Sabtu, 26 September 2015

Belajar Touring, Di Sela Gunung Merapi dan Sumbing

” Perjalanan kali ini saya bersama dengan teman-teman dari Bikepacker Kaskus DIY-Jateng. Mereka adalah : Kris, Dimas, Firli, dan Mas Fathur. Kami berangkat dari Jogja sekitar jam 8 malam lalu berhenti di pertigaan Blabag ke arah Ketep Pass untuk menunggu Mas Fathur yang sedang dalam perjalanan dari Boyolali. Awalnya kami sempat khawatir karena Mas Fathur tidak kunjung datang padahal seharusnya ia sudah sampai 1-2 jam sebelumnya. Sembari menunggu mas Fathur, kami sempatkan untuk makan malam nasi goreng terlebih dahulu tepat di warung pertigaan Blabag – Ketep Pass. ”

Sepenggal rangkaian kalimat dari blog mas JEBE, antara Merapi dan Sumbing Terima kasih mas JEBE, Lek Christian, om Firli dan lek Dimas untuk perjalanan yang Menyenangkan. Baiklah kembali ke belakang sebentar, ada percakapan antara saya om Gibran dan lek Chris, ” kita mepo di jogja jam 8 malam ya mas ” kata Chris, kemudian saya menyahut ” oke aku tak budhal jam setengah 8 an ya “, kemudian di sambut om Gibran ” opo ora kerisiken kang yen jam 8 wes budhal? ” . Akhirnya saya undur jam 8 baru berangkat dari rumah, menyusuri jalur SSB ( Solo- Selo- Borobudur ) yang dulu pernah di resmikan oleh presiden Megawati dan sekarang sudah hancur berantakan jalaur tersebut bagaikan di hujani geranat dari langit. Perasaan saya sudah mulai gelisah karena jalan yang tadinya saya prediksi rusak di mana saja menjadi semakin merembet ke jalan yang tadinya masih bagus ” wah bisa 2 jam lebih ini sampe ketep 🙁 ”

 

Dan ternyata benar perjalanan saya tempuh 2 jam 30 menit yang biasanya bisa saya tempuh dengan kecepatan 60-80kpj dalam 1 jam. Begitu saya tiba di pertigaan Blabag Magelang yang lain sudah menunggu bahkan sudah habis satu porsi nasi goreng dan segelas Teh hangat. Setelah saya duduk sebentar kami kemudian segera melanjutkan perjalanan menuju Desa Cepit Rumah kedua Om Gibran yang di pakainya untuk menyendiri menggalau. Perjalanan malam hari yang kami lakukan ini memang ada sisi positif dan sisi negatifnya, sisi positif adalah intensitas kendaraan yang ada di jalanan sedang dalam jumlah lebih sedikit di bandingkan ketika siang hari jadi berkendara lebih leluasa, yang kedua adalah hawa malam lebih dingin dan membuat efek santai bagi kami ketika berkendara selain itu juga mesin motor tidak cepat panas sehingga overheat. Namun dari sisi negatifnya yang pertama adalah jarak pandang atau visibility menjadi berkurang namun bisa di atasi dengan lampu tambahan yang lebih terang ( tapi inget ketika ada pengendara dari lawan arah sebaiknya di matikan karena pasti silaunya mengganggu beliau ), sisi negatif yang lain adalah tentang kesehatan yaitu angin malam tidak baik bagi kesehatan maka dari itu ketika bekendara malam hari tidak usah terlalu ngebut agar angin malam yang kita terjang tidak terlalu kencang.

Dari Pertigaan Blabag Magelang kami riding santai melewati kota Temanggung dengan lama perjalanan tiba di mepo kedua yaitu indomaret sebelum menuju desa Cepit adalah 2 jam. Kami Menunggu dijemput oleh om Gibran yang sedang turun gunung dan sempat membeli makanan ringan serta mi instan karena diatas susah menemui warung. Om Gibran sudah datang dan kami segera menuju rumah kedua Om Gibran yang ada di Desa Tlodas.

Desa Tlodas dari Udara, Rumah Gibran untuk menggalu di pojok kanan bawah

Bercakap- cakap sendau gurau serta di iringi petikan gitar oleh Chris yang melantunkan lagu- lagu galau kusus untuk om Gibran yang kemudian kopi panas di hidangkan untuk menemani obrolan kami. Malam semakin larut dan mata semakin kantuk sedangkan sang fajar esok hari tak mau menunggu kami yang mengidam berburu sunrise. Mata kami pejamkan segera menuju singgasan mimpi masing- masing dan berharap esok hari sunrise terbit dengan cerah.

Alarm HP berdering keras menunjukkan waktu pukul 04:00 dan kami masih malas- malasan untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur. Mendengar adzan subuh saya segera bangun mengambil air wudu dan shalat subuh sedangkan yang lain bersiap menuju terminal. Terminal ini saya pikir dan om JEBE pikir adalah terminal angkot atau tempat keramaian warga untuk menyetor hasil panen tembakau namun rupanya hanya namanya saja terminal kondisinya seadanya dan sepi hanya kami berenam yang ada di sini. Saya pikir dari terminal akan terliat view yang paling indah namun ternyata kami salah justru di terminal semua pandangan terhalan oleh pepohonan. Kami turun sedikit agar dapat melihat sunrise dan megahnya gunung Sumbing.

Gunung Sumbing Dari Desa Cepit

Parkir motor dan langsung mengeluarkan kamera karena matahari sudah membulat dan keluar dari balik awan merah. Awan menggumpal tebal menghalangi pancaran sinar matahari sehingga terbit tak sempurna. Dari balik dedaunan tembakau sinar matahari menerobos hingga masuk ke dalam lensa kamera. Udara dingin semakin dingin karena terpaan angin semakin kencang. Sinar merah matahari mulai berganti orange dan kuning menyirami hektaran tanaman tembakau di lereng gunung Sumbing. Terlihat gagah namun gersang gunung Sumbing dari desa Cepit sepertinya dekat namun ternyata butuh 6-8 jam pendakian agar sampai di puncak.

Dari kiri : Christian, Jebe / Laksana Adi, Fathur, Gibran, Dimas, Firli

Foto Keluarga Bikepacker, By Gibran Xiomi

Byson Jebe, GL Fathur, GSX250 Firli Foto by Gibran

Di candid oleh Christian

Foto By Gibran

Usai kami berburu foto dan udara semakin dingin karena hembusan angin yang semakin kencang kami segera turun. Di persimpangan jalan kami berhenti sebentar karena saya melihat sedang ada penjemuran daun tembakau yang sudah di ” rajang “. Sambil mengamati dan saya foto kemudian dari belakang datanglah Omnya Gibran dan di susul neneknya om gibran ( adek nenek kandung Gibran ) yang menawarkan Teh hangat. Kami menyambut teh hangat dengan sangat hangat ( blibet bahasanya ) . Sedikit menderngar cerita dari neneknya om Gibran bahwa dulunya desa Cepit dan Tlodas di proyeksikan akan menjadi desa Wisata namun karena Bupatinya ( Pak TOTOK ) tersandung kasus korupsi maka berantakanlah rencana indah membagung menjadi desa wisata.

Penampakan Gunung Sumbing dan Sekitarnya dari Udara

Gunung Sindoro dari Desa Cepit

Selesai meneguk teh hangat dan sarapan di rumah nenek om Gibran ( terima kasih loh nek sudah di beri sarapan 🙂 ) kami istirahat sebentar sebelum kami balik ke Sleman melanjutkan perburuan foto selanjutnya. Ketika yang lain sedang istirahat saya sempatkan untuk foto desa Cepit dari udara menggunakan mainan Drone. Sambil menghindar dari panas matahari kami berteduh di rumah om Gibran sambil melanjutkan sendau gurau semalam. Mulai membahas motor, kemudian touring, kemudian destinasi wisata hingga akhirnya berujung pada pembahasan mantan pacar. Di sela sela membahas mantan pacar saya dan om Jebe sempat mencari info akan menuju Kali Boyong yang berada di desa Turgo. Setelah mendapat alamat yang pasti akan kami tuju kami bersiap pamitan sama om Gibran dan meninggalkan desa Tlodas.

Tempat penjemuran ” Rajangan Tembakau ” Foto By Christian

Desa Tlodas dari Udara, Rumah ber atap hijau adalah rumah neneknya Gibran

Perjalanan menuju Kali Boyong Desa Turgo Sleman, Hari masih terang dan udara cukup panas menyengat helm hingga masuk ke kepala. 3 jam perjalanan santai dari desa Cepit hingga tiba di Desa Turgo. Awalnya kami berniat untuk ngecamp saja di sekitar Kali Boyong atau di desa Turgo namun ternyata tidak ada tempat untuk Camping. Segera putar arah menuju Kaliurang untuk mencari tempat Camp sebagai tempat istirahat kami malam itu. Tiba di menara pandang Kaliurang dan segera kami menggelar Tenda sebagai hotel berbintang milyaran ( padahal langit mendung )

VIDEO PERTARUNNGAN

Esok harinya seusai berkemas kami melanjutkan menuju Kali Boyong yang ternyata letaknya di bawah tempat kami mendirikan tenda camping namun karena motor tidak bisa turun dari kawasan menara pandang kaliurang kami tetap memutar kembali ke Kali Boyong lewat desa Turgo. Satu jam perjalanan dari Kaliurang menuju Kali Boyong Desa Turgo. Sebenernya Kali Boyong ini adalah sungai/ jurang yang di jadikan penambangan pasir oleh warga sekitar namun karena konturnya yang ciamik menjadikan pemandangan di sini sangat keceh badaih. Dan saya sendiri selalu suka dengan ” clurutan ” seperti ini meskipun resikonya adalah motor rusak atau sekedar sangat kotor.

Si Tua Bangka

Kali Boyong Dari Udara

Di sebelah Kanan Adalah tempat kami Camping

Awak Lelah nian Neng 🙁

Jembatan Besi Kali Boyong

Team Bikepacker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar