Senin, 19 Mei 2014

Gunung Merbabu, Sungkem Bumi Tanah Boyolali

IMG_2905

 

Bisa disebut hutang yang belum terbayar sampai akhirnya saya berhasil mencapai tanah tertinggi di Boyolali. Sudah sejak dua tahun yang lalu tepatnya tahun 2012 saya berencana mengunjungi gunung Merbabu tanah tertinggi Boyolali itu. Lebih parahnya lagi saya di besarkan di kota Boyolali yang notabene sangat dekat dengan gunung Merbabu namun baru setelah 25 tahun kesampaian mengunjunginya. Sabtu 17 mei jam 09:00 saya sudah siap menunggu kakak sepupu saya Fakhrudin Ali Yusuf biasa di panggil mas Ucup dari Batang untuk naik Merbabu bareng. Setelah dua jam di nantikan akhirnya jam 11:00 kami berdua berangkat menuju basecamp Merbabu di Selo Boyolali. Tepat satu jam perjalanan kami tiba di basecamp kemudian segera mendaftar dan mulai melangkahkan kaki memasuki gerbang pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu. Suasana yang sangat tenang dan damai saya rasakan di desa tertinggi di Boyolali ini, desa kecil terakhir sebelum menuju puncak Merbabu. Masyarakatnya yang sebagian besar petani sayur di limpahkan dengan tanahnya yang subur. Udara yang segar dan bersih serta air bersih yang tidak kekurangan. Lengkap pula karena ramahnya para penduduk terhadap sesama tetangga ataupun pendatang. Sungguh membuat betah berlama- lama ingin tinggal di kaki gunung Merbabu itu. Tak mengherankan jika gunung Merbabu menjadi salah satu primadona setelah tetangganya sendiri gunung Merapi dan tetangga jauhnya yaitu gunung Lawu.

Memulai pendakian pada jam 13:00 dengan menyusuri hutan lindung Taman Nasional Gunung Merbabu, pepohonan yang tinggi besar tumbuh rindang serta padat meneduhkan para pendaki. Jalur yang masih tidak begitu terjal dan dengan santai di lewati sambil menikmati udara segar serta hijaunya dedaunan di tambah merdunya kicau burung bernyanyi. Tak lama di hibur oleh keramahan alam kami berdua mulai bertemu pendaki yang sudah jalan lebih dulu, rombongan pendaki sekitar 7 orang sepertinya lebih banyak istirahatnya daripada jalannya. Beberapa menit berselang bertemu dengan empat orang pendaki dari semarang dengan santainya sedang “ngaso” di pos 1, pos 1 yang jauhnya satu jam dari basecamp. Saya dan mas Ucup pun ikut ngaso sebentar di pos 1. Cukup berbincang- bincang dengan teman baru dari semarang dan dengkul pun sudah sedikit merasakan istirahat maka kami berdua segera melanjutkan pendakian. Perkiraan jauhnya pos 2 dari pos 1 adalah sekitar 1 jam pendakian dengan jalur sedang dan beberapa terjal. Tak lama kami berjalan menyusuri lebatnya pepohonan tinggi nan rindang bertemulah dengan tanjakan terjal dan licin. Bisa jadi karena cukup beratnya carir yang saya gendong sehingga menaiki tanjakan terjal itupun saya tergelincir dan terperosok. Syukur Alhamdulillah saya tidak jatuh terperosok ke jurang dan fatal akhirnya. Setelah meminta bantuan mas Ucup saya pun berhasil ditarik dan naik perlahan melewati tajankan terjal dan licin tersebut. Dari tanjakan itu terdengar canda tawa 4 orang pendaki, itu tandanya diatas sudah dekat dengan pos. Tertulis pos 2 pada sebuah papan yang di tancapkan ke tanah di tepi sebuah area cukup untuk beristirahat beberapa orang. Saya dan beberapa orang di area tersebutpun berfikir itulah pos 2. Namun siapa yang menyangka kalau di bawahnya ada tanda panah dan tulisan 1 km yang tidak terlihat dengan jelas karena di coret- coret oknum tak ber ” otak “. Istirahat di pos PHP 2 ini saya sengaja cukup lama karena dengkul masih gemetar efek terperosok di tanjakan. Sembari menunggu dengkul siap saya ngemil dan sedikit membasahi kerongkongan.

Limabelas menit waktu yang cukup lama untuk istirahat dan kami berdua segera melanjutkan perjalanan. Selepas pos PHP 2 jalur lebih banyak yang menanjak dan pepohonan tinggi nan rindang mulai di gantikan oleh semak belukar yang tingginya sedada orang dewasa. Rerumputan dan semak belukar menghijau dari jauh terlihat seperti karpet raksasa namun sayang langit saat itu mulai mendung. Karena langit semakin hitam pekat pos 2 sesungguhnya pun tak kami hiraukan dan terus lanjut mendaki. Beberapa kali nanjak dan belak belok sampailah di tanah lapang di tumbuhi rumput bagaikan lapangan bola dengan di kelilingi bukit bukit layaknya bukit teletubis. Entah nama tempat yang mirip lapangan bola ini saya kurang faham dan sempat terfikir bahwa itu adalah savana 1.

IMG_3890

Oke sebut saja tanah lapang beralas karpet hijau itu adalah bukit teletubis, di bukit teletubi pun kami tak berlama- lama setelah mendapat dukungan untuk terus lanjut dari dua bersaudara pendaki. Melihatnya saja sudah bikin dengkul lemas saking “ndegeknya” jalur dari bukit teletubi menuju pos 4 itu. Bagaimana saya mau menceritakannya saya sendiri speakless dan hanya bisa terus berjalan sambil berdoa. setelah sepuluh menit lepas landas berlari dari bukit teletubis tangan pun di paksa turun ke tanah untuk membantu mendaki melewati trek terjal sebelum pos 4. Alhamdulillah duapuluh menit kemudian pun kami sampai di pos 4 atau savana 1, jadi yang saya sebut bukit teletubis tadi benar bukan savana 1. Karena saking ramenya pendaki yang sudah mendirikan tenda di pos 4 maka kami berdua terus berjalan meninggalkan pos 4. Tak jauh dari pos 4 terlihat sebuah tanjakan terjal nan licin bekas gerimis beberapa menit mungkin tadi sewaktu kami baru tiba di bukit teletubis. Persis di bawah tanjakan kami ngaso sebentar dan sekedar menenggak nata de coo sebagai penambah tenaga. Mulut berhenti mengunyah dan kaki siap di adu lagi dengan tanjakan tiada ampun. Mungkin karena di depan ada rombongan pendaki lain lah yang membuat saya semangat segera mengakhiri tanjakan PHP itu. Kalau di hitung- hitung inilah rombongan pendaki ke enam sekaligus terkahir yang kami berdua lewatin sejak dari basecamp. Jarum jam menunjukkan limabelas menit lamanya penyelesaian tanjakan PHP pos 4 menuju pos 5. Tiba di pos 5 atau savana 2 masih pukul 16:45, karena saya pikir hari masih terang dan puncak merbabu pun tinggal satu tanjakan lagi maka kami putuskan untuk mendirikan tenda di pos 5. Selesai mendirikan tenda mendung menggelayut lagi dan hunting foto landscape pun sudah tidak menarik karena mendung dan capeknya raga. Selesai makan dan beres- beres pun kami segera tidur berharap keesokan harinya sudah siap melaju melewati tanjakan terjal terakhir menuju puncak.

Namun apa daya jika angin kencang menggetarkan plastik yang kami pasang di atap sebagai pengganti flysheet malah berisik membuat kami susah tidur. Angin mulai tenang dan berhenti menggetarkan flysheet saatnya segera memejamkan mata dan tertidur. Entah apalah namanya baru mau “mak ler” kami kedatangan tamu tak di kenal mulai mendirikan tenda, ya saat itu pukul 23:00 entah dari basecampe jam berapa saya tak peduli. Selesai dengan flysheet yang berisik kini berganti rombongan lain yang mendirikan tenda sambil bercanda dengan berisiknya dan berhasil membuat kami berdua tak dapat tidur. Baiklah akhirnya rombongan berisik itupun mulai melirihkan suaranya dan beberapa terdengar mau tidur karena capek. Namun apa yang terjadi jika rupanya jam sudah menunjukkan pukul 01:00 masih saja ada yang baru datang dan terulang lagi tragedi berisik mendirikan tenda. Fyuhhh yasudahlah namanya tempat orang banyak mau bagaimana lagi, baru pukul 02:xx saya mulai mengantuk dan pukul 03:00 mas Ucup yang juga bekum tidur dari sore membangunkan saya ” dek uwes jam 3 iki ayo siap- siap”. Semangat mas Ucup membuatku malu jika hanya terus terusan bermalas- malasan bangun dan akhirnya tak bertemu sunrise.

Beres sarapan dan menyiapkan kamera saya dan mas Ucup segera melangkahkan kaki keluar tenda dan menyambut dingin udara dini hari saat itu. Perlahan dingin terusir oleh hangatnya tubuh dari aktifitas pembakaran kalor dalam tubuh. Tak terasa sudah 15 menit kami berjalan dan sudah pula di tengah- tengah tanjakan yang tiada ampun sedikitpun. Di depan ada seorang cewek sendirian tertinggal rombongannya saat kami hampiripun dia bertanya ” puncak masih jauh g ya mas? “, dengan sok tau saya jawab saja ” itu setelah tanajak sedikit itu udah landai kok mbak “. Kami pun semangat terus mendaki hingga akhirnya tiba di puncak Merbabu dalam hitungan 45 menit dari camp.

IMG_3003

Selasa, 06 Mei 2014

Lombok- Sumbawa, Surga Baru INDONESIA

Tiba di bandara lombok 23:xx disambut oleh gerimis berkepanjangan sepanjang jalan bandara menuju pool bus damri di sweta. Tidak jadi nginap di mesjid bandara karena ditawari nginap di rumah mas Aji driver yg akan kami gunakan. Keesokan harinya kami mulai explore lombok menuju warung makan depan bandara untuk sarapan nasi puyung. Selesai sarapan diantar pak Keho kami menuju Pantai Selong Belanak. Tiba di Selong Belanak langit masih sendu dan sesekali grimis. Belum ramai turis atau pendatang beberapa orang pengunjung diantaranya adalah kami ber enam. Ya saya, om Bento, mas Arif, cak Hafiz, cicik Ranci dan mbak Yosye, di destinasi pertama kami masih bermalas malasan untuk foto ataupun having fun. Saya sendiri karena langit kurang mendukung akhirnya berputar cara agar tetap menikmati petualangan. Saya telusur hingga ke ujung dan memanfaatkan detail detail yang ada, mulai aktifitas warga, bunga, rumput, hewan, kapal, dan kegiatan kawan kawan.

739229699422710

737893602889653 737895322889481 737896656222681 737898406222506

Lanjut menuju pantai Semeti, dan rupanya jalurnya sangat jelek atau rusak sehingga kami coret dan mencari penggantinya. Dapatlah sebuah pantai lokasinya berdekatan dengan Mawun. pantai yang memiliki teluk kecil dan semenanjung dengan di ujungnya terdapat menara karang. kata pak Keho pantai ini namanya Jagor. Dari Pantai Jagor barulah kami menuju Mawun, seingat saya baca dan melihat di blog kawan saya di pantai Mawun ini indah sekali serta masih sepi. Ketika kami tiba keadaan pantai dengan langit galau serta riuh ramai lara turis luar berbaur dengan turis lokal. Pantai Mawun menjadi biasa aja seperti pantai pantai lainnya di daerah lain. Dari pantai Mawun kami menuju pantai Batu Payung dan sebelumnya bertemu dulu dengan mas Jeni seorang fotografer lenskep Lombok. Diantarlah kami menuju pantai Batu Payung dan ber senang senang bersama di sambut langit yang mulai tersenyum membiru. Sebuah bongkahan batu mirip wajah manusia jika dilihat dari samping dan mirip payung jika dilihat dari depan.

VIDEO

Hembusan angin dan deburan ombak menabrakkan diri ke Batu Payung membuat suasana semakin pecah. Beberapa puluh menit kami habiskan untuk berfoto dan bernarsis. Setelah sekiranya cukup kami harus segera kembali menuju mataram untuk bersiap meninggalkan lombok menuju Labuan Bajo. Sudah menunjukkan pukul 14:30 dan kami psimis masih dapat bis menuju terminal Bima. Namun berkat pak Keho dan mas Aji kami masih dapat bis yang berangkat jam 16:00. Dalam kondisi terburu buru dan belum sempat makan siang membuat perut kami lapar sehingga kami makan seadanya sembari menunggu bus menghampiri kami. Bus tiba langsung saja kami naik dan lanjut menuju terminal Bima. Tiba di terminal Bima masih pukul 03:00 dini hari, suasana sepi gelap dan tenang kehadiran kami disambut beberapa kernet bis menawarkan ke berbagai tujuan. Bus jurusan ke pelabuhan Sape menjadi pilihan kami. Menempuh perjalanan 2 jam melewati jalur pegunungan jalan raya mulus berkelok kelok namun  gelap gulita membuat kendaraan harus tetap berhati hati karena di kanan kirinya adalah jurang. Tiba di pelabuhan Sape masih sangat pagi gelap mungkin karena pengaruh mendung. Hingga pukul 8 kami baru dapat info bahwa cuaca buruk sehingga kapal terlambat datang dari Labuhan Bajo.

884655244880154 884656868213325 884658598213152

Sembari menunggu kepastian kapan ferry berangkat menuju Labuan Bajo kami bersepakat untuk nyewa kapal untuk keliling pulau di sekitar Sape. Kampung Bajo Pulo, ya mereka orang suku Bajo yang mendiami pulau kecil di barat pelabuhan Sape. Rumah rumah panggung dari papan kayu yang berdiri rapi di selingi satu dua rumah tembok. Dimulai dari Kampung Bajo pasir putih kami menyusuri pinggiran pantai pasir putih bersama anak anak kecil pribumi. Banyak kedamaian saya lihat di wajah mereka yang masih polos dan lugu. Ketika kamera mengarah ke wajah mereka pun ada yang takut, malu, lari menghindar bahkan ada yang menangis. Belum puas bermain pasir ada godaan lain diatas bukit yaitu rumah burung walet dan tatanan batu karang di atas bukit. Saya bilang mirip Ramang- ramang di Makasar.

Rabu, 23 April 2014

Santolo, Bandung - Garut Via Pengalengan

Terbayang- bayang bagaimana indahnya jalur meliuk- liuk Bandung – Garut via Pengalengan dari hasil membaca dan mendengar cerita teman yang sudah dulu menikmatinya. Semakin penasaran sayapun mencari informasi dan bacaan tentang jalur tersebut lebih banyak. Beberapa blog dan web telah memberikan cukup informasi yang akhirnya saya memutuskan untuk segera menikmati indahnya jalur Bandung- Garut tersebut. Sesuai rencana bersama adik kelas saya bernama Salman Farozi di kampus Telkom dayeuhkolot kami berangkat selesai Shalat Jumat. Meninggalkan Dayeuhkolot pada 14:00 dan memulai petualangan serasa bernostalgia dengan jalur pengalengan yang berkelok- kelok dan naik turun ciri khas jalur pegunungan. Perjalanan pun tak lancar dan mulus begitu saja sampai di garut, ya karena kami harus berteduh sejenak di mushola depan situ cileunca. Hujan deras turun dari 100 meter sebelum kami sampai di mushola hingga sejam kemudian. Selesai shalat ashar dan hujan reda kami melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman tiba di Garut. Lepas dari Situ Cileunca pada 15:45 dan dengan laju motor tak begitu kencang karena jalanan licin dan berkelok kelok membuat kami harus sangat berhati hati. Beberapa puluh menit kami tiba di daerah perkebunan Teh Cukul, ya Perkebunan Teh yang asri dan indah menyejukkan mata dan inilah view pertama yang katanya memanjakan mata itu. Selama 30 menit kami memang di buai oleh dinginnya udara serta hijaunya pemandangan bagaikan karpet hijau membentang. Dan mulai meninggalkan Perkebunan Teh Cukul kami menjumpai jalur pegunungan dengan sisi kanan kiri adalah jurang- jurang lembah berlipat lipat sungguh menakjubkan apalagi saat itu kami melintasi jalur tersebut sudah memasuki waktu senja sehingga cahaya keemasan mulai membakar kabut dan awan di sekitar lembah dan perbukitan. Lanjut terus dan tak lama kemudian kami memasuki kawasan pedesaan yang tenang dan damai entahlah rasanya seperti ” in the middle of nowhere “. Rumah penduduk yang sederhana jauh dari kemewahan dan kemegahan namun terpancar kedamaian dari dalamnya. Rumah- rumah dari papan dan beratapkan genteng sebagian lagi beratapkan rumbia. Rumah- rumah beberapa berupa rumah panggung dengan di samping serta belakang rumah berupa persawahan dan sungai kecil mengalir air yang jernih. Kumpulan rumah dengan di pisahkan hutan serta lembah dan perbukitan benar rasanya saya sedang entah di mana. Rasanya ingin berhenti dan tinggal sejenak menikmati semuanya. Udara dingin, sawah dengan teraseringnya, sungai berair jernih dan perbukitan berlipat lipat benar- benar memanjakan mata. Kembali lagi ke perjalanan lupakan dulu angan angan barusan, ya kami sudah tiba di daerah Cisewu Garut Jawa Barat. Setibanya di Cisewu pula lamunan saya tergusur oleh tetes air hujan yang tiba tiba turun dengan deras. Bersyukur kami temui rumah terakhir di desa cisewu tersebut dan berteduh lagi sebentar. Rumah papan kayu dengan penggung tidak begitu tinggi terletak di pinggir jalan yang di depannya terdapat warung kecil- kecilan menyediakan mie instan, gula, teh, kopi, beras dan beberapa sembako sederhana lainnya. Sambil menunggu hujan reda saya memesan kopi hitam panas agar tidak kedinginan. Tak lama hujan sudah berhenti dan waktu masih menunjukkan pukul 17:15 kamipun bergegas segera melanjutkan perjalanan. Sambil menikmati sunset kami menghabiskan jalur khas pegunungan berkelok dengan kanan kirinya jurang hingga magrib tiba di daerah Ranca Buaya. Karena sudah gelap dan katanya jalur dari Ranca Buaya menuju pantai Santolo masih sering terjadi pembegalan maka kami memutuskan untuk mencari masjid untuk menginap semalam sebelum melanjutkan ke Pantai Santolo.

Mampir di Cukul

Jalur Cisewu Garut

Perbatasan Pengalegan Cisewu

Cukul

Perkebunan Teh Cukul

Narsis Di Perkebunan Teh

Selesai shalat subuh kami pun segera bergegas meninggalkan masjid Ranca Buaya, langit masih gelap dan terlihat ada semburat milky way di arah timur atas. Sebagai jalur pembukaan menuju Santolo memang jalannya masih mulus dan terlihat baru namun setelah beberapa belas menit jalan berubah menjadi ancur dan tidak karuan. Dengan jalan yang kadang bagus kadang hancur membuat kami benar benar galau, ya galau karena pengen ngebut agar segera sampai agar tak tertinggal oleh sunrise namun belum puas ngebut jalan kembali hancur. Satu setengah jam lamanya kami baru tiba di Pantai sayang heulang yang rupanya kami kebablasan namun tak apa kami nikmati saja dulu pantainya.

sisa sunrise Sayang Heulang

cahaya keemasan

 

Sampai jam menunjukkan pukul 07:20 kami sudahi untuk menikmati pantai Sayang Heulang dan melanjutkan ke tujuan utama yaitu pantai Santolo. Pantai Santolo adalah sesungguhnya sebuah pulau kecil tapi bukan pulau juga karena jarak pulau Santolo dengan Pulau Jawa hanya di pisahkan oleh sungai lebarnya 20 meter. Untuk menyebrang ada perahu nelayan dengan membayar 5000 pergi- pulang cukup murah untuk sekedar mengobati rasa penasaran bagaimana sebenarnya pulau Santolo itu. Karena sudah siang saya melihat pantai santolo biasa saja dan masih mirip karakter pantainya dengan pantai sayang heulang terlalu banyak karang dengan sedikit pasir di pinggirnya. Hanya sebentar saja menikmati Pulau Santolo dan segera kami meninggalkannya.

nelayan Santolo

nelayan

Ya kira- kira seperti itulah perjalanan singkat saya menuju Pantai Santolo via jalur Pengalengan. Jalan- jalan kali ini lebih menikmati touringnya daripada destinasinya. Jalur Pengalengan- Ranca Buaya Garut yang sesungguhnya memikat hati saya. Namun sayang sekali tak banyak foto di jalur perjalanan tersebut.

Menuju Pulau Santolo