Pagi hari dimulai dengan nego sewa motor milik salah satu karyawan hotel sandlewood. Setelah deal saya dan Hafiz langsung menuju pantai puru kambera berniat untuk snorkling. Perjalanan dari hotel menuju pantai memakan waktu sekitar 1 jam. Melewati luasnya hamparan padang savana puru kambera. Kanan dan kiri berupa padang savana yang mulai mengering coklat keemasan warnanya. Dari jauh dan ketinggian sudah nampak pantai puru kamera melengkung dengan di belakangnya barisan ribuan perbukitan berdiri dengan rapi. Tiba di pantai puru kambera ada beberapa nelayan yang sedang bersantai di bivak yang mereka buat. Sebelum nyemplung dan foto kami permisi sebentar mau lihat pantai dan berenang. Pantai pasir putih lembut dan ber air jernih ke biruan karena pantulan warna langit yang cerah. Pasirnya lembut dan bersih khas pasir di pantai Nusa Tenggara Timur. Air pantai yang bening sebening kristal namun ketika saya berenang dan melihat lihat ke sekitar beberapa spot terumbu karang sepertinya rusak karena BOM. Bermain air sebentar dan ambil foto serta video secukupnya kemudian kami lanjut menuju air terjun kakaroluk loku di Tanggedu. Ya kalau ada yang pernah dengar di Sumba pernah di temukan buaya sedang di pinggir pantai itu sangat benar maka dari itu saya tidak berani berlama lama berenang di pantai apalagi jauh jauh dari keramaian nelayan.
Padang savana Puru Kambera
Padang savana Puru Kambera
Pantai Puru Kambera
Pantai Puru Kambera
Jika ingin ke kakaroluk loku dari puru kambera lurus terus saja mengikuti jalan aspal hingga bertemu gereja baru dan pasar. Di pasar ada simpang masuk kekiri, maka masuk kiri itu dan ikuti saja jalan berupa batuan kapur putih. Perjalanan melalui belasan bukit berkelok naik turun berupa bebatuan kapur terjal. Sepanjang perjalanan kami di suguhi kanan kiri oleh lipatan ratusan bukit berbaris dan diatasnya bergerombol awan putih menghias langit biru. Diantara perbukitan terdapat lembah- lembah yang subur karena di aliri oleh air sungai jernih dan dingin. Setelah mendaki dan melewati beberapa bukit kami di hadapkan oleh ujung jalan. Awalnya kami kira jalan buntu dan kami nyasar namun setelah bertanya kepada Mama di bale ternyata kami sudah sampai di parkiran air terjun kakaroluk loku. Sebuah pelataran parkir di depan bale- bale rumah khas Sumba yang kini atap dari alang- alang pun mulai terganti oleh seng. Setau saya mendapat info beberapa orang NTT bahwa atap dari alang- alang mampu bertahan puluhan tahun dan bahannya pun mudah di dapat karena banyak tumbuh alang- alang di sekitar mereka. Sedangkan seng dahulu kala sebelum banyak motor dan mobil mereka harus membeli ke kota ( Waingapu ) kemudian di pikul puluhan kilometer untuk dibawa ke desa sebagai atap yang baru. Umur dari seng juga saya kira tidak selama jika menggunakan alang- alang. Di halaman parkir terdapat beberapa ekor kuda, sapi dan Babi. Dari tempat parkir kami masih harus melewati jalan setapak menuruni sungai dan naik lagi karena belum di bangun jembatan. Kemudian berjalan melintasi padang savana hingga tiba di rumah terakhir. Saya melihat seorang bapak tua sedang bersantai di bale- bale bersama cucunya. Kami bertanya kemana arah air terjun, ” lurus sudah sebentar ada pintu kuda dapat jalan lihat air terjun” . Saya ikuti arahan kakek dan di ujung kandang kuda terdapat jalur menurun ke sungai yang sangat curam dengan bantuan pagar di sebelah kanan dan akar untuk pegangan di sebelah kiri.
Jalur menuju Tanggedu
Sejauh perjalanan Jalur batuan kapur
Naik Turun berkelok khas perbukitan
dari rumah kakek menuju sungai
Sebagai Loket masuk Kakaroluk Loku
Kami di sambut oleh gemuruh suara air terjun bertabrakan ke dinding bebatuan, suara angin lembah serta kicau burung menambah syahdunya suasana. Air terjun yang tidak terlalu tinggi dengan beberapa kolam bulat di aliri air jernih kehijauan. Ada 3 air terjun yang cukup besar di sungai ini dan ketiganya seolah saling melengkapi keindahannya. Terik matahari yang begitu panas mampu di redam oleh dinginnya air dan hembusan angin yang berputar di sekitar lembah sungai. Di beberapa titik saya lihat bongkahan kayu besar yang nyangkut seakan menjadi jembatan dengan sendirinya untuk pengunjung mengexplore. Sudah puas berendam serta mengambil gambar kami kembali mampir ke rumah kakek istirahat sebentar di bale- bale sambil minum air kelapa muda. Sambil istirahat kami ngobrol dengan mama yang menjaga tiket menuju air terjun. meskipun tak banyak bahasa kami yang menyambung tapi rasanya seakan sudah sangat akrab. Cukup banyak cerita yang kami dengar dari mama tentang air terjun dan tentang desa Tanggedu. Desa yang mendapat anugrah indahnya sungai dan air terjun kakaroluk loku.
Pagi hari dimulai dengan nego sewa motor milik salah satu karyawan hotel sandlewood. Setelah deal saya dan Hafiz langsung menuju pantai puru kambera berniat untuk snorkling. Perjalanan dari hotel menuju pantai memakan waktu sekitar 1 jam. Melewati luasnya hamparan padang savana puru kambera. Kanan dan kiri berupa padang savana yang mulai mengering coklat keemasan warnanya. Dari jauh dan ketinggian sudah nampak pantai puru kamera melengkung dengan di belakangnya barisan ribuan perbukitan berdiri dengan rapi. Tiba di pantai puru kambera ada beberapa nelayan yang sedang bersantai di bivak yang mereka buat. Sebelum nyemplung dan foto kami permisi sebentar mau lihat pantai dan berenang. Pantai pasir putih lembut dan ber air jernih ke biruan karena pantulan warna langit yang cerah. Pasirnya lembut dan bersih khas pasir di pantai Nusa Tenggara Timur. Air pantai yang bening sebening kristal namun ketika saya berenang dan melihat lihat ke sekitar beberapa spot terumbu karang sepertinya rusak karena BOM. Bermain air sebentar dan ambil foto serta video secukupnya kemudian kami lanjut menuju air terjun kakaroluk loku di Tanggedu. Ya kalau ada yang pernah dengar di Sumba pernah di temukan buaya sedang di pinggir pantai itu sangat benar maka dari itu saya tidak berani berlama lama berenang di pantai apalagi jauh jauh dari keramaian nelayan.
Padang savana Puru Kambera
Padang savana Puru Kambera
Pantai Puru Kambera
Pantai Puru Kambera
Jika ingin ke kakaroluk loku dari puru kambera lurus terus saja mengikuti jalan aspal hingga bertemu gereja baru dan pasar. Di pasar ada simpang masuk kekiri, maka masuk kiri itu dan ikuti saja jalan berupa batuan kapur putih. Perjalanan melalui belasan bukit berkelok naik turun berupa bebatuan kapur terjal. Sepanjang perjalanan kami di suguhi kanan kiri oleh lipatan ratusan bukit berbaris dan diatasnya bergerombol awan putih menghias langit biru. Diantara perbukitan terdapat lembah- lembah yang subur karena di aliri oleh air sungai jernih dan dingin. Setelah mendaki dan melewati beberapa bukit kami di hadapkan oleh ujung jalan. Awalnya kami kira jalan buntu dan kami nyasar namun setelah bertanya kepada Mama di bale ternyata kami sudah sampai di parkiran air terjun kakaroluk loku. Sebuah pelataran parkir di depan bale- bale rumah khas Sumba yang kini atap dari alang- alang pun mulai terganti oleh seng. Setau saya mendapat info beberapa orang NTT bahwa atap dari alang- alang mampu bertahan puluhan tahun dan bahannya pun mudah di dapat karena banyak tumbuh alang- alang di sekitar mereka. Sedangkan seng dahulu kala sebelum banyak motor dan mobil mereka harus membeli ke kota ( Waingapu ) kemudian di pikul puluhan kilometer untuk dibawa ke desa sebagai atap yang baru. Umur dari seng juga saya kira tidak selama jika menggunakan alang- alang. Di halaman parkir terdapat beberapa ekor kuda, sapi dan Babi. Dari tempat parkir kami masih harus melewati jalan setapak menuruni sungai dan naik lagi karena belum di bangun jembatan. Kemudian berjalan melintasi padang savana hingga tiba di rumah terakhir. Saya melihat seorang bapak tua sedang bersantai di bale- bale bersama cucunya. Kami bertanya kemana arah air terjun, ” lurus sudah sebentar ada pintu kuda dapat jalan lihat air terjun” . Saya ikuti arahan kakek dan di ujung kandang kuda terdapat jalur menurun ke sungai yang sangat curam dengan bantuan pagar di sebelah kanan dan akar untuk pegangan di sebelah kiri.
Jalur menuju Tanggedu
Sejauh perjalanan Jalur batuan kapur
Naik Turun berkelok khas perbukitan
dari rumah kakek menuju sungai
Sebagai Loket masuk Kakaroluk Loku
Kami di sambut oleh gemuruh suara air terjun bertabrakan ke dinding bebatuan, suara angin lembah serta kicau burung menambah syahdunya suasana. Air terjun yang tidak terlalu tinggi dengan beberapa kolam bulat di aliri air jernih kehijauan. Ada 3 air terjun yang cukup besar di sungai ini dan ketiganya seolah saling melengkapi keindahannya. Terik matahari yang begitu panas mampu di redam oleh dinginnya air dan hembusan angin yang berputar di sekitar lembah sungai. Di beberapa titik saya lihat bongkahan kayu besar yang nyangkut seakan menjadi jembatan dengan sendirinya untuk pengunjung mengexplore. Sudah puas berendam serta mengambil gambar kami kembali mampir ke rumah kakek istirahat sebentar di bale- bale sambil minum air kelapa muda. Sambil istirahat kami ngobrol dengan mama yang menjaga tiket menuju air terjun. meskipun tak banyak bahasa kami yang menyambung tapi rasanya seakan sudah sangat akrab. Cukup banyak cerita yang kami dengar dari mama tentang air terjun dan tentang desa Tanggedu. Desa yang mendapat anugrah indahnya sungai dan air terjun kakaroluk loku.
Terbangun dipagi hari masih diselimuti rasa cemas karena kami belum mendapat sewa motor/ ojek untuk explore sumba barat hari itu. Setelah saya menunggu sebentar kakak yoseph bangun dari tidurnya segera saya minta tolong sebentar dicarikan ojek. Kakak Yoseph telp kawannya yang tukang ojek diminta untuk antar kami pergi ke air terjun Lapopu dan Matayangu. Pukul 08:00 tukang ojek datang yang satu punya nama Eric dan kawannya adalah Feri. Setelah deal harga ojek 120ribu/ orang kami langsung checkout dari wisma menuju daerah Wanukaka. Melintasi jalanan perbukitan berkelok- kelok naik turun dengan pemandangan samping kanan kiri adalah perbukitan berjajar indah. Udara sejuk semerbak wewangian bunga kopi menjadikan awal perjalanan kami penuh semangat. Setelah melewati beberapa kelokan turunan dan tanjakan kami tiba di pelataran parkir wisata air terju Lapopu. Perlahan kami melalui jalan setapak menyusuri sungai diantar oleh seorang kakek yang bernama Borowoyak umur 70 tahun keturunan Belanda. Air sungai jernih kehijauan terlihat dasar sungai yang sebagian besar adalah batuan kapur. Tipikal sungai dan air terjun yang mirip dengan air terjun Matajitu di Moyo dan Sri gethuk di Wonosari. Sebentar ambil foto dan sedikit video kemudian kami segera melanjutkan ke air terjun berikutnya yaitu Matayangu.
Sungai Lapopu
Jembatan menuju air terjun Lapopu
Sungai Lapopu
Lapopu dari jauh
Air terjun Lapopu
Masih diantarkan oleh kakek Borowoyak kami memulai dengan menaiki puluhan anak tangga pipa saluran air. Rasanya baru 15 menit menaiki anak tangga dengkul dan badan rasanya sudah lemas semua. Di depan kakek Borowoyak terus berjalan seolah tak punya rasa letih dan lemas. Setelah menaiki anak tangga kami berjalan perlahan di atas pipa saluran air memasuki hutan mengikuti pipa hingga ke mata air. Semakin ke dalam semakin gelap seolah sinar matahari tak mampu menembus rapetnya deduanan dari pohon- pohon yang berdiri menjulang tinggi. Setelah berjalan selama 30 menit kami sampai di mulut goa mata air. Air jernih dan mengalir deras sebagian besar menuju pemipaan dan sebagian lainnya mengalr bebas mengikuti aliran sungai. Istirahat sebentar beberapa menit kemudian kami melanjutkan treking membelah hutan padam. Ya kata kakek Borowoyak hutan padam, karena tidak ada orang/ penduduk dalam kawasan hutan ini. Hutan di huni oleh sekawanan kera dan beberapa jenis burung endemik. Dan satu lagi penghuni hutan adalah lintah, dalam perjalan tak sadar kaki Hafiz, saya dan Kakek sudah di hinggapi lintah. Kata kakek tidak apa karena yang di hisap lintah adalah darah kotor. Namun tetap saja Hafiz dan saya tidak tenang selama masih ada lintah yang menempel di kaki. Sudah selesai membersihkan lintah kami melanjutkan treking yang tadinya sempat mencari jalan potong namun karena kakek menjadi ragu maka kami putar arah lagi kembali ke jalur yang semestinya. Kami kembali menanjak menuju puncak bukit hutan yang disana merupakan perbatasan Sumba Tengah dengan Sumba Barat. Saking capeknya saya dan Hafiz meminta kakek untuk istirahat terlebih dahulu. Setibanya di puncak perbatasan trek menjadi menuruni bukit menuju air terjun Matayangu. Saya terus berusaha mengimbangi langkah kakek yang seolah tak punya capek. Tiba juga kami di air terjun Matayangu setelah sekitar 30 menit kami treking menuruni bukit hutan padam nan lebat. Terdengar suara gemuruh dan gemericik air terjun dan aliran sungai. Serta hembusan angin di sela tebing dan bukit bersahutan seolah mereka sedang bermain musik. Air terjun yang terletak di ujung/ puncak tebing dengan 2 goa di tengah dan agak ke bawah. Dikala musim hujan terdapat 3 aliran air terjun bebas yang menakjubkan. Aliran yang pertama adalah aliran dari ujung/ puncak tebing yang mengalir air ketika musim hujan debit air sungai sedang besar. Kemudian aliran kedua adalah goa di tengah yang mengucurkan air mengalir melewati tebing. yang ketiga adalah Goa yang paling bawah yang menyemburkan air dari aliran goa tengah. Ketika ketiga aliran berpadu membentuk air terjun yang menakjuban bagi saya.
Video Perjalanan Sumba
Saya, Hafiz, Kakek Borowoyak
Rumput di aiir terjun Matayangu
Kakek Borowoyak
Air terjun dari cucuran air goa tengah dan semburan goa bawah
Mengingat jauhnya perjalanan pulang maka kami cukup 30 menit saja menikmati indahnya air terjun sambil istirahat kemudian segera berbalik agar tidak kesorean di dalam hutan. Sebenernya ada jalur lain yaitu lewa Lahona, jalur Lahona ini yang lebih sering dipakai bule namun karena ojek menunggu di Lapopu maka kami harus lagi lagi membelah hutan untuk kembali ke Lapopu. Dalam treking balik ke Lapopu kakek Borowoyak mencoba mencari jalan potong lagi meskipun jalan potong yang pernah di buat sudah tertutup oleh rimbunnya semak belukar dan kali ini kakek tidak mau menyerah. Sudah beberapa belas menit kami menyusuri hutan padam tanpa arah sama sekali dan sayapun mulai ragu cemas takut sampai sampai HP saya mendapat sinyal kemudian membuka GPS MAP namun tetap saja tidak membantu. Pasrah saja sama Allah dan akan mendapat pertolongan lewat kakek Borowoyak. Tak lama kemudian Alhamdulillah di depan kakek berteriak ” Sebentar kita su dapat lihat jalan ” . Rasanya lega ketika sudah bertemu dengan Goa mata air dan pemipaan saluran air. Tiba di loket istirahat sebentar kemudian bertolak ke kota Waikabubak mencari makan sebelum kami mengakhiri di Waikabubak dan menuju Waingapu. Dari Waikabubak kami memilih travel karena bus terkahir katanya pukul 15:00 sudah jalan. Hampir tidak ada bedanya bus dengan travel, yaitu sama sama penuh sesak oleh penumpang.
Terbangun dipagi hari masih diselimuti rasa cemas karena kami belum mendapat sewa motor/ ojek untuk explore sumba barat hari itu. Setelah saya menunggu sebentar kakak yoseph bangun dari tidurnya segera saya minta tolong sebentar dicarikan ojek. Kakak Yoseph telp kawannya yang tukang ojek diminta untuk antar kami pergi ke air terjun Lapopu dan Matayangu. Pukul 08:00 tukang ojek datang yang satu punya nama Eric dan kawannya adalah Feri. Setelah deal harga ojek 120ribu/ orang kami langsung checkout dari wisma menuju daerah Wanukaka. Melintasi jalanan perbukitan berkelok- kelok naik turun dengan pemandangan samping kanan kiri adalah perbukitan berjajar indah. Udara sejuk semerbak wewangian bunga kopi menjadikan awal perjalanan kami penuh semangat. Setelah melewati beberapa kelokan turunan dan tanjakan kami tiba di pelataran parkir wisata air terju Lapopu. Perlahan kami melalui jalan setapak menyusuri sungai diantar oleh seorang kakek yang bernama Borowoyak umur 70 tahun keturunan Belanda. Air sungai jernih kehijauan terlihat dasar sungai yang sebagian besar adalah batuan kapur. Tipikal sungai dan air terjun yang mirip dengan air terjun Matajitu di Moyo dan Sri gethuk di Wonosari. Sebentar ambil foto dan sedikit video kemudian kami segera melanjutkan ke air terjun berikutnya yaitu Matayangu.
Sungai Lapopu
Jembatan menuju air terjun Lapopu
Sungai Lapopu
Lapopu dari jauh
Air terjun Lapopu
Masih diantarkan oleh kakek Borowoyak kami memulai dengan menaiki puluhan anak tangga pipa saluran air. Rasanya baru 15 menit menaiki anak tangga dengkul dan badan rasanya sudah lemas semua. Di depan kakek Borowoyak terus berjalan seolah tak punya rasa letih dan lemas. Setelah menaiki anak tangga kami berjalan perlahan di atas pipa saluran air memasuki hutan mengikuti pipa hingga ke mata air. Semakin ke dalam semakin gelap seolah sinar matahari tak mampu menembus rapetnya deduanan dari pohon- pohon yang berdiri menjulang tinggi. Setelah berjalan selama 30 menit kami sampai di mulut goa mata air. Air jernih dan mengalir deras sebagian besar menuju pemipaan dan sebagian lainnya mengalr bebas mengikuti aliran sungai. Istirahat sebentar beberapa menit kemudian kami melanjutkan treking membelah hutan padam. Ya kata kakek Borowoyak hutan padam, karena tidak ada orang/ penduduk dalam kawasan hutan ini. Hutan di huni oleh sekawanan kera dan beberapa jenis burung endemik. Dan satu lagi penghuni hutan adalah lintah, dalam perjalan tak sadar kaki Hafiz, saya dan Kakek sudah di hinggapi lintah. Kata kakek tidak apa karena yang di hisap lintah adalah darah kotor. Namun tetap saja Hafiz dan saya tidak tenang selama masih ada lintah yang menempel di kaki. Sudah selesai membersihkan lintah kami melanjutkan treking yang tadinya sempat mencari jalan potong namun karena kakek menjadi ragu maka kami putar arah lagi kembali ke jalur yang semestinya. Kami kembali menanjak menuju puncak bukit hutan yang disana merupakan perbatasan Sumba Tengah dengan Sumba Barat. Saking capeknya saya dan Hafiz meminta kakek untuk istirahat terlebih dahulu. Setibanya di puncak perbatasan trek menjadi menuruni bukit menuju air terjun Matayangu. Saya terus berusaha mengimbangi langkah kakek yang seolah tak punya capek. Tiba juga kami di air terjun Matayangu setelah sekitar 30 menit kami treking menuruni bukit hutan padam nan lebat. Terdengar suara gemuruh dan gemericik air terjun dan aliran sungai. Serta hembusan angin di sela tebing dan bukit bersahutan seolah mereka sedang bermain musik. Air terjun yang terletak di ujung/ puncak tebing dengan 2 goa di tengah dan agak ke bawah. Dikala musim hujan terdapat 3 aliran air terjun bebas yang menakjubkan. Aliran yang pertama adalah aliran dari ujung/ puncak tebing yang mengalir air ketika musim hujan debit air sungai sedang besar. Kemudian aliran kedua adalah goa di tengah yang mengucurkan air mengalir melewati tebing. yang ketiga adalah Goa yang paling bawah yang menyemburkan air dari aliran goa tengah. Ketika ketiga aliran berpadu membentuk air terjun yang menakjuban bagi saya.
Video Perjalanan Sumba
Saya, Hafiz, Kakek Borowoyak
Rumput di aiir terjun Matayangu
Kakek Borowoyak
Air terjun dari cucuran air goa tengah dan semburan goa bawah
Mengingat jauhnya perjalanan pulang maka kami cukup 30 menit saja menikmati indahnya air terjun sambil istirahat kemudian segera berbalik agar tidak kesorean di dalam hutan. Sebenernya ada jalur lain yaitu lewa Lahona, jalur Lahona ini yang lebih sering dipakai bule namun karena ojek menunggu di Lapopu maka kami harus lagi lagi membelah hutan untuk kembali ke Lapopu. Dalam treking balik ke Lapopu kakek Borowoyak mencoba mencari jalan potong lagi meskipun jalan potong yang pernah di buat sudah tertutup oleh rimbunnya semak belukar dan kali ini kakek tidak mau menyerah. Sudah beberapa belas menit kami menyusuri hutan padam tanpa arah sama sekali dan sayapun mulai ragu cemas takut sampai sampai HP saya mendapat sinyal kemudian membuka GPS MAP namun tetap saja tidak membantu. Pasrah saja sama Allah dan akan mendapat pertolongan lewat kakek Borowoyak. Tak lama kemudian Alhamdulillah di depan kakek berteriak ” Sebentar kita su dapat lihat jalan ” . Rasanya lega ketika sudah bertemu dengan Goa mata air dan pemipaan saluran air. Tiba di loket istirahat sebentar kemudian bertolak ke kota Waikabubak mencari makan sebelum kami mengakhiri di Waikabubak dan menuju Waingapu. Dari Waikabubak kami memilih travel karena bus terkahir katanya pukul 15:00 sudah jalan. Hampir tidak ada bedanya bus dengan travel, yaitu sama sama penuh sesak oleh penumpang.
09:00 saya sudah siap menunggu bus jurusan Surabaya ( Bungur asih ) dan pukul 22:00 barulah ada bus yang mengangkut saya menuju Bungur. Awalnya saya pikir dalam 2 jam saya sampai di terminal bungur, ya karena bus jenis ini terkenal ugal- ugalan di jalur panturan ( Semarang- Surabaya) namun entah apa yang di pikiran supir saat itu bus melaju sangat lambat bahkan dalam bahasa lebaynya melaju seperti keong. Saya tiba di Bungur sudah pukul 01:30 menunggu barangkali ada Damri dalam lebatnya hujan tengah malam. Info yang saya dapat dari penjaga toilet Damri paling awal adalah pukul 05:00 artinya saya bisa tiba di bandara sudah pukul 06:xx, tak lama pun datang supir taksi menawarkan jasa. Dengan sedikit terpaksa saya sikat harga 75ribu naik taksi ke bandara karena memang sudah tidak ada Damri jam segitu. Pukul 03:00 saya sudah ready di bandara Juanda dan hujan masih turun dengan deras mengguyur bumi. Belum sempet tidur karena sudah mepet juga mau tidur kemudian saya menghampiri travel partner saya Hafiz yang sudah menunggu sedari pukul 20:00. Gerbang check in sudah di buka kami langsung saja masuk dan menunggu flight pukul 06:05 naik Lion Air. Flight Surabaya – Denpasar Alhamdulillah lancar dan aman di tempuh dalam waktu 2 jam ( karena perbedaan waktu). Di Denpasar pindah pesawat ATR Wings Air menuju Tambolaka Sumba dan mendarat di Tambolaka Sumba pukul 12:00. Karena sudah sangat lapar tidak sempat sarapan kami segera mencari warung nasi, ketika sedang makan kami di hampiri orang tak di kenal yang menawarkan hotel. Ternyata yang akhirnya saya tahu namanya oktavianus ini adalah karyawan hotel Sinar Tambolaka yang di rekomendasikan teman saya. Seusai makan siang di bandara kami langsung menuju hotel Sinar dan check in, disini terpaksa check in room standar ( 350ribu/malam) karena room ekonomi sudah full dan hanya bisa menginap satu malam karena keesokan harinya semua full booked.
Kamar Hotel Sinar Tambolaka
Selesai ngobrol dengan resepsionis hotel mengenai destinasi dan bagaimana cara kesana akhirnya kami beranikan diri keluar hotel dan melihat- lihat di sekitar. Tak butuh waktu lama kami langsung di serbu pasukan tukang ojek dan supir losbak. Tapi tak perlu khawatir disini mereka ramah dan tidak ada paksaan untuk menyewa mereka seperti di beberapa tempat lain. Akhirnya saya dan Hafiz deal dengan supir lossbak dan 2 temannya, kami menuju pantai mananga aba dan kampung adat bondo kampumbu. Setelah berkenalan kami cepat akrab dengan Agus, Doni dan Slavianus orang asli Sumba. Hari pertama di Sumba kami tutup dengan menunggu sunset di pelabuhan Waekelo. Sambil bercanda tawa dan minum bir ( mereka bertiga yang minum bir ) hingga matahari terbenam kemudian kami kembali ke hotel.
Kampung Adat Bondo Kapumbu
Slavianus, Agus, Ketua Adat, Doni, Hafiz
Anak- anak mengupas Asam
Pantai Mananga Aba
Sunset Pelabuhan Waekelo
Sunset Waekelo
Sunset Waekelo
04:00 terbangun dari tidur panjang dan cukup nyenyak. Gerimis biasanya kulihat manis kini justru membuatku cemas. Sampai akhirnya mobil bang doni yang kami sewa tiba pukul 08:20 namun gerimis belum juga reda. Bersyukur tidak jadi sewa motor karena sudah pasti basah kalau nekat atau tidak harus nunggu reda baru berangkat explore. Sebentar bangdoni jemput mama ke gereja baru kami berangkat pesiar ( bahasa orang NTT ) . Mayoritas penduduk Sumba adalar beragama kristen dan katolik sehingga banyak orang pigi ke gereja di minggu pagi. Selain Nasrani masih banyak pula masyarakat Sumba yang beragama/ ber keyakinan Marapu. Selesai bangdon jemput mama dari gereja kami segera berangkat, “Aman sudah!” kata bangdon. Perjalanan menuju Bondo Kodi dengan melintasi hutan jati dan beberapa perkampungan. Ada beberapa kemiripan yang saya temukan di Sumba dengan Tuban Jawa Timur. Hutan Jati, Rumah dari anyaman bambu kemudian mulai berganti tembok dari batu kapur, daratan sebagian besar sama sama di dominasi karang dasar laut yang muncul ke permukaan serta banyaknya pohon lontar yang di jadikan minuman ataupun gula khas daerah.
Hutan Jati Kodi
Tiba di desa Kodi kami menambah penumpang sekaligus guide kami menuju Danau/ Laguna Weekuri. Namanya Ongky adik ipar bangdon, asli dari bondokodi dan sudah bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sumba pada umumnya serta bahasa daerah Kodi itu sendiri. Kalau menurut cerita bangdon di Kodi ini masih banyak orang yang tinggal di pinggiran belum banyak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Sumba secara umum pun banyak yang belum bisa, sebagian besar bisa dan pandai bahasa daerah Kodi saja. Ya memang bahasa Kodi dan Weetabula sudah berbeda. Ongky adalah lahir di Kodi dan kini dia adalah seorang lulusan SMA dan lebih sering bekerja sebagai supir truck ekspedisi dari jawa timur/ Surabaya ke Sumba. Di tengah perjalanan bangdon tetiba mendapat telp dari bos nya yang tempo hari memesan Tanah kavling di Sumba Barat Daya. Karena bangdon tidak bisa menemani maka kendali mobil di serahkan kepada Ongky. Biar bangdon tenang mengurus penjualan tanah dengan Bos nya dari Bali. Ya memang benar sedang ada penjualan tanah besar besaran di Sumba. Lanjut perjalanan menuju Weekuri, sebentar kami melewati jalan kampung yang masih cukup bagus dan sebentar kami melewati jalanan tak beraspal menuju laguna weekuri. Dari jalan tak beraspal masih 1 jam perjalanan karena jalan yang tidak bagus maka laju kendaraan pun tak bisa berlari kencang.
