Selasa, 28 Januari 2014

Perjalanan Hidup

Kali ini memang bukan tentang sebuah perjalanan ke sebuah tempat yang indah atau menarik namun tetap judulnya perjalanan, ya perjalanan hidup. Jika dalam sebuah perjalanan city tour maka puncaknya adalah mall mall atau cafe, jika beach tour udah jelas adalah pantai tujuan utamanya dan juga jika pendakian maka puncak gunung adalah sebagai klimaks dari sebuah perjalanan itu. Mungkin pemikiran orang berbeda- beda namun bagi saya awal tujuan utama atau awal klimaks sebuah perjalanan adalah ketika sudah memasuki gerbang pernikahan. Dimulai dari pernikahan maka perjalanan kehidupan akan semakin seru, komplek, indah, lengkap dan mengejutkan. Siapa sih yang tidak ingin mencapai awal puncak perjalanan hidup ini? pasti setiap orang yang normal dan mempunyai cinta sangat mendambakan pernikahan. SUdah beberapa kali saya mendapat sebuah kehormatan mengabadikan sebuah moment menuju gerbang pernikahan, ya Prewedding.

Saya tidak akan panjang lebar ngalor ngidul menjelaskan prewedding itu apa, yang jelas inti utamanya prewedding itu di lakukan untuk mengabadikan moment sebelum menikah, karena biasanya sebagian besar orang sudah tidak terpikir untuk melakukan foto after wedding. Saya sendiri setuju- setuju aja tentang prewedding ini, ya saya juga sempat mendengar ada berita pengharaman sesi Prewedding. Selama prewedding di lakukan dalam batasan norma masyarakat dan norma agama saya rasa tidak menjadi masalah, mungkin yang menjadikan beberapa orang mengharamkan prewedding karena di dalamnya ada adegan ciuman, dan hal hal lain yang tidak pantas di lakukan sebelum menikah.

Kali ini saya ingin berbagi foto prewedding bersama teman teman saya yang sudah mempercayakan moment mereka kepada saya dan kamera saya.

Jelajah Negri Khayangan, Dieng Plateau

Sunrise Gunung Prau
Kali ini selesai menjadi tour leader jalan jalan saya tidak ikut langsung balik ke jakarta namun meng- extend perjalanan selama di dieng. Di hari+ 1 kami memulai pagi hari dengan mendatangi sebuah bukit yang berada di atas telaga warna. Bukit sidengkeng orang lokal Dieng menyebutnya, di puncak bukit ini saya dapat melihat keindahan telaga warna dari atas dan view di sekelilingnya berupa gunung sumbing dan sindoro di kejauhan. Dari atas nampak beningnya air telaga warna berwarna hijau toska serta tenang memberikan pantulan pohon pohon yang berdiri dan tumbuh di sekelilingnya. Semilir angin yang kencang memang sesaat enak di nikmati dengan ketinggian diatas 2000mdpl udara dingin di tambah semilir angin membuat pikiran ikut dingin serta hati terasa tenang. Tak lebih lama lagi pun saya berfikir bisa- bisa masuk angin kalau tidak segera pindah ke destinasi berikutnya. Selesai mengambil materi timelapse dan beberapa shot film pendek saya beserta Hafiz, Amim, Biyan, Maria, Uri, Rina, dan Icha melanjutkan perjalanan dengan tujuan telaga sidringo. Dengan mobil bak terbuka menyusuri pedesaan dataran tinggi Dieng kami melaju ke arah kawah candradimuka. Tak jauh dari kawah candradimuka telaga yang katanya mirip ranu kumbolo ini pun kami hampiri. Hamparan luas dan berupa cekungan berisi air hujan yang menjadikannya layaknya sebuah danau. Padang rumput yang luas di sampingnya memuat pemandangan hijau melihat ke segala penjuru. Duduk termenung sesaat menghela nafas sambil merasakan udara yang merasuk ke dalam paru- paru hemmm begitu segarnya membuat betah dan ingin berlama- lama di telaga sidringo ini. Terbangun dari mimpi yang hampir membuatku hanyut dalam buaian suasana tenang dan damainya telaga sidringo kemudian segera bergegas meninggalkannya karena masih harus menuju gunung prau.

Makan siang repacking dan kemudian kami sudah siap berangkat lagi menuju gunung prau. Gunung  yang tidak begitu tinggi namun banyak menjanjikan keindahan yang katanya mampue membelalakan mata. Pendakian di mulai dari pertigaan dieng menyusuri perkampungan kemudian di lanjutkan menapaki jalan perkebunan kentang milik warga. Setelah berjalan satu jam saya sudah di sambut kumpulan bunga daisy yang menawan, yang kemudian di ikuti teriakan mas amim “nanti diatas lebih banyak cak”. Mendengar perkataan mas amim saya semakin semangat untuk segera sampai camping ground gunung prau.Sebelum sampai camping ground kami sudah di sambut hujan deras tak henti henti hingga gelap menggantikan senja. Saya sendiri yang tidak membawa jas hujan dan akhirnya berperang dengan basah- basahan air hujan. Namun justru sedang musim hujan dingginnya gunung menjadi tak seganas musim kemarau, dan begitu masuk tenda udara menjadi lebih hangat. Tak seperti biasanya saya mencari rekaman gambar gugusan bimasakti karena kabut dan tubuh tanpa jaket ini tak mampur menahan dinginnya udara di luar tenda. Hingga pagi menjelang waktu saya habiskan untuk tidur. Meskipun kabut mengiringi hadirnya sang surya sunrise kala itu tetap menawan bahkan lebih magis dan mysti ketika matahari membakar kabut kabut menjadi warna merah. Berfoto- foto hingga langit merah berubah perlahan menjadi langit biru. Karena kami sudah ada janji dengan bus di terminal wonosobo pukul 16:00 maka tak lama lama lagi kami menikmati keindahan gunung prau berakhir. Pukul 09:00 kami sudah mulai meninggalkan area camping dan turun menuju patak banteng yang merupakan jalur berbeda dengan pendakiannya.