Sabtu, 26 Maret 2016

Offroad Menuju Puncak B29, Lumajang

580333_1182450865100589_1933375443068839207_n

Mendung menggelayut diatas Bromo dan sekitarnya

Pengen ke B29 sebenernya sudah lama sekali namun hasrat semakin kuat ketika sedang dinas di area Tuban- Lamongan dan Jombang. Sempat berencana pergi bertiga dengan mas Eko dan Cuk Arga berangkat dari Lamongan. Sehari sebelum keberangkatan saya konfirm lagi dan mas Eko sedang siaga menjaga keluarganya sedangkan Arga sepertinya sedang kangen mau ketemu pacar barunya. Sabtu subuh ketika matahari belum memecah gumpalan awan dan menyinari kabut tipis di persawahan Sukodadi saya mulai memanaskan suasana dengan raungan mesin motor tua. Blarrr Blarrr Blarrr mesin mulai panas dan siap di ajak touring menuju Bromo dan puncak B29. Perlahan gas tipis- tipis meninggalkan Sukodadi Lamongan melintasi jalur pantura menuju Gresik. Sebelum masuk Gresik di daerah perbatasan Lamongan dan Gresik saya mencoba jalan yang belum pernah saya lewati, yaitu ada pertigaan ke kanan jika dari arah Lamongan kalau kata Arga jalan itu bisa tembus ke Sidoarjo tanpa lewat Surabaya. Tak jauh dari gang masuk di sebelah kanan ada genangan air semacam danau dan di tepian tumbuh pohon berkayu tinggi berbaris dan di selimuti kabut tipis. Sedang dari arah timur datang sinar mentari yang mulai membakar gumpalan awan dan kabut- kabut tipis yang menyelinap di sela- sela pohon. Perlahan meninggalkan vitamin mata di awal perjalanan mulai memasuki permukiman penduduk dan semakin dekat kota Gresik dan Sidoarjo permukiman semakin padat. Mungkin karena semakin padatnya komplek rumah semakin membingungkan juga jalan yang saya lewati, sempat hampir nyasar ke arah Mojokerto. Meski harus berkali- kali berhenti dan membuka GPS Map tidak mengapa asal tidak nyasar berputar- putar.

Video Offroad

Tangan lemas melintir gas mata mulai pedas dan perutpun memanggil manggil minta sarapan. Di sebuah warung makan kecil yang menyediakan nasi pecel, nasi soto, nasi rawon dan nasi campur saya berhenti sebentar untuk sarapan dan istirahat. Nasi pecel dengan lauk bandeng presto terasa begitu nikmat di temani segelah teh hangat. Seusai sarapan melihat jam sudah menunjukkan pukul 7:00 masih ada sedikit waktu untuk istirahat. Cukup pulihkan tenaga dan membeli cemilan serta air minum di mini market saatnya saya melanjutkan perjalanan menuju Bromo dan Puncak B29. Tujuan pertama adalah  mampir dulu sebentar di Pananjakan 1 view gunung Bromo.

Menyentuh Lautan Pasir setelah turun dari penanjakan 1

Menyentuh Lautan Pasir setelah turun dari penanjakan 1

Kali ini sengaja lewat jalur pasuruan karena penasaran belum pernah lewat jalur ini sebelumnya. Sebelum Pasuruan Kota tepatnya di daerah Kraton ada gang belok ke kanan jika dari Bangil menuju Pasuruan. Setelah masuk gang kraton di pertigaan dekat pondok pesantren Sidogiri ada pertigaan dan ambilah kekiri terdapat penunjuk arah ke Gunung Pananjakan/ Pananjakan 1 Gunung Bromo. Jalur menuju Pananjakan 1 Gunung Bromo lewat pasuruan bisa di bilang relatif lebih sepi daripada jalur Probolinggo dan Malang. Jalanan aspal yang masih mulus sedikit sekali lubangnya berkelok dan di sebelah jurang dan kebun milik warga. Udara dingin semakin terasa dan kabut mulai terlihat jelas tanjakan pun semakin curam. Kanan kiri jalan lebih di dominasi perkebunan kentang warga Tosari Pasuruan. Suasana pedesaan yang masih kental, warga desa yang ramah selalu menawarkan senyum serta rumah- rumah penduduk yang rapat bergerombol di satu area. Setelah melewati area padat penduduk semakin tinggi semakin jarang saya temui rumah warga desa dan berganti hutan pinus dan beberapa kebun kentang milik petani desa. Meskipun saya sedang riding sendiri namun karena banyak warga desa yang ramah melemparkan senyum kepada saya membuat selama perjalanan saya tidak pernah sendirian. 10:00 saya tiba di pananjakan 1 gunung Bromo, seperti dua tahun yang lalu 2014 saya menunggu keindahan view Bromo dari Pananjakan 1 namun tertutup kabut hingga saya akhirnya nyerah untuk pulang. Berharap kabut segera pergi dan berganti pemandangan 3 gunung sekaligus yaitu Semeru, Bromo dan Batok namun apa boleh buat jika saya sudah menunggu sampai pukul 13:00 pun kabut masih betah menemani saya.

Sebelum meninggalkan Pananjakan 1 saya sempat mampir ngopi di warung sekitar dan bercakap- cakap dengan penjual kopi serta salah satu juru parkir. Mereka bertanya darimana asal saya dan setelah saya jawab dari Boyolali- Solo mereka bercerita bahwa ada orang yang berjualan batik Solo. Harga batik yang bagus katanya mencapai 500- 700 ribu, dari situ mereka bertanya emang benar kah harganya semahal itu? dan setau saya harga batik yang cukup bagus memang lumayan mahal antara 200- 500 ribu. Warga pasuruan biasanya kalau keluar kota adalah saat melakukan wisata religi/ ziarah ke makam para Wali. Katanya mereka belum pernah ke Solo namun sudah pernah ke Jogja, dan si juru parkir ini kagum dengan sistem kerajaan Jogjakarta. Dalam pandangan si juru parkir Jogja rakyatnya adem, ayem lan tenterem. Namun satu yang juru parkir tidak suka dari jogja, yaitu padat dan macet. Segelas kopi hitam pun sudah habis dan perbincangan saya akhiri kemudian saya undur pamit melanjutkan perjalanan menuju Jemplang Malang.

Jemplang, titik perpisahan ketika menuju Bromo atau Ranupani Semeru. Disana sudah menunggu sedulur saya dari suku Tengger Qoili, Sepupunya Qoili dan Jumari. Dengan motor Supra 100 di kendarai oleh qoili dan moto Revo di kendari oleh Jumari serta sepupunya Qoili, sedangkan saya sendiri bersama Petruk yang sudah setia menemani saya kemanapun. Sesuai judulnya, ” Offroad ” segera di mulai, dari Jemplang ke arah Ranupani kira- kira kami sudah berjalan 300-400 meter ada belokan masuk kedalam hutan arah kiri. Tadinya saya pikir jalurnya masih muat untuk di lewatin oleh jeep ternyata jalur yang kami lewatin adalah jalan setapak orang mencari rumput di hutan. Di awal pembukaan kami di hidangkan jalan yang sempit dengan tekstur tanah agak basah belum berlumpur di sebelah kiri adalah jurang sangat curam langsung terjun ke savana teletabis Bromo. Kata Qoili ” ini baru permulaan sam ” setelah kami terjebak di dua lumpur pertama dan berhasil kami lewatin dengan mengangkat motor bersama sama. Silahkan di bayangkan dahulu, Motor tua saya dengan penampilan shock depan belakang tinggi bisa terendam lumpur hingga separuh bahkan seluruh ban sudah klelep. Jangankan jalan ban/roda nya saja tak terlihat lagi karena di sembunyikan lumpur, setelah di pikul rame- rame akhirnya motor bisa di pindahkan ke tempat yang lebih kering. Dua motor bebek dengan stelan ban krakal di belakang mampu melibas lumpur- lumpur kecil. Meskipun dengan gaya semi trail namun ban yang saya pakai adalah ban biasa untuk aspal di jalur ini motor saya lebih banyak “KEOK” nya. Jangankan lumpur yang besar dan dalam, jalan yang basah sedikit tergenang air pun rodanya berputar kencang namun motor tak berpindah tempat alias selip. Tidak hanya sekali saya terjebak dan selip bahkan sudah tak mampu menghitungnya lagi. Di bantu oleh sepupu cak Qoili mendorong motor saya agar dapat sedikit bergerak dan berpindah tempat. Hanya jalan yang benar- benar tidak mengandung air, lumpur serta mendatar yang mampu motor saya lewati. Jika ada yang tau bagaimana capeknya naik gunung maka Offroad kali ini 2 kalilipat lebih capek daripada naik gunung. Kaki lemas mendorong motor karena tanpa bantuan dorongan kaki rodanya hanya berputar di tempat. Pergelangan tangan rasanya seperti mau patah karena menahan ketegangan stang motor. Pundak dan punggung rasanya seperti habis di gebukin orang sekampung karena menahan beratnya beban badan ke stang motor dan beban tas punggung yang saya kenakan. Motor saya pun meronta- ronta seolah ingin berteriak bahwa dia sudah tak sanggup, namun apa boleh buat karena sudah terlanjur merangsuk kedalam maka kami teruskan saja masuk semakin dalam.

Bayangkan sebelah kiri adalah jurang langsung terjun ke savana Bromo

Bayangkan sebelah kiri adalah jurang langsung terjun ke savana Bromo

 

Bertemu bapak pencari jamur hutan

Bertemu bapak pencari jamur hutan

Katanya habis kebakar Hutan ini

Katanya habis kebakar Hutan ini

Setelah melewati kubangan dan lumpur agak dalam kemudian ketemu tikungan S dengan ” galengan ” alur roda selebar ban motor kami yang sudah berlumpur karena di lewatin oleh motor- motor sebelum kami. Berhasil melewati tikungan S kami berhenti sebentar sekaligus mendinginkan mesin motor yang mulai overheat. Kata Cak Jumari ” tenang aja cak setelah ini lebih banyak turunan dan jalannya tidak berlumpur parah kayak tadi “, Alhamdulillah berarti jalan sudah sedikit lebih mudah di lewatin daripada sebelum- sebelumnya. Semangat terbakar lagi mendengar kata- kata dari cak Jumari, puncak B29 pun sudah semakin dekat. Setelah melewati beberapa turunan dan sempat lewat lorong semak belukar, ya bayangkan lorong semak belukar ini memaksa kami merunduk serendah rendahnya agar tidak tersangkut oleh batang tumbuhan menjalar ataupun rumput perdu.

Tumbuhan perdu semakin rapat

Tumbuhan perdu semakin rapat

Bersihin lumpur yang menempel di roda

Bersihin lumpur yang menempel di roda

Tak lama kemudian terlihat gubug- gubug warung penjual makanan. Ya di warung- warung itulah puncak B29 atau bukit 2900 mdpl, namun kami justru melewati puncak B29 tersebut karena ingin mengunjungi ke P30 atau puncak 3000 mdpl. Sayang sekali kedatangan kami di sambut oleh kabut dan mendung. Perlahan mulai nampak puncak Mahameru di belakang lipatan perbukitan dan di selimuti kabut dan awan mendung. Matahari merah di balik awan mulai membakar awan dan meredupkan sinarnya. Di seberang terlihat gunung Bromo sedang menyemburkan kepulan asap hitam beradu dengan mendung. Kabut mulai terbuka disaat matahari pun sudah tenggelam, hanya mata yang mampu merekam semua keindahan disana karena kamera HP saya tak mampu mendokumentasikannya dengan baik. Dari balik alang- alang kamera HP saya arahkan merekam puncak Mahameru di jauh sana. Perlahan saya tahan agar tidak goyang dengan mode malam saya potret gunung Bromo dari puncak P30.

Alang- alang puncak P30

Alang- alang puncak P30

Selfie di puncak P30

Selfie di puncak P30

Selfie

Selfie

Matahari terbenam mendung menggelayut menutupi cahaya emas senja di atas pegunungan Bromo Tengger Semeru. Kabut bergerak tertiup angin silih berganti menutupi Semeru kemudian Bromo dan Batok. Adