orang yang ingin mengunjungi Dieng. Bersama team Travollution ada Hafiz, Andi, Endang dan saya sendiri Fathur sebagai team leader dalam perjalanan atau Trip menuju Dieng atau mereka sering menyebutnya negri diatas awan. Perjalan di mulai dengan berkumpul bersama atau bahasa gaulnya meeting point di Plasa Semanggi pada pukul 20:00. Saya tau dan sudah mencium bau bau bahwa Jakarta akan hujan menjelang magrib maka seusai ashar saya memilih untuk berangkat terlebih dahulu. Hujan datang lebih awal tanpa memberikan konfirmasi membuat saya haru berlari dengan menggendong carier 80liter melintasi kerumunan dan hamburan manusia di sekitar halte busway Benhill. Sedikit basah karena sempat kehujanan menjelang tiba di depan Plasa Semanggi. Segera mencari tempat yang nyaman untuk berteduh dan menunggu peserta serta 3 kawan saya sebagai TL. Sampailah pada pukul 21:00 semua peserta sudah berkumpul dan siap di berangkatkan, bersama 70 peserta dan 4 team leader kami melaju menuju Dieng.

Candi Arjuna Dieng

Pagi hari menjelang matahari terbit kami berhenti sebentar di perbatasan Tegal- Wonosobo untuk menunaikan shalat subuh bagi yang menjalankan. Kemudian dilanjutkan menuju Dieng dengan melewati jalur pintas berdasarkan GPS namun malah sedikit membuat kami tersesat kehilangan arah. Beberapa peserta mulai bertanya- tanya apakah kita salah arah dan kapan sampainya???, saya hanya bisa menjawab sebisanya dan berusaha menenangkan :).

Sampailah kami di tujuan dari perjalanan panjang ini, Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian 2100 mdpl sebagai Daerah tertinggi di dunia setelah Tibet. Saya sendiri menyebutnya Tibetnya INDONESIA, orang- orang yang memiliki khas warna kulit eksotis pegunungan lah yang membuat mirip dengan Tibet, cuma bedanya Tibet adalah Chinese sedangkan Dieng adalah Javanese. Capek lemas dan lapar itulah saat kami tiba di kawasan wisata Dieng, maka diantarkanlah kami ke homestay yang nantinya adalah sebagai tempat untuk berlindung dari dinginnya malam Dieng. Sekedar membersihkan diri kemudian bersantai dan menikmati secangkir kopi atau teh cukup untuk me-rileks-kan tubuh.

KAwah SIKIDANG Dieng

 

Cukup dengan bersantai dan meluruskan punggung kami segera memulai penjelajahan bumi Dieng. Start dengan mengunjungi kawasan Kawah Sikidang yang menjadi primadona wisata Dieng. Kawah yang masih aktif ini menjadi kawah yang paling ramai di kunjungi wisatawan di bandingkan kawah- kawah yang lain. Mengisi acara dengan berfoto- foto ria serta bercanda tawa bersama- sama.

DPT ( Dieng Plateu Theater )

Tak begitu lama kami di kawah Sikidang kemudian dilanjutkan menuju Dieng Plateau Theater dan batu Ratapan Angin. Dieng Plateau Theater akan menyajikan sebuah film dokumenter Dieng yang berisi beberapa terbentuknya kawah serta kegiatan masyarakatnya. Untuk mereka yang sedang galau bisa melanjutkan ke batu Ratapan Angin, ya di atas puncak tatanan batu ini anda dapat menikmati ketenangan dan keindahan tingginya Dieng dari ketinggian.

Telaga Pengilon

 

Selesai menikmati sajian film dokumenter dan terpaan angin diatas puncak tatanan batu pun kami melangkahkan roda mobil menuju Telaga Warna. Konon katanya dahulu kala ada seorang dewi galuh candra kirana membuang batu permata kalungnya ke dasar telaga sehingga membuat air telaga berubah- berubah sesuai warna permata kalung sang dewi. Sedangkan di sampingnya sebuah telaga dengan air berwarna coklat tak pernah berubah warna karena tidak di lempari batu permata. Seandainya kemaren saya membawa batu permata pasti sudah saya lemparkan ke telaga Pengilon agar ikut berwarna seperti telaga warna.

Malam menjemput terpaan udara dingin semakin terasa meresapi pori- pori kulit. Agar hangat dan tetap fit mas amim ketua Team Leader kami memberikan usulan untuk menikmati semangkok mie ongklok. Mie dengan saus dari tepung kanji dibumbui rempah- rempah dengan bonus 2 tusuk sate. Rasa mie yang khas dan tiada duanya ini memang tidak berhasil memikat semua orang, ada beberapa yang tidak cocok lidahnya termasuk saya karena menurut saya sendiri rasanya memang aneh. Saya tidak suka bukan berarti tidak enak atau tidak baik karena pasti setiap makanan punya daya penggugah selera sendiri- sendiri.

Malam gelap berkelip bintang di langit menghias indah. Suara angin menabrakkan genting menelusup dalam celah bersiul seolah ingin menyanyikan untuk kami. Jauh sebelum sang fajar menyiratkan sinarnya kami sudah siap dan sigap untuk menghadapi dinginnya dini hari Dieng. Berbekal segenggam cahaya kami menuju puncak Bukit sikunir untuk menikmati pancaran sinar merah merona dari sang fajar. Hanya berjarak 30 menit dari tempat singgah kami, di balik bukit- bukit dia sudah menunggu kami. Dengan langkah kaki yang menggetarkan tanah desa Sembungan menuju puncak bukit Sikunir. Aroma pupuk kandang bercampur kabut serta di bumbui bau solar kendaraan yang ramai menuju Telaga Cebong. Tak lama kemudian kami sudah di bawah tiang atap desa Sembungan diatas alas telaga Cebong. Bau pupuk serta solar sudah tiada namun bau kabut tebat semakin kuat membuat jarak pandang kami hanya berkisar 1-2 meter dari depan mata. Hati gelisah terancam gagal bertemu sang fajar pagi yang sudah di harapkan sejak malam. Sampai di punggung puncak pun harapan itu tak jua nampak dan sepertinya saya harus tetap bersabar dan bersemangat. Sebelum menuliskan kata- kata ini semua saya pun tersadar oleh salah satu foto peserta trip Dieng ini. Dari sebuah foto beliau saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa beliau salah satu peserta yang dapat berfikir positif meskipun gagal bertemu dengan sang fajar. Foto ranting- ranting tanpa daun dengan di balut kabut sangat berasa magis namun tetap nyaman untuk di lihat. Tak ada yang sia sia dalam setiap perjalanan dan kekecewaan adalah hal yang sangat wajar namun jangan sampai membuatmu lupa untuk bersyukur.

Dalam Balutan Kabut Sikunir

 

Sang fajar pun tak lagi malu wajahnya merah merona namun mulai bersemangat dalam menerangi bumi Dieng. Penjelajahan harus dilanjutkan yaitu menuju kawasan candi Arjuna. Setelah selelai sarapan bersama acara di lanjutkan dengan acara bebas bersantai dan berfoto- foto di kawasan candi. Sambil mendengarkan cerita tentang candi- candi dari mas amim beberapa diantara kami ada yang asik berfoto narsis hingga berfoto autis. Berlari kesana kemari seolah anak TK yang menemukan kegirangannya kami menikmati semua kegirangan ini setelah di kecewakan oleh sang Fajar. Di akhir cerita mas amim memberikan pilihan apakah akan melakukan treking menuju padang savana atau cukup bermain main di kawasan museum dan candi Gatotkoco. Pilihan jatuh pada penjelajahan treking menuju padang savana semurup.

om Denny dan tante Leni

Maaf ya om Denny dan Tante Leni saya pakai fotonya untuk padang savana :D. Perjalanan yang dapat juga di sebut pendakian meleset dari perkiraan lamanya waktu tempuh yang di perkirakan. Bukan pendakian sebuah gunung yang hampir memakan waktu tempuh hingga 3 jam. Jauhnya perjalanan membuat sebagian peserta KO dan lemas. Saya pribadi malah senang dengan hal- hal seperti ini, namun dalam hal ini saya beserta banyak orang dengan banyak pemikiran dan pikiran juga. Kalau kata Ayah ” le wong liyo iku ojo mbok padakne karo awakmu ” dari situ saya belajar menempatkan diri sebagai orang lain. Dalam konteks pendakian savana semurup ini pasti tidak semua orang suka dan menikmati, pasti ada yang namanya mengeluh dan bergumam. Mereka yang kurang suka jalan jauh pasti akan sangat tersiksa dengan ini semua. Saya hanya bisa berdoa dan berharap semoga semuanya baik- baik saja serta dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan ini. Perjalanan tidak akan berakhir sebelum sang waktu menjemputmu. Maka teruslah berjalan beriringan dengan waktu karena itulah pilihannya 😀

Kamis, 21 November 2013

[ Tuban ] Keramahan Desa Perbatasan

Mendung awan kelabu mewarnai atap kota jakarta semakin siang semakin gelap dan kelam. Lebak Bulus terminal bus antar kota menuju keluar Jakarta. Seusai membeli tiket bus menuju Bojonegoro saya dan seorang teman saya Yudha menunggu adzan shalat jumat di kumandangakan sembari melihat- lihat bus yang lalu lalang. Hingga usai shalat jumat pun waktu menunggu keberangkatan bus masih sampai pukul 15:00, benar- benar berasa banget mati gaya. Melihat- lihat banyaknya armada baru bus Pahala Kencana dan berharap dapat salah satunya. Mutar muter kesana kemari karena hujan badai pun jatuh juga ke bumi. Dalam wara wiri sempat melewati armada bus Pahala Kencana yang lama dan terfikir jangan- jangan nanti dapat bus ini. Saatnya pun tiba penumpang jurusan Bojonegoro di panggil oleh crew bus untuk segera naik ke dalam bus. Benar dugaan saya bahwa bus yang tadi sempat saya curigai menjadi teman perjalanan menuju Bojonegoro.

parkir bus Lebak Bulus

Bus di berangkatkan pukul 15:30 dan saya sengaja mengincar duduk di paling depan. Perjalanan bus yang biasa saja tidak ngebut namun juga tidak perlahan. Berjalan beriringan dengan bus yang lain serta beberapa truck besar melintasi jalan tol jalan raya kota hingga jalur pedesaan di apit oleh persawahan dan terkadang pantai serta perbukitan. Jalanan yang kurang bagus dari perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur membuat laju bus dikurangi menjadi perlahan dan hati- hati. Tiba di terminal Bojonegoro sudah sangat terang menunjukkan pukul 08:00. Menuju Tuban kami lanjutkan dengan bus mikro dengan lama tempuh kira- kira satu jam. Pukul 10:00 tibalah kami di desa Kedung Jambe Tuban Jawa Timur. Siang hari sepi meskipun di tepi jalan raya utama Bojonegoro- Tuban desa Kedung Jambe ini tetap tenang sunyi dalam damai. Menjelang ashar suasana hangat penuh kekeluargaan mulai terasa, beberapa laki- laki dewasa keluar dari rumah masing- masing dan ber”cangkruk” bersama dengan stelen kemeja – sarung. Ber-sarung-an rupanya menjadi trend di desa Kedung Jambe ini, style seperti ini mereka pakai setelah ashar hingga setelah isya’. Ngopi bersama sambil ngobrol ngalor- ngidul bercengkrama menambah eratnya kekeluargaan. Saya sebagai pendatang atau tamu di sini sangat merasakan seolah sudah bertahun- tahun tinggal di desa ini. Sebuah keramah-tamahan yang tidak akan terlupakan, tinggal bersama keluarga teman saya Alfian Agung Wibowo. Kehidupan yang jauh dari kemewahan namun penuh dengan keharmonian, kesederhanaan mengajarkan kepada mereka tentang hidup yang bahagia. Baru dua hari di desa ini saya sudah mulai jatuh cinta dengan suasana dan kehidupan yang ada.

Menjelang isya saya dan Yudha temen saya diajak ke masjid oleh keluarga Alfian untuk menunaikan shalat isya’, dalam perjalanan saya sambil mengamati keadaan di sekitar. Langit terang berbintang dingin tenang desa yang penuh kehangatan rumah- rumah dengan pekarangan yang luas ciri khas desa- desa di Jawa. Malamnya seusai shalat isya’ kami mempersiapkan halaman rumah untuk menggelar acara syukuran menyambut hari pernikahan Alfian. Bahu membahu mempersiapkan tikar dan berkat untuk di tata di hidangkan kepada para tetangga yang hadir. Dalam pertengahan acara syukuran seusai berdoa bersama hujan turun dengan deras, para tamu berhamburan mencari tempat berteduh. Ada yang berucap ” iki jenenge Rejeki, di paringi udah karo Gusti ” dan acara pun tetap di lanjutkan hingga selesai.

Pagi datang menghampiri pertanda acara pernikahan Alfian segera dilangsungkan. Pukul 09:00 kami semua sudah siap mengantarkan mempelai pria menjemput calon istri idamannya menuju pelaminan. Berderet mobil dari keluarga – keluarga mempelai pria sudah disiapkan dan di parkirkan di depan rumah. Beriringan menuju rumah sebelah berjarak kira- kira 30 rumah dan di tempuh hanya dalam 15 menit. Dan sah akhirnya Alfian menikah dengan Ririn, acara selesai dan saya pun kembali pulang ke rumah di Boyolali.

Senin, 21 Oktober 2013

[ JAWA ] Borobudur - Setumbu - Sendang Biru - Goa Cina - Sidoarjo - ( INI INDONESIA )

Tak seperti biasanya saya membeli tiket kereta pergi beserta tiket pulangnya, kali ini nekat hanya membeli tiket pergi saja dan berharap ada transpotasi lain untuk kembali ke Jakarta. Pasar Senen dengan kereta Progo tujuan Jogja stasiun Lempuyangan. Seperti halnya yang sudah- sudah naik kereta memang seninya lebih sedikit bila di bandingkan dengan naik bis. Tidur dan sesekali ngobrol dengan teman, kali ini saya bersama teman baru saya dalam dunia perjalanan karena sebelumnya memang Rival belum pernah ikut saya ngetrip. Lebih banyak tidurnya dan perjalanan malam juga tak bisa sambil menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan kami.

Tiba di Jogja langsung mencari warung makan untuk sarapan dan sekedar bertanya dimana ada rental motor. Kenyang sarapan semangkuk soto kami di sarankan untuk menyewa motor di sebelah timur stasiun Lempuyangan yang katanya harga mahasiswa. Berjalan beberapa kilometer akhirnya kami dapatkan sebuah rental motor sederhana namun tak dapat melayani kami karena kami bukan mahasiswa, syarat utama menyewa motor adalah KTP dan KTM. Disarankan oleh pemilik rental agar menyewa ke daerah malioboro yang menyediakan rental motor untuk umum. Berbalik arah kembali berjalan menuju malioboro tak jauh namun juga tidak begitu dekat, 30 menit kami baru sampai malioboro yang masih sepi pengunjung.

Menyusuri gang- gang kecil kami sempat menemukan rental motor namun syaratnya lebih berat yaitu uang jaminan 2 juta serta KTP. Mencari lagi dan lagi masuk ke sela- sela gang rupanya ada juga yang lebih percaya kepada kami meskipun syaratnya agak- agak juga. Meninggalkan KTP saya serta KTP dan SIM A - SIM C Rival teman saya barulah kami di kasih sewa motor matic dengan harga Rp 80.000 per 24 jam. Melaju meninggalkan kota Jogja menuju Magelang dengan motor sewaan.




Senin, 14 Oktober 2013

[ BANTEN ] Ujung Kulon

Dua tahun lebih keinginan saya terpendam untuk dapat mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon ini. Dengar dari berbagai cerita, membaca dari berbagai media cetak, dan melihat foto dari berbagai media maya membuat saya benar- benar ingin mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon. Letaknya yang di poncot ujung barat pulau Jawa dan masih sangat jarang di kunjungi orang membuat perjalanan menuju kesana tidaklah mudah.

Kali ini saya tidak sendiri atau cuma bepergian dengan grup kecil namun saya ngikut Cak Hafiz & Cak Andi serta satu temen baru lagi yaitu bang Diky. Berangkat dari Plasa Semanggi sebagai meeting poin awal kami hari jumat pukul 21:00. Selesai absen peserta satu demi satu akhirnya lengkap juga dan kami siap berangkat menuju Ujung Kulon. pukul 22:00 dan sempat berhenti di rest area Tol Serang untuk sekedar melengkapi logistik. Selesai istirahat sejenak dan sekedar membeli minuman dingin kami segera melanjutkan perjalanan. Saya terbiasa memanfaatkan waktu perjalanan malam hari untuk tidur karena tidak ada juga yang dapat di nikmati sepanjang perjalanan. Selang beberapa jam perjalanan sekiranya sudah menunjukka pukul 03:xx WIB bus yang kami tumpangi sering melakukan rem mendadak dan banting setir kanan kiri, rupanya jalanan yang kami lalui mulai jelek dan naik turun. Mulai pukul 03:xx itulah saya tidak dapat menikmati tertidur pulas lagi. Tak beberapa lama pukul 04:00 WIB kami sudah tiba di desa Sumur, desa terakhir yang dapat di lalui kendaraan darat untuk menuju Ujung Kulon.


Sambil menunggu hari terang yang muslim melakukan shalat subuh dan yang non muslim ada yang sekedar tidur sebentar dan ada juga beberapa iseng jalan menyisir sekitar desa. Matahari dengan cahaya merah kekuningannya mengiringi perjalanan sejengkal dua jengkal menuju Pantai Pelelangan Ikan Desa Sumur. Dari Pantai ini perjalanan laut kami di mulai, dengan lama perjalanan sekitar 4 jam menuju pulau peucang sebagai destinasi pertama kami. Pulau Peucang adalah salah satu pulau yang terletak di ujung dan dekat dengan Ujung Kulon serta sebagai Pulau terdekat dengan Ujung Pulau Jawa. Pulau yang bersih luasnya pun tak seberapa luas. Pulau dengan beberapa bangunan penjagaan milik Kehutanan serta 3 penginapan milik PT Ujung Kulon Indonesia. Pulau dengan berjajar dan berdesak- desak pohon tinggi raksasa dengan pohon perdu kecil serta semak belukar. Pulau ini benar- benar masih alami dan indah. Air pantai yang bening dan pasir putih lembut selembut tepung terigu turut menyumbangkan kelebihan bagi pulau ini. Disaat cuaca cerah dan tidak banyak pengunjung pulai ini sangat tepat untuk menenangkan diri atau sekedar bersantai sambil menikmati tiupan angin sepoi- sepoi.

Pelelangan Ikan Sumur
Pantai Pelelangan Ikan Sumur
Pulau Peucang
Pulau Peucang
Pulau Peucang

Selain menikmati bersihnya pantai Pulau Peucang kami juga meng-explore kawasan hutan serta Pantai yang ada di balik Pulau Peucang ini. Dengan menempuh treking selama satu jam kami tiba di Karang Copong yaitu bongkahan karang yang terkena hempasan ombak selama ratusan tahun hingga beberapa bagian ada yang copong/ berlubang/ terkikis. Ombaknya yang besar namun genangan air yang begitu bening hampir menghipnotis saya untuk terjun bebas ke laut. Udara sejuk bertiup kencang menyibakkan rambut padahal rambut saya sudah di habisi, artinya anginnya sangat kencang. Istirahat secukupnya kira- kira satu jam bersantai dan menikmati deburan ombak dari atas karang serta pemandangan langit biru menghampar luas. Waktu kami tak banyak karena masih ada penggembalaan Banteng di Cidaun yang belum kami kunjungi maka sesegera mungkin kami kembali ke dermaga Pulau Peucang.

Kidang
Ngasih Makan Kidang

Tak jauh dari Pulau Peucang Cidaun sebagai tempat penggembalaan Banteng dapat kami tempuh selama 30 menit. Dalam hamparan luas padang rumput dan beberapa pohon besar menjadi rumah bagi para Banteng Jawa. Banteng Jawa rupanya malu kepada manusia sehingga kami hanya dapat melihat dari jarak yang jauh. Tak lama juga kami singgah di Cidaun ini harus segera melanjutkan ke Pulau Handeleum sebagai Pulau singgah untuk istirahat. Karena memang dari Cidaun sudah sore kami tiba di Pulau Handeleum malam hari. Rumah panggung terbuat dari kayu melengkapi area hutan bertepi pantai serta berpenghuni Rusa, Merak dan Babi hutan. Dibagian depan dekat menuju Dermaga rupanya telah selesai di bangun Penginapan baru dengan konsep non panggung dan terbuat dari tembok. Tak seperti biasanya saya merekam keindahan taburan bintang, saat itu saya langsung tidur karena benar sudah merasa capek langitpun tak seindah seperti biasa.

 

Pagi hari disambut matahari malu bersembunyi di balik awan tebal bertiup angin pantai mendirikan bulu kudukku. Disaat yang lain masih menikmati keindahan mimpi- mimpi mereka saya sudah bergegas menuju dermaga siapa tau ada pemandangan yang berbeda. Kamera mengarah ke sumber cahaya merah serta di hiasi oleh framing ranting- ranting pepohonan. Diatas jembatan dermaga Pulau Handeleum saya rekam sambutan matahari pagi yang hangat namun malu kepada saya. Sekiranya matahari semakin tak bersahabat artinya sudah menyengat kulit maka saya pun akhiri perburuan rekam gambar. Kembali ke homestay sudah di tawari oleh teman- teman segelas teh tarik hangat. Minum teh hangat sambil melihat kawanan Rusa liar yang berseliweran lewat depan homestay dan tak malu- malu untuk mendekat. Beberapa teman saya bercanda bersama Rusa dengan memberi makan dan berfoto bersama.

 

Saatnya sudah tiba yaitu bermain kano atau sampan kecil menyusuri sungai muara cigenter. Sungai berair hijau tenang dan bening dengan di pagari oleh pepohonan perdu berlatar music sesiulan burung- burung liar ala pulau. Terkadang mereka yang buas menampakkan hidungnya, ular, biawak, bahkan mungkin ada juga buaya muara kali ya hahahaha… mendayung perlahan tak terasa kami sudah cukup lama mengarungi sungai muara Cigenter ini.

[ BANTEN ] Ujung Kulon

Dua tahun lebih keinginan saya terpendam untuk dapat mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon ini. Dengar dari berbagai cerita, membaca dari berbagai media cetak, dan melihat foto dari berbagai media maya membuat saya benar- benar ingin mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon. Letaknya yang di poncot ujung barat pulau Jawa dan masih sangat jarang di kunjungi orang membuat perjalanan menuju kesana tidaklah mudah.

Kali ini saya tidak sendiri atau cuma bepergian dengan grup kecil namun saya ngikut Cak Hafiz & Cak Andi serta satu temen baru lagi yaitu bang Diky. Berangkat dari Plasa Semanggi sebagai meeting poin awal kami hari jumat pukul 21:00. Selesai absen peserta satu demi satu akhirnya lengkap juga dan kami siap berangkat menuju Ujung Kulon. pukul 22:00 dan sempat berhenti di rest area Tol Serang untuk sekedar melengkapi logistik. Selesai istirahat sejenak dan sekedar membeli minuman dingin kami segera melanjutkan perjalanan. Saya terbiasa memanfaatkan waktu perjalanan malam hari untuk tidur karena tidak ada juga yang dapat di nikmati sepanjang perjalanan. Selang beberapa jam perjalanan sekiranya sudah menunjukka pukul 03:xx WIB bus yang kami tumpangi sering melakukan rem mendadak dan banting setir kanan kiri, rupanya jalanan yang kami lalui mulai jelek dan naik turun. Mulai pukul 03:xx itulah saya tidak dapat menikmati tertidur pulas lagi. Tak beberapa lama pukul 04:00 WIB kami sudah tiba di desa Sumur, desa terakhir yang dapat di lalui kendaraan darat untuk menuju Ujung Kulon.



Jumat, 04 Oktober 2013

[ MALANG ] Jelajah Liar Mahameru & Bromo [ INI INDONESIA ]

Setelah beberapa kali terdapat hambatan- hambatan yang akan menggagalkan acara pendakian menuju Mahameru dan Bromo. Tibalah saatnya periksa kesehatan ke klinik untuk mendapatkan surat keterangan sehat. Semenjak 3 hari sebelum datang ke klinik saya sudah merasakan ada yang tidak beres dengan Jantung. Ada saatnya denyut jantung sangat lemah memompa darah mengalir ke seluruh tubuh. Sepertinya karena kecapean setelah di gempur shift yang membabi buta dua minggu belakangan. Nut... nut... nut Tensimeter menekan lengan kiri saya. Pengukuran pertama saya masih rileks namun terjadi keanehan karena Tensimeter tidak menunjukkan angka yang signifikan bahkan terus turun serasa tak ada denyut di nadi kiri saya. hingga empat kali percobaan yang akhirnya saya benar- benar cemas jikalau memang saya sedang tidak fit. Namun apa yang terjadi dokter berbicara lain bahwa tekanan darah saya normal, saya pun pasrah apakah dokter berbicara jujur atau karena memang ingin memberikan izin naik gunung kepada kami. 

St. Pasar Senen



Jumat, 05 Juli 2013

[ JAKARTA ] Berpandangan Dengan Dia

Sebuah pengalaman yang sepertinya sudah biasa saja tentang berpandangan dengan seorang wanita. Bertepatan dengan perjalanan menuju Kampung Rambutan untuk meeting poin menuju trip Krakatau. Jumat 28 Juni 2013 saya berangkat dari Palbatu Tebet, Menuju dengan angkot biru jurusan Karet- Kampung Melayu dan tiba di halte Bus Transjakarta sudah menjelang Magrib. 

Ilustrasi Bus yang Saya Naikin

Oh tidak antrian lebih panjang daripada 2 kali saya datang sebelumnya. Bus Trans Jakarta pertama pun saya biarkan lewat begitu saja. Demi sebuah tempat duduk karena untuk menghemat tenaga maka bus kedua pun juga saya biarkan lewat begitu saja, namun tetap tenang karena di belakangnya masih ada 4 bus lagi. Dan mendarat kaki di bus ke 4, cukup penuh didalam bus namun saya berhasil mendapat tempat duduk. Dalam perjalanan menuju Kampung Rambutan tentunya bus berhenti di setiap halte. Entah darimanakah seorang gadis manis ini naek saya kurang faham betul. Sedikit ngantuk dan sesekali tertidur membuat saya tidak begitu menghiraukan sekeliling. Sekiranya di sekitar Pasar Induk saya baru sadar ada gadis yang berdiri di depan tempat duduk saya. Maaf karena saya juga capek maka tempat duduk pun tak saya bagi. Berdiri sambil sesekali dia melirik ke arah saya dan sekali-duakali kepergok oleh saya dia sedang melirik. Tak lama dia berdiri sampai di halte apa lupa namanya dia pun akhirnya dapat tempat duduk dan entah kebetulan atau apa dia duduk tepat di depan saya. Gadis manis bersahaja dan pemalu yang ternyata kalau di perhatikan semakin mirip Sulis penembang Ummi. 

Ilustrasi Gadis Manis mirip dengan Sulis

Masih belum bosan dia mencuri pandang kepadaku dan meskipun berkali-kali juga ketahuan. Pada akhirnya saya terkena semacam sirep dan berbalik menjadi saya memandangi matanya yang sesekali dia mengetahui dan seperti ingin- ingin tersenyum padaku tapi malu. Yasudah sudah terlanjur ini maka nikmati saja toh dia juga tidak risih berpandangan denganku. Hingga akhirnya halte terakhirpun tiba, yaitu halte Kampung Rambutan. Semua orang turun termasuk Dia dan Saya, turun dari bus pun saya masih mencari-cari apakah dia akan ke terminal dalam kota dan apakah malah dia adalah salah satu peserta trip krakatau lampion trip??? Oh saya terlalu berharap banyak kepada gadis manis yang mirip Sulis ini. Bayangan serta pandanganku hilang bersamaan seret langkahku meninggalkan halte bus Trans Jakarta itu.


Rabu, 03 Juli 2013

[ LAMPUNG ] Pendakian Anak Gunung Krakatau " LAGI "

Pada 9-11 September 2011 usai hari raya Idul Fitri adalah pertama kalinya saya mengikuti trip secara partai besar, karena sebelumnya saya selalu jalan-jalan dengan teman kuliah kira-kira 4-8 orang sekali jalan. Berangka dari bandung dan meeting poin di kampung rambutan. Diantara puluhan orang yang tidak saya kenal saya cuma bisa berdiam diri menunggu kapan trip di berangkatkan. Hingga akhirnya saya di panggil oleh dua orang yang juga datang sendiri untuk trip krakatau 9-11 September ini. Sesungguhnya saya kurang suka dengan trip skala besar karena selain akan ramai dan susah mendapat gambar saya juga merasa asing diantara orang-orang yang tidak saya kenal. Alhasil saya pun berasa jalan-jalan sendiri atau bersama 3/4 orang. Saat itu Ocin dan Agung lah orang yang saya kenal. Justru seusai trip dan pulang masing-masing saya dapat mengenal lebih banyak teman atau peserta trip kala itu. Enaknya trip skala besar adalah dapat menambah teman dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Bertemu dengan berbagai macam orang asing yang kadang menurut saya mereka unik dengan caranya masing- masing.
Dibawah ini adalah foto krakatau pada 11 September 2011
kata om rio ini adalah pegunungan alpen

Sepulang dari Krakatau trip ini saya tidak tau harus kemana karena sampai di kampung rambutan sudah larut malam, namun karena kebaikan seroang Hafiz Darmawan saya di berikan tumpangan menginap sementara sampai keesokan harinya ketika terang. Tidak sampe tumpangan menginap saja namun paginya saya diantarkan dari Ciledug hingga kosan waktu itu masih di Bintaro.
#Terima kasih banyak untuk Cak Hafiz Darmawan.
Sepertinya cukup prakata dalam tulisan ini, selanjutnya maka akan saya tuliskan tentang pendakian Anak Gunung Krakatau yang kedua dan ketiga.
Pendakian kedua adalah ketika saya mendapat ajakan dari Cak Andi dan Cak Hafiz yang dulunya adalah tourleader saya. Membantu mengkoordinir dan dokumentasi menjadi tugas saya dalam pendakian kedua ini. Kali ini saya jalan- jalan bukan untuk sekedar menikmati namun saya juga bertanggung jawab bagaimana agar peserta minimal tidak kecewa dalam trip yang kami adakan.
Krakatau trip 1-2 Juni 2013 dengan jumlah peserta hampir 50 orang, dan saya tidak mampu mengenal kesemuanya. Seperti trip yang pernah saya ikuti yaitu spot pertama adalah fotofun di pulau sebuku kecil, ketika kami tiba cuacanya sedang kurang bersahabat karena agak sedikit mendung. Selesai foto-foto spot berikutnya adalah snorkling di Sebuku Besar, hemmm spot yang kurang menarik kala itu karena hampir semua karang di tutupi oleh lumut atau rumput saya kurang paham betul. Sebelum mendarat di pulau Sebesi kami mampir di Pulau umang-umang untuk berfoto ria kembali. Cuaca masih belum berubah langit keabu-abuan membuat foto kurang ceria dan cenderung sendu seperti menjelang hujan.
Sebuah Pulau besar dengan berdiri tegak menjulang gunung danau pak nahkoda menyebutnya menjadi penanda bahwa itu adalah Pulau Sebesi. Rumah- rumah berdiri di beberapa tepian pantai yang sengaja di sediakan sebagai homestay. Beberapa rumah hancur berantakan seperti sudah puluhan tahun ditinggalkan tergelatak di beberapa sudut jalan setapak. Berderet perkampungan warga pulau Sebesi di kaki gunung Danau seakan berlindung dari panas dan hujan di bawah Gunung. Beberapa rumah penduduk kami pergunakan sebagai homestay dan beberapa lagi homestay tepian pantai kami tinggali untuk tidur sementara. Berbeda dengan trip pertama kali saya yaitu sunset bukan lagi di pulau umang-umang namun mencoba spot yang baru yaitu Ujung seng, ujung barat pulau Sebesi. Sepertinya bagi beberapa orang spot ini kurang menarik karena matahari tidak dapat dinikmati ketika betul- betul tenggelam. Hmmm saya sendiri suka karena saat itu langit penghujung waktu senja justru sedang bergejolak merah merona membakar kabut- kabut.
ujung seng
Malam hariya kami habiskan waktu dengan barbeque dan belajar foto galaksi bintang. Seusai babeque dengan Cak Hafiz dan Uda Kurniawan kami membidikkan kamera ke langit guna mencari letak milky way, karena malam itu milkyway kurang begitu jelas terlihat oleh mata.
milkyway on Sebesi island
 Tanggal 2 Juni 2013 mata masih dalam keadaan susah di buka karena kantuk yang belum tertahan. Pukul 02.30 kami semua di bangunkan karena perjalanan harus segera di lanjutkan. Namun apa daya ketika salah satu kapal kami mengalami keruskan pada starternya maka kami harus rela menunggu hingga pukul 05:00.
Tiba di Anak Gunung Krakatau matahari sudah gagah menyambut kedatangan kami. Teriknya yang mulai meninggi mulai menghangatkan tubuh kami. Satu jam di puncak sepertinya kurang lama karena masih banyak peserta yang ingin bernarsis ria dari segala sudut dan penjuru Puncak Krakatau.
Krakatau 2 Juni 2013
krakatau 1-2 Juni 2013

Ketiga kalinya saya belum bosan diajak oleh Cak Hafiz Darmawan mengunjungi Dangerous Place  ini. Tanggal 30 Juni – 2 Juli 2013 belum lama jika di tengok ke pendakian yang kedua. Dengan suasana yang berbeda dan peserta yang berbeda pula. Beberapa peserta saya sudah mengenalnya diantaranya teh Nenden, mbak Azizah, Cak ilham, dan Tengku Hary. Teh Nenden dan mbak Azizah adalah peserta waktu ke Kiluan, kemudian cak Ilham adalah peserta yang pernah ikut trip ke Pahawang. Ternyata Tengku Hary ini belum bosan juga datang ke Krakatau sampe akhirnya dia ikut lagi.

Oke perjalanan berawal dari kampung rambutan seperti biasanya, saya beserta 9 peserta yang lain menuju Merak untuk bertemu dengan Cak Hafiz Darmawan juga peserta trip yang lainnya. Sekitar 2.5 jam perjalanan menuju Merak saya habiskan untuk tidur dan apa yang terjadi??? Bangun-bangun saya kaget dan buru-buru turun alhasil topi kesayangan ketinggalan di bis dan yasudalah. Tiba di Merak tak lama menunggu membeli tiket kapal kami pun segera naik ke kapal fery untuk menyebrang ke Bakauheni. Sudah menjadi hal yang biasa atau bahkan harus jika ke Dermaga Canti dari Bakauheni itu menggunakan Angkot Kuning. Setibanya di Canti tanah basah dan becek habis hujan lebat sedari pagi. Peserta juga saya serta Cak Hafiz sarapan pagi sembari menunggu kapal yang akan menyebrangkan kami siap mengantar.

dermaga Canti setelah hujan

Tujuan pertama adalah Pulau Sebuku kecil, Karena air pasang dan ombak lumayan besar maka segera berpindah ke spot selanjutnya yaitu Spot snorkling di Sebuku besar. Seperti yang sudah sudah snorkling di sini tidak bagus dan ikannya tidak banyak. Namun apa yang terjadi ketika saya hendak naek ke kapal sambil mata mengarah ke bawah tampak terlihat anemon dengan ikan berwarna kuning putih hitam. Oh cantiknya apakah itu ikan jenis Nemo juga??? langsung saya samperin dan arahkan kamera jepret jepret dapatlah si cantik kemudian barulah naik ke kapal.

Mr Hafiz dengan peserta
exsahabatjalan with media traveller
Nemo jenis baru di P. Sebuku Besar

Lanjut saja ya biar tidak kelamaan berceritanya, sesungguhnya saya juga sudah capek menulis apalagi nanti kalian pembaca juga malas kalau terlalu banyak ocehannya :D. Istirahat sebentar di Pulau Sebesi seperti cerita di pendakian kedua hehehe. Kembali kepada konsep awal dahulu kala yaitu spot sunset adalah ke Pulau Umang-umang bukan lagi ke Ujung seng. Ternyata memang cuaca belum bersahabat dengan #exsahabatjalan. Langit mendung ombak besar serta angin sepoi-sepoi agak mengencang sedikit. Batuan hitam kayu rapuh tepian pantai dan hijau pucat dedaunan karena tidak mendapat cahaya matahari sedari pagi. Tak banyak yang dapat saya lakukan di spot Sunset Pulau Umang-umang ini.

mendung datang melanda
Tengku Hary melompat
Mas memet jump in to the sea

Berlanjut di malam hari yang awalnya cerah bermandikan bintang-bintang namun segera tertutup mendung kami habiskan dengan barbeque seperti tradisi yang sudah berjalan.
Bedanya trip Krakatau yang ketga ini adalah di selingi oleh penerbangan lampion maka di sebutlah Krakatau Lampion Trip. Peserta sepertinya antusias menunggu penerbangan lampion ini yang tadinya terlihat malas2an menunggu ikan bakarnya matang setelah berdiri dan menyalakan api genggaman mereka masing- masing mulai terdengar riuh canda mereka.

mereka bosan menunggu ikan bakar
Api dalam genggaman mereka

Selesai penerbangan Lampion kami semua harus istirahat karena kesokan harinya papa 03:00 dini hari harus sudah siap menghadapi perjalanan sesungguhnya. Mata yang terpejam perlahan terbuka menyambut dingin angin malam serta pantulan cahaya bulan. Berseret kaki tak cuma sepasang namun berpuluh pasang menuju kapal. Saya sendiripun masih berharap dapat tidur lagi di kapal karena mata masih sangat lengket dan tak bersahabat ketika diajak membuka. Hampir dua jam mengarungi laut menuju Gunung Anak Krakatau akhirnya tiba juga.

video perjalanan

Beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil :

1. Saya pada dasarnya penyuka jalan-jalan sendiri atau dalam grup kecil (*4-5 orang)
2. Saya suka mempunyai banyak teman, namun bukan berarti saya dapat menikmati suasana dalam keramaian karena saya akan pusing sendiri.
3. Ketika menemani sejumlah orang untuk jalan-jalan atau dalam artian sebagai tourleader tertanam rasa ingin membuat para peserta merasakan kesenangan dan kepuasan. Akan sangat senang sekali ketika orang yang bersama saya dapat merasakan kebahagiaan dan kesenangan. Dapat dikatakan saya berhasil ketika mereka senang.
4. Ada kalanya saya tetap ingin jalan-jalan sendiri/ grup kecil ada kalanya saya juga dengan senang hati mengantar banyak orang untuk menikmati keindahan INDONESIA tanpa merusaknya sedikitpun 😀
** Jangan Kapok Berjalan-jalan Bersama Saya **

[ LAMPUNG ] Pendakian Anak Gunung Krakatau " LAGI "

Pada 9-11 September 2011 usai hari raya Idul Fitri adalah pertama kalinya saya mengikuti trip secara partai besar, karena sebelumnya saya selalu jalan-jalan dengan teman kuliah kira-kira 4-8 orang sekali jalan. Berangka dari bandung dan meeting poin di kampung rambutan. Diantara puluhan orang yang tidak saya kenal saya cuma bisa berdiam diri menunggu kapan trip di berangkatkan. Hingga akhirnya saya di panggil oleh dua orang yang juga datang sendiri untuk trip krakatau 9-11 September ini. Sesungguhnya saya kurang suka dengan trip skala besar karena selain akan ramai dan susah mendapat gambar saya juga merasa asing diantara orang-orang yang tidak saya kenal. Alhasil saya pun berasa jalan-jalan sendiri atau bersama 3/4 orang. Saat itu Ocin dan Agung lah orang yang saya kenal. Justru seusai trip dan pulang masing-masing saya dapat mengenal lebih banyak teman atau peserta trip kala itu. Enaknya trip skala besar adalah dapat menambah teman dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Bertemu dengan berbagai macam orang asing yang kadang menurut saya mereka unik dengan caranya masing- masing.
Dibawah ini adalah foto krakatau pada 11 September 2011

kata om rio ini adalah pegunungan alpen
























Sepulang dari Krakatau trip ini saya tidak tau harus kemana karena sampai di kampung rambutan sudah larut malam, namun karena kebaikan seroang Hafiz Darmawan saya di berikan tumpangan menginap sementara sampai keesokan harinya ketika terang. Tidak sampe tumpangan menginap saja namun paginya saya diantarkan dari Ciledug hingga kosan waktu itu masih di Bintaro.
#Terima kasih banyak untuk Cak Hafiz Darmawan.

Sepertinya cukup prakata dalam tulisan ini, selanjutnya maka akan saya tuliskan tentang pendakian Anak Gunung Krakatau yang kedua dan ketiga.
Pendakian kedua adalah ketika saya mendapat ajakan dari Cak Andi dan Cak Hafiz yang dulunya adalah tourleader saya. Membantu mengkoordinir dan dokumentasi menjadi tugas saya dalam pendakian kedua ini. Kali ini saya jalan- jalan bukan untuk sekedar menikmati namun saya juga bertanggung jawab bagaimana agar peserta minimal tidak kecewa dalam trip yang kami adakan.
Krakatau trip 1-2 Juni 2013 dengan jumlah peserta hampir 50 orang, dan saya tidak mampu mengenal kesemuanya. Seperti trip yang pernah saya ikuti yaitu spot pertama adalah fotofun di pulau sebuku kecil, ketika kami tiba cuacanya sedang kurang bersahabat karena agak sedikit mendung. Selesai foto-foto spot berikutnya adalah snorkling di Sebuku Besar, hemmm spot yang kurang menarik kala itu karena hampir semua karang di tutupi oleh lumut atau rumput saya kurang paham betul. Sebelum mendarat di pulau Sebesi kami mampir di Pulau umang-umang untuk berfoto ria kembali. Cuaca masih belum berubah langit keabu-abuan membuat foto kurang ceria dan cenderung sendu seperti menjelang hujan.
Sebuah Pulau besar dengan berdiri tegak menjulang gunung danau pak nahkoda menyebutnya menjadi penanda bahwa itu adalah Pulau Sebesi. Rumah- rumah berdiri di beberapa tepian pantai yang sengaja di sediakan sebagai homestay. Beberapa rumah hancur berantakan seperti sudah puluhan tahun ditinggalkan tergelatak di beberapa sudut jalan setapak. Berderet perkampungan warga pulau Sebesi di kaki gunung Danau seakan berlindung dari panas dan hujan di bawah Gunung. Beberapa rumah penduduk kami pergunakan sebagai homestay dan beberapa lagi homestay tepian pantai kami tinggali untuk tidur sementara. Berbeda dengan trip pertama kali saya yaitu sunset bukan lagi di pulau umang-umang namun mencoba spot yang baru yaitu Ujung seng, ujung barat pulau Sebesi. Sepertinya bagi beberapa orang spot ini kurang menarik karena matahari tidak dapat dinikmati ketika betul- betul tenggelam. Hmmm saya sendiri suka karena saat itu langit penghujung waktu senja justru sedang bergejolak merah merona membakar kabut- kabut.
ujung seng

Malam hariya kami habiskan waktu dengan barbeque dan belajar foto galaksi bintang. Seusai babeque dengan Cak Hafiz dan Uda Kurniawan kami membidikkan kamera ke langit guna mencari letak milky way, karena malam itu milkyway kurang begitu jelas terlihat oleh mata.

milkyway on Sebesi island

 Tanggal 2 Juni 2013 mata masih dalam keadaan susah di buka karena kantuk yang belum tertahan. Pukul 02.30 kami semua di bangunkan karena perjalanan harus segera di lanjutkan. Namun apa daya ketika salah satu kapal kami mengalami keruskan pada starternya maka kami harus rela menunggu hingga pukul 05:00.
Tiba di Anak Gunung Krakatau matahari sudah gagah menyambut kedatangan kami. Teriknya yang mulai meninggi mulai menghangatkan tubuh kami. Satu jam di puncak sepertinya kurang lama karena masih banyak peserta yang ingin bernarsis ria dari segala sudut dan penjuru Puncak Krakatau.

Krakatau 2 Juni 2013
























krakatau 1-2 Juni 2013

Ketiga kalinya saya belum bosan diajak oleh Cak Hafiz Darmawan mengunjungi Dangerous Place  ini. Tanggal 30 Juni - 2 Juli 2013 belum lama jika di tengok ke pendakian yang kedua. Dengan suasana yang berbeda dan peserta yang berbeda pula. Beberapa peserta saya sudah mengenalnya diantaranya teh Nenden, mbak Azizah, Cak ilham, dan Tengku Hary. Teh Nenden dan mbak Azizah adalah peserta waktu ke Kiluan, kemudian cak Ilham adalah peserta yang pernah ikut trip ke Pahawang. Ternyata Tengku Hary ini belum bosan juga datang ke Krakatau sampe akhirnya dia ikut lagi.

Oke perjalanan berawal dari kampung rambutan seperti biasanya, saya beserta 9 peserta yang lain menuju Merak untuk bertemu dengan Cak Hafiz Darmawan juga peserta trip yang lainnya. Sekitar 2.5 jam perjalanan menuju Merak saya habiskan untuk tidur dan apa yang terjadi??? Bangun-bangun saya kaget dan buru-buru turun alhasil topi kesayangan ketinggalan di bis dan yasudalah. Tiba di Merak tak lama menunggu membeli tiket kapal kami pun segera naik ke kapal fery untuk menyebrang ke Bakauheni. Sudah menjadi hal yang biasa atau bahkan harus jika ke Dermaga Canti dari Bakauheni itu menggunakan Angkot Kuning. Setibanya di Canti tanah basah dan becek habis hujan lebat sedari pagi. Peserta juga saya serta Cak Hafiz sarapan pagi sembari menunggu kapal yang akan menyebrangkan kami siap mengantar.

dermaga Canti setelah hujan

Tujuan pertama adalah Pulau Sebuku kecil, Karena air pasang dan ombak lumayan besar maka segera berpindah ke spot selanjutnya yaitu Spot snorkling di Sebuku besar. Seperti yang sudah sudah snorkling di sini tidak bagus dan ikannya tidak banyak. Namun apa yang terjadi ketika saya hendak naek ke kapal sambil mata mengarah ke bawah tampak terlihat anemon dengan ikan berwarna kuning putih hitam. Oh cantiknya apakah itu ikan jenis Nemo juga??? langsung saya samperin dan arahkan kamera jepret jepret dapatlah si cantik kemudian barulah naik ke kapal.

Mr Hafiz dengan peserta

exsahabatjalan with media traveller


Nemo jenis baru di P. Sebuku Besar

Lanjut saja ya biar tidak kelamaan berceritanya, sesungguhnya saya juga sudah capek menulis apalagi nanti kalian pembaca juga malas kalau terlalu banyak ocehannya :D. Istirahat sebentar di Pulau Sebesi seperti cerita di pendakian kedua hehehe. Kembali kepada konsep awal dahulu kala yaitu spot sunset adalah ke Pulau Umang-umang bukan lagi ke Ujung seng. Ternyata memang cuaca belum bersahabat dengan #exsahabatjalan. Langit mendung ombak besar serta angin sepoi-sepoi agak mengencang sedikit. Batuan hitam kayu rapuh tepian pantai dan hijau pucat dedaunan karena tidak mendapat cahaya matahari sedari pagi. Tak banyak yang dapat saya lakukan di spot Sunset Pulau Umang-umang ini.

mendung datang melanda

Tengku Hary melompat

Mas memet jump in to the sea

Berlanjut di malam hari yang awalnya cerah bermandikan bintang-bintang namun segera tertutup mendung kami habiskan dengan barbeque seperti tradisi yang sudah berjalan.
Bedanya trip Krakatau yang ketga ini adalah di selingi oleh penerbangan lampion maka di sebutlah Krakatau Lampion Trip. Peserta sepertinya antusias menunggu penerbangan lampion ini yang tadinya terlihat malas2an menunggu ikan bakarnya matang setelah berdiri dan menyalakan api genggaman mereka masing- masing mulai terdengar riuh canda mereka.

mereka bosan menunggu ikan bakar

Api dalam genggaman mereka

Selesai penerbangan Lampion kami semua harus istirahat karena kesokan harinya papa 03:00 dini hari harus sudah siap menghadapi perjalanan sesungguhnya. Mata yang terpejam perlahan terbuka menyambut dingin angin malam serta pantulan cahaya bulan. Berseret kaki tak cuma sepasang namun berpuluh pasang menuju kapal. Saya sendiripun masih berharap dapat tidur lagi di kapal karena mata masih sangat lengket dan tak bersahabat ketika diajak membuka. Hampir dua jam mengarungi laut menuju Gunung Anak Krakatau akhirnya tiba juga.

























video perjalanan



Beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil :

1. Saya pada dasarnya penyuka jalan-jalan sendiri atau dalam grup kecil (*4-5 orang)
2. Saya suka mempunyai banyak teman, namun bukan berarti saya dapat menikmati suasana dalam keramaian karena saya akan pusing sendiri.
3. Ketika menemani sejumlah orang untuk jalan-jalan atau dalam artian sebagai tourleader tertanam rasa ingin membuat para peserta merasakan kesenangan dan kepuasan. Akan sangat senang sekali ketika orang yang bersama saya dapat merasakan kebahagiaan dan kesenangan. Dapat dikatakan saya berhasil ketika mereka senang.
4. Ada kalanya saya tetap ingin jalan-jalan sendiri/ grup kecil ada kalanya saya juga dengan senang hati mengantar banyak orang untuk menikmati keindahan INDONESIA tanpa merusaknya sedikitpun :D

** Jangan Kapok Berjalan-jalan Bersama Saya **