Fathur, Ongky, Hafiz
Laguna Weekuri
Sebuah laguna, ya laguna karena air yang masuk adalah air laut melalui sela sela batu karang dalam bahasa Sumba mempunyai arti weekuri adalah air yang dikupas. Jernihnya air laguna dan tenang terlihat gradasi warna tosca ke hijau permata. Laguna dengan di kelilingi oleh batu karang dan berbatasan langsung dengan laut. Saat hari minggu atau liburan Weekuri sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan, baik dari daerah lain di Sumba bahkan dari luar Pulau Sumba sekalipun. Untuk kebersihan di Weekuri masih terbilang cukup terjaga namun sayangnya belum ada tempat sampah yang memadai untuk pengunjung membuang sampahnya. Sebentar saya berenang di laguna merasakan air yang sebening kaca dan dingin menyegarkan. Saya lihat- lihat sekeliling di bawah air tidak nampak adanya kehidupan baik coral maupun ikan. Puas berenang saya naik dan menutup acara di Weekuri dengan mengambil foto serta video dari tebing batas laguna dengan laut.
Tak jauh dari laguna Weekuri kami melanjutkan explore ke pantai mandorak. Pantai kecil dan seolah terdapat mulut/ gerbang yang terbentuk oleh batu karang. Pemandangan dari atas batu karang dan pantai sangat indah. Selain pemandangannya yang indah banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar pantai ini. Para nelayan langsung menjual hasil tangkapanya di pinggir pantai. Dengan perahu kecil/ sampan mereka menjaring ikan sedapatnya dan ada pula yang lainnya dengan cara memancing dari atas batu karang. Tidak begitu lama kami di pantai Mandorak dan langsung melanjutkan ke kampung adat terbesar di Sumba yaitu Ratenggaro. Untuk lama perjalanan dari Weekuri/ Mandorak menuju Ratenggaro sekitar 1 jam. Ratenggaro ini salah satu kampung adat terbesar dengan kubur batu terbanyak di Sumba. Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adat (Uma Kelada) dengan menara yang menjulang tinggi mencapai 15 meter, berbeda dengan rumah – rumah adat di kampung lainnya yang tinggi menaranya hanya mencapai 8 meter. Ratenggaro yang berarti Kubur Garo ini ada 304 buah kubur batu dan 3 diantaranya berbentuk unik yang terletak dipinggir laut dan merupakan kuburan bersejarah. Masyarakat dikampung ini masih mempraktekkan tradisi Marapu dan adat istiadat peninggalan leluhur seperti kampung – kampung lain pada umumnya yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasi situs Kampung Ratenggaro berdekatan dengan situs kampung Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara sungai Waiha dengan bentangan pantai berpasir putih. Kampung Ratenggaro juga sering di datangi oleh wisatawan kapal pesiar karena terletak di pinggir pantai dan terlihat jelas dari kejauhan ketika berada di atas kapal, serta sangat mudah dijangkau dari bibir pantai dengan berjalan kaki sekitar 200 meter. Namun sayang di hari kedua kami explore terpaksa ada 2 destinasi yang di skip, yaitu pantai mbawana dan pantai watu maladong. Dengan alasan jauh dan jalan yang rusak akan memakan waktu kurang lebih 2 jam.
Video Perjalanan Sumba
Pantai Mandorak
Kubur batu Ratenggaro
Setelah dari Ratenggaro kami kembali menuju Waetabula untuk menunggu bus yang menuju Waikabubak. Diantarkan Ongky dengan oto bangdoni kami melaju kencang agar tidak ketinggalan bus. Bus terakhir dari Waetabula menuju Waikabubak adalah pukul 17:00 WITA. Setibanya di Waikabubak kami turun di Polsek kemudian berjalan sebentar ke Hotel Pelita dengan tarif 250/ malam. Kemudian sembari mencari makan malam dan mencari info adakah hotel lain yang lebih murah. Sambil makan nasi soto ayam kami mendapat info dari pemilik warung bahwa ada wisma yang harganya jauh lebih murah yaitu 100ribu/ malam. Dengan diantar anak pemilik warung kami menuju wisma yang tak jauh dari warung si bapak.