Sabtu, 26 September 2015

Belajar Touring, Di Sela Gunung Merapi dan Sumbing

” Perjalanan kali ini saya bersama dengan teman-teman dari Bikepacker Kaskus DIY-Jateng. Mereka adalah : Kris, Dimas, Firli, dan Mas Fathur. Kami berangkat dari Jogja sekitar jam 8 malam lalu berhenti di pertigaan Blabag ke arah Ketep Pass untuk menunggu Mas Fathur yang sedang dalam perjalanan dari Boyolali. Awalnya kami sempat khawatir karena Mas Fathur tidak kunjung datang padahal seharusnya ia sudah sampai 1-2 jam sebelumnya. Sembari menunggu mas Fathur, kami sempatkan untuk makan malam nasi goreng terlebih dahulu tepat di warung pertigaan Blabag – Ketep Pass. ”

Sepenggal rangkaian kalimat dari blog mas JEBE, antara Merapi dan Sumbing Terima kasih mas JEBE, Lek Christian, om Firli dan lek Dimas untuk perjalanan yang Menyenangkan. Baiklah kembali ke belakang sebentar, ada percakapan antara saya om Gibran dan lek Chris, ” kita mepo di jogja jam 8 malam ya mas ” kata Chris, kemudian saya menyahut ” oke aku tak budhal jam setengah 8 an ya “, kemudian di sambut om Gibran ” opo ora kerisiken kang yen jam 8 wes budhal? ” . Akhirnya saya undur jam 8 baru berangkat dari rumah, menyusuri jalur SSB ( Solo- Selo- Borobudur ) yang dulu pernah di resmikan oleh presiden Megawati dan sekarang sudah hancur berantakan jalaur tersebut bagaikan di hujani geranat dari langit. Perasaan saya sudah mulai gelisah karena jalan yang tadinya saya prediksi rusak di mana saja menjadi semakin merembet ke jalan yang tadinya masih bagus ” wah bisa 2 jam lebih ini sampe ketep 🙁 ”

 

Dan ternyata benar perjalanan saya tempuh 2 jam 30 menit yang biasanya bisa saya tempuh dengan kecepatan 60-80kpj dalam 1 jam. Begitu saya tiba di pertigaan Blabag Magelang yang lain sudah menunggu bahkan sudah habis satu porsi nasi goreng dan segelas Teh hangat. Setelah saya duduk sebentar kami kemudian segera melanjutkan perjalanan menuju Desa Cepit Rumah kedua Om Gibran yang di pakainya untuk menyendiri menggalau. Perjalanan malam hari yang kami lakukan ini memang ada sisi positif dan sisi negatifnya, sisi positif adalah intensitas kendaraan yang ada di jalanan sedang dalam jumlah lebih sedikit di bandingkan ketika siang hari jadi berkendara lebih leluasa, yang kedua adalah hawa malam lebih dingin dan membuat efek santai bagi kami ketika berkendara selain itu juga mesin motor tidak cepat panas sehingga overheat. Namun dari sisi negatifnya yang pertama adalah jarak pandang atau visibility menjadi berkurang namun bisa di atasi dengan lampu tambahan yang lebih terang ( tapi inget ketika ada pengendara dari lawan arah sebaiknya di matikan karena pasti silaunya mengganggu beliau ), sisi negatif yang lain adalah tentang kesehatan yaitu angin malam tidak baik bagi kesehatan maka dari itu ketika bekendara malam hari tidak usah terlalu ngebut agar angin malam yang kita terjang tidak terlalu kencang.

Dari Pertigaan Blabag Magelang kami riding santai melewati kota Temanggung dengan lama perjalanan tiba di mepo kedua yaitu indomaret sebelum menuju desa Cepit adalah 2 jam. Kami Menunggu dijemput oleh om Gibran yang sedang turun gunung dan sempat membeli makanan ringan serta mi instan karena diatas susah menemui warung. Om Gibran sudah datang dan kami segera menuju rumah kedua Om Gibran yang ada di Desa Tlodas.

Desa Tlodas dari Udara, Rumah Gibran untuk menggalu di pojok kanan bawah

Bercakap- cakap sendau gurau serta di iringi petikan gitar oleh Chris yang melantunkan lagu- lagu galau kusus untuk om Gibran yang kemudian kopi panas di hidangkan untuk menemani obrolan kami. Malam semakin larut dan mata semakin kantuk sedangkan sang fajar esok hari tak mau menunggu kami yang mengidam berburu sunrise. Mata kami pejamkan segera menuju singgasan mimpi masing- masing dan berharap esok hari sunrise terbit dengan cerah.

Alarm HP berdering keras menunjukkan waktu pukul 04:00 dan kami masih malas- malasan untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur. Mendengar adzan subuh saya segera bangun mengambil air wudu dan shalat subuh sedangkan yang lain bersiap menuju terminal. Terminal ini saya pikir dan om JEBE pikir adalah terminal angkot atau tempat keramaian warga untuk menyetor hasil panen tembakau namun rupanya hanya namanya saja terminal kondisinya seadanya dan sepi hanya kami berenam yang ada di sini. Saya pikir dari terminal akan terliat view yang paling indah namun ternyata kami salah justru di terminal semua pandangan terhalan oleh pepohonan. Kami turun sedikit agar dapat melihat sunrise dan megahnya gunung Sumbing.

Gunung Sumbing Dari Desa Cepit

Parkir motor dan langsung mengeluarkan kamera karena matahari sudah membulat dan keluar dari balik awan merah. Awan menggumpal tebal menghalangi pancaran sinar matahari sehingga terbit tak sempurna. Dari balik dedaunan tembakau sinar matahari menerobos hingga masuk ke dalam lensa kamera. Udara dingin semakin dingin karena terpaan angin semakin kencang. Sinar merah matahari mulai berganti orange dan kuning menyirami hektaran tanaman tembakau di lereng gunung Sumbing. Terlihat gagah namun gersang gunung Sumbing dari desa Cepit sepertinya dekat namun ternyata butuh 6-8 jam pendakian agar sampai di puncak.

Dari kiri : Christian, Jebe / Laksana Adi, Fathur, Gibran, Dimas, Firli

Foto Keluarga Bikepacker, By Gibran Xiomi

Byson Jebe, GL Fathur, GSX250 Firli Foto by Gibran

Di candid oleh Christian

Foto By Gibran

Usai kami berburu foto dan udara semakin dingin karena hembusan angin yang semakin kencang kami segera turun. Di persimpangan jalan kami berhenti sebentar karena saya melihat sedang ada penjemuran daun tembakau yang sudah di ” rajang “. Sambil mengamati dan saya foto kemudian dari belakang datanglah Omnya Gibran dan di susul neneknya om gibran ( adek nenek kandung Gibran ) yang menawarkan Teh hangat. Kami menyambut teh hangat dengan sangat hangat ( blibet bahasanya ) . Sedikit menderngar cerita dari neneknya om Gibran bahwa dulunya desa Cepit dan Tlodas di proyeksikan akan menjadi desa Wisata namun karena Bupatinya ( Pak TOTOK ) tersandung kasus korupsi maka berantakanlah rencana indah membagung menjadi desa wisata.

Penampakan Gunung Sumbing dan Sekitarnya dari Udara

Gunung Sindoro dari Desa Cepit

Selesai meneguk teh hangat dan sarapan di rumah nenek om Gibran ( terima kasih loh nek sudah di beri sarapan 🙂 ) kami istirahat sebentar sebelum kami balik ke Sleman melanjutkan perburuan foto selanjutnya. Ketika yang lain sedang istirahat saya sempatkan untuk foto desa Cepit dari udara menggunakan mainan Drone. Sambil menghindar dari panas matahari kami berteduh di rumah om Gibran sambil melanjutkan sendau gurau semalam. Mulai membahas motor, kemudian touring, kemudian destinasi wisata hingga akhirnya berujung pada pembahasan mantan pacar. Di sela sela membahas mantan pacar saya dan om Jebe sempat mencari info akan menuju Kali Boyong yang berada di desa Turgo. Setelah mendapat alamat yang pasti akan kami tuju kami bersiap pamitan sama om Gibran dan meninggalkan desa Tlodas.

Tempat penjemuran ” Rajangan Tembakau ” Foto By Christian

Desa Tlodas dari Udara, Rumah ber atap hijau adalah rumah neneknya Gibran

Perjalanan menuju Kali Boyong Desa Turgo Sleman, Hari masih terang dan udara cukup panas menyengat helm hingga masuk ke kepala. 3 jam perjalanan santai dari desa Cepit hingga tiba di Desa Turgo. Awalnya kami berniat untuk ngecamp saja di sekitar Kali Boyong atau di desa Turgo namun ternyata tidak ada tempat untuk Camping. Segera putar arah menuju Kaliurang untuk mencari tempat Camp sebagai tempat istirahat kami malam itu. Tiba di menara pandang Kaliurang dan segera kami menggelar Tenda sebagai hotel berbintang milyaran ( padahal langit mendung )

VIDEO PERTARUNNGAN

Esok harinya seusai berkemas kami melanjutkan menuju Kali Boyong yang ternyata letaknya di bawah tempat kami mendirikan tenda camping namun karena motor tidak bisa turun dari kawasan menara pandang kaliurang kami tetap memutar kembali ke Kali Boyong lewat desa Turgo. Satu jam perjalanan dari Kaliurang menuju Kali Boyong Desa Turgo. Sebenernya Kali Boyong ini adalah sungai/ jurang yang di jadikan penambangan pasir oleh warga sekitar namun karena konturnya yang ciamik menjadikan pemandangan di sini sangat keceh badaih. Dan saya sendiri selalu suka dengan ” clurutan ” seperti ini meskipun resikonya adalah motor rusak atau sekedar sangat kotor.

Si Tua Bangka

Kali Boyong Dari Udara

Di sebelah Kanan Adalah tempat kami Camping

Awak Lelah nian Neng 🙁

Jembatan Besi Kali Boyong

Team Bikepacker

Belajar Touring, Di Sela Gunung Merapi dan Sumbing

” Perjalanan kali ini saya bersama dengan teman-teman dari Bikepacker Kaskus DIY-Jateng. Mereka adalah : Kris, Dimas, Firli, dan Mas Fathur. Kami berangkat dari Jogja sekitar jam 8 malam lalu berhenti di pertigaan Blabag ke arah Ketep Pass untuk menunggu Mas Fathur yang sedang dalam perjalanan dari Boyolali. Awalnya kami sempat khawatir karena Mas Fathur tidak kunjung datang padahal seharusnya ia sudah sampai 1-2 jam sebelumnya. Sembari menunggu mas Fathur, kami sempatkan untuk makan malam nasi goreng terlebih dahulu tepat di warung pertigaan Blabag – Ketep Pass. ”

Sepenggal rangkaian kalimat dari blog mas JEBE, antara Merapi dan Sumbing Terima kasih mas JEBE, Lek Christian, om Firli dan lek Dimas untuk perjalanan yang Menyenangkan. Baiklah kembali ke belakang sebentar, ada percakapan antara saya om Gibran dan lek Chris, ” kita mepo di jogja jam 8 malam ya mas ” kata Chris, kemudian saya menyahut ” oke aku tak budhal jam setengah 8 an ya “, kemudian di sambut om Gibran ” opo ora kerisiken kang yen jam 8 wes budhal? ” . Akhirnya saya undur jam 8 baru berangkat dari rumah, menyusuri jalur SSB ( Solo- Selo- Borobudur ) yang dulu pernah di resmikan oleh presiden Megawati dan sekarang sudah hancur berantakan jalaur tersebut bagaikan di hujani geranat dari langit. Perasaan saya sudah mulai gelisah karena jalan yang tadinya saya prediksi rusak di mana saja menjadi semakin merembet ke jalan yang tadinya masih bagus ” wah bisa 2 jam lebih ini sampe ketep 🙁 ”

 

Dan ternyata benar perjalanan saya tempuh 2 jam 30 menit yang biasanya bisa saya tempuh dengan kecepatan 60-80kpj dalam 1 jam. Begitu saya tiba di pertigaan Blabag Magelang yang lain sudah menunggu bahkan sudah habis satu porsi nasi goreng dan segelas Teh hangat. Setelah saya duduk sebentar kami kemudian segera melanjutkan perjalanan menuju Desa Cepit Rumah kedua Om Gibran yang di pakainya untuk menyendiri menggalau. Perjalanan malam hari yang kami lakukan ini memang ada sisi positif dan sisi negatifnya, sisi positif adalah intensitas kendaraan yang ada di jalanan sedang dalam jumlah lebih sedikit di bandingkan ketika siang hari jadi berkendara lebih leluasa, yang kedua adalah hawa malam lebih dingin dan membuat efek santai bagi kami ketika berkendara selain itu juga mesin motor tidak cepat panas sehingga overheat. Namun dari sisi negatifnya yang pertama adalah jarak pandang atau visibility menjadi berkurang namun bisa di atasi dengan lampu tambahan yang lebih terang ( tapi inget ketika ada pengendara dari lawan arah sebaiknya di matikan karena pasti silaunya mengganggu beliau ), sisi negatif yang lain adalah tentang kesehatan yaitu angin malam tidak baik bagi kesehatan maka dari itu ketika bekendara malam hari tidak usah terlalu ngebut agar angin malam yang kita terjang tidak terlalu kencang.

Dari Pertigaan Blabag Magelang kami riding santai melewati kota Temanggung dengan lama perjalanan tiba di mepo kedua yaitu indomaret sebelum menuju desa Cepit adalah 2 jam. Kami Menunggu dijemput oleh om Gibran yang sedang turun gunung dan sempat membeli makanan ringan serta mi instan karena diatas susah menemui warung. Om Gibran sudah datang dan kami segera menuju rumah kedua Om Gibran yang ada di Desa Tlodas.

Desa Tlodas dari Udara, Rumah Gibran untuk menggalu di pojok kanan bawah

Bercakap- cakap sendau gurau serta di iringi petikan gitar oleh Chris yang melantunkan lagu- lagu galau kusus untuk om Gibran yang kemudian kopi panas di hidangkan untuk menemani obrolan kami. Malam semakin larut dan mata semakin kantuk sedangkan sang fajar esok hari tak mau menunggu kami yang mengidam berburu sunrise. Mata kami pejamkan segera menuju singgasan mimpi masing- masing dan berharap esok hari sunrise terbit dengan cerah.

Alarm HP berdering keras menunjukkan waktu pukul 04:00 dan kami masih malas- malasan untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur. Mendengar adzan subuh saya segera bangun mengambil air wudu dan shalat subuh sedangkan yang lain bersiap menuju terminal. Terminal ini saya pikir dan om JEBE pikir adalah terminal angkot atau tempat keramaian warga untuk menyetor hasil panen tembakau namun rupanya hanya namanya saja terminal kondisinya seadanya dan sepi hanya kami berenam yang ada di sini. Saya pikir dari terminal akan terliat view yang paling indah namun ternyata kami salah justru di terminal semua pandangan terhalan oleh pepohonan. Kami turun sedikit agar dapat melihat sunrise dan megahnya gunung Sumbing.

Gunung Sumbing Dari Desa Cepit

Parkir motor dan langsung mengeluarkan kamera karena matahari sudah membulat dan keluar dari balik awan merah. Awan menggumpal tebal menghalangi pancaran sinar matahari sehingga terbit tak sempurna. Dari balik dedaunan tembakau sinar matahari menerobos hingga masuk ke dalam lensa kamera. Udara dingin semakin dingin karena terpaan angin semakin kencang. Sinar merah matahari mulai berganti orange dan kuning menyirami hektaran tanaman tembakau di lereng gunung Sumbing. Terlihat gagah namun gersang gunung Sumbing dari desa Cepit sepertinya dekat namun ternyata butuh 6-8 jam pendakian agar sampai di puncak.

Dari kiri : Christian, Jebe / Laksana Adi, Fathur, Gibran, Dimas, Firli

Foto Keluarga Bikepacker, By Gibran Xiomi

Byson Jebe, GL Fathur, GSX250 Firli Foto by Gibran

Di candid oleh Christian

Foto By Gibran

Usai kami berburu foto dan udara semakin dingin karena hembusan angin yang semakin kencang kami segera turun. Di persimpangan jalan kami berhenti sebentar karena saya melihat sedang ada penjemuran daun tembakau yang sudah di ” rajang “. Sambil mengamati dan saya foto kemudian dari belakang datanglah Omnya Gibran dan di susul neneknya om gibran ( adek nenek kandung Gibran ) yang menawarkan Teh hangat. Kami menyambut teh hangat dengan sangat hangat ( blibet bahasanya ) . Sedikit menderngar cerita dari neneknya om Gibran bahwa dulunya desa Cepit dan Tlodas di proyeksikan akan menjadi desa Wisata namun karena Bupatinya ( Pak TOTOK ) tersandung kasus korupsi maka berantakanlah rencana indah membagung menjadi desa wisata.

Penampakan Gunung Sumbing dan Sekitarnya dari Udara

Gunung Sindoro dari Desa Cepit

Selesai meneguk teh hangat dan sarapan di rumah nenek om Gibran ( terima kasih loh nek sudah di beri sarapan 🙂 ) kami istirahat sebentar sebelum kami balik ke Sleman melanjutkan perburuan foto selanjutnya. Ketika yang lain sedang istirahat saya sempatkan untuk foto desa Cepit dari udara menggunakan mainan Drone. Sambil menghindar dari panas matahari kami berteduh di rumah om Gibran sambil melanjutkan sendau gurau semalam. Mulai membahas motor, kemudian touring, kemudian destinasi wisata hingga akhirnya berujung pada pembahasan mantan pacar. Di sela sela membahas mantan pacar saya dan om Jebe sempat mencari info akan menuju Kali Boyong yang berada di desa Turgo. Setelah mendapat alamat yang pasti akan kami tuju kami bersiap pamitan sama om Gibran dan meninggalkan desa Tlodas.

Tempat penjemuran ” Rajangan Tembakau ” Foto By Christian

Desa Tlodas dari Udara, Rumah ber atap hijau adalah rumah neneknya Gibran

Perjalanan menuju Kali Boyong Desa Turgo Sleman, Hari masih terang dan udara cukup panas menyengat helm hingga masuk ke kepala. 3 jam perjalanan santai dari desa Cepit hingga tiba di Desa Turgo. Awalnya kami berniat untuk ngecamp saja di sekitar Kali Boyong atau di desa Turgo namun ternyata tidak ada tempat untuk Camping. Segera putar arah menuju Kaliurang untuk mencari tempat Camp sebagai tempat istirahat kami malam itu. Tiba di menara pandang Kaliurang dan segera kami menggelar Tenda sebagai hotel berbintang milyaran ( padahal langit mendung )

VIDEO PERTARUNNGAN

Esok harinya seusai berkemas kami melanjutkan menuju Kali Boyong yang ternyata letaknya di bawah tempat kami mendirikan tenda camping namun karena motor tidak bisa turun dari kawasan menara pandang kaliurang kami tetap memutar kembali ke Kali Boyong lewat desa Turgo. Satu jam perjalanan dari Kaliurang menuju Kali Boyong Desa Turgo. Sebenernya Kali Boyong ini adalah sungai/ jurang yang di jadikan penambangan pasir oleh warga sekitar namun karena konturnya yang ciamik menjadikan pemandangan di sini sangat keceh badaih. Dan saya sendiri selalu suka dengan ” clurutan ” seperti ini meskipun resikonya adalah motor rusak atau sekedar sangat kotor.

Si Tua Bangka

Kali Boyong Dari Udara

Di sebelah Kanan Adalah tempat kami Camping

Awak Lelah nian Neng 🙁

Jembatan Besi Kali Boyong

Team Bikepacker

Hidup itu adalah? Perjalanan dari Lahir menuju Mati

Entah darimana mulainya ketika dalam perjalanan tiba- tiba saya teringat mati. Kata yang sangat menakutkan namun sudah terdengar biasa karena seringnya kita baca, dengar atau ucapkan. Saat itu masih pagi dan sebenernya kondisi badan sedang tidak Fit karena masih kecapean sehabis di gempur 3 minggu kerja di lapangan. Karena tuntutan pekerjaaan akhirnya saya mantapkan untuk berangkat ke Padang dalam rangka kerjaan. Poin intinya bukan mau menceritakan tentang pekerjaan saya jadi skip tentang pekerjaan, oke?!. kalau di tanya mau apa nulis ini? ya anggap saja mau curhat.

Beberapa kali mendengar berita tentang cuaca buruk dan beberapa kasus kecelakaaan pesawat terbang. Ragu? iya sebenernya masih ragu mau berangkat ke Padang dengan pesawat ( kalau di ijinkan mungkin akan memilih naik Bus saja ). Baiklah hadapi saja, dan saya sudah di bandara Adi Sumarmo Boyolali pagi itu pukul 09:00. Pikiran masih saja di hantui tentang kecelakaan pesawat beberapa bulan silam. Karena pesawat flight masih jam 11:00 dan saya terlalu kepagian datangnya untuk mengusir rasa gundah saya putar music dan baca novel yang saya bawa ( selimut debu ). Bukan lupa tentang kematian namun justru semakin kuat dalam pikiran tentang kata ” Mati ” ternyata novel yang saya bawa bercerita tentang perjalanan di Afghanistan dan sekitarnya yang sedang di landa perang. Dalam novel saya temukan kata- kata yang begitu menusuk hati ” di sini harga barang- barang mahal, yang murah cuma nyawa manusia “. Bagaimana tidak semakin kuat tentang kata “Mati” itu di dalam ingatan jika yang saya baca tentang kematian dalam rentang waktu hitungan menit bahkan detik. Sampai akhirnya panggilan untuk memasuki pesawat berbunyi dan saya belum selesai membaca novelnya. Bismillah pasrah dan berdoa sama Allah agar di berikan kelancaran dan keselamatan selama di dalam pesawat.

Alhamdulillah selama penerbangan Boyolali- Jakarta cuaca sedang bersahabat dan di beri kelancaran tidak seperti ketika 3 bulan yang lalu saat ke Padang. Penerbangan dari Boyolali menuju Jakarta dan Padang dua kali terbang empat kali cuaca buruk dan pesawat di guncang badai bagikan kapal di tengah ombak. Hati yang masih cemas dan jantung berdegup lebih kencang dari biasanya melanjutkan penerbangan Jakarta- Padang dan Alhamdulillah cuaca bersahabat serta penerbangan di beri kelancaran. Alhamdulillah save tiba di bandara minangkabau Padang.

Jadi selama di Sumatera Barat saya berkeliling mengunjungi setiap pelosok Sumatera Barat ini. Beberapa kali dalam perjalanan saya di buat termenung tentang hidup saya ini. Sudah banyak yang saya lakukan, ntah perbuatan baik, buruk, menguntungkan dan bahkan merugikan orang lain ataupun diri sendiri. Sudah banyak orang yang saya temui, sudah banyak tempat baru yang saya kunjungi dan banyak pula kenangan selama hidup ini. Dari manusia yang sering mengeluh dan memaki keadaan, dari manusia yang sering emosi, dari manusia yang mudah iri hati, dari manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang saya dapatkan.

Berjalannya waktu serta berjalannya roda kehidupan Alhamdulillah dari susah senang haru tawa bahagia dan menangis bahagia sudah pernah mengalami. Banyak pelajaran dari sebuah perjalanan yang saya dapatkan, saya menjadi mengenal bagaimana orang lain memperlakukan saya ( orang yang baru dikenalnya ), saya jadi tau bagaimana orang lain bertahan dalam hidupnya, saya tau bagaimana orang lain bangkit dari keterpurukan hidupnya dan masih banyak lagi sampai saya tidak ingat lagi. Hidup ini kan Allah yang membuat skenario dan manusia yang menjalaninya. Saya sering berfikir negatif tentang Allah kepada saya, Ya Allah kenapa saya tidak pandai seperti si A, ya Allah kenapa saya tidak ganteng seperti si B, ya Allah kenapa saya tidak di lahirkan oleh keluarga orang kaya seperti si C, ya Allah kenapa saya tidak bla bla bla dan seterusnya yang hanya akan membuat pikiran dan hati semakin kotor. Banyak orang- orang hebat yang saya temui dalam setiap perjalanan saya. Orang- orang dengan hidupnya yang sederhana, orang- orang yang hidupnya penuh kata ” Nrimo “. Di Sumatera Barat ini saya beberapa kali di ingatkan tentang perjuangan hidup seseorang dan saya berkata dalam hati saya ” ya Allah kasian orang ini semoga Engkau selalu melimpahkan syukur kepadanya “, namun saya lupa bahwa hidup setiap umat manusia sudah di ” Jamin ” oleh Allah dan dari situ saya di ingatkan pula bahwa hidup saya juga sudah di jamin sama ALLAH.

Pernah kah kalian mengumpati/ memaki keadaan karena kesialanmu? ya saya sendiri pun pernah dan bahkan mungkin sering ( dulu ). Coba renungkan sebentar kenapa terkadang Allah memberikan keadaan yang tidak menyenangkan kita?. Allah memberikan sesuatu kepada umatnya pastinya mempunyai alasan yang baik. Kenapa Allah tidak memberikan kepandaian kepada saya seperti si A karena Allah tau jika saya pandai seperti si A saya akan sombong begitu pula kenapa Allah tidak memberikan kegantengan kepada saya seperti si B dan seterusnya ….

Hidup ini kan kata seorang teman ” cuma sekedar mampir ngopi “, namun selama memesan kemudian sampai menyeruput kopi yang sudah kita pesan kita bisa sambil melakukan hal- hal baik. Sebelum menuju kematian kita bisa melakukan hal yang positif dan terlebih lagi bermanfaat untuk orang lain. Berbuat baik tidak harus mengharap balasan baik kepada kita, hal itu sudah di pikirkan oleh Allah untuk kita jadi kita tidak perlu pusing memikirkannya. Ketika kita berbuat baik kepada orang lain, bisa jadi orang itulah yang akan membalas kebaikan kita. Jika kita berbuat baik kepada orang lain namun orang tersebut tidak membalas kebaikan atau bahkan celakanya dia membalas kejahatan maka Orang lain yang akan membalaskan kebaikan kita tersebut.

Lahir- Tumbuh Dewasa- Menua dan kemudian mati ( bahkan belum sampai tua sudah mati ). Selama perjalanan dari lahir hingga dewasa banyak pelajaran yang saya ambil, bukan sekedar pelajaran akademik dan formal namun juga pelajaran kehidupan yang setiap hari tidak akan pernah selesai. Menjadi manusia bukan hanya sekedar hidup trus kemudian mati kan? banyak hal hal baik yang bisa kita lakukan agar tidak sekedar menjadi onggokan daging yang berjalan. Perjalanan mengunjungi tempat tempat yang belum pernah sama sekali kamu kunjungi bahkan belum pernah sama sekali terbayang seperti apa tempat itu merupakan salah satu cara mendapat banyak pelajaran kehidupan. Belajar banyak dari orang lain dan diri sendiri tentunya, karena pengalaman katanya merupakan guru terbaik.

Terkadang kata ” Mati ” membuat beberapa orang takut dan membuatnya tidak melakukan apa apa ( hidup sangat sewajarnya saja ). Takut mati adalah wajar, namun namanya makluk hidup semua pasti akan mati pada waktunya. sebelum mati dan selama hidup saya agar lebih menyenangkan saya sedang belajar ” Nrimo ” menerima apapun pemberian Allah, ” Bersyukur ” setelah menerima kemudian bersyukur atas apa yang di berikan Allah baik yang menyenangkan ataupun berupa kesusahan atau kesialan, ” berbuat baik kepada siapapun ” tak perlu berharap orang lain berbuat baik kepada saya namun saya yang akan berusaha berbuat baik terlebih dahulu kepada orang lain.

Bismillah semoga hidup sebelum mati menjadi lebih menenangkan dan menyenangkan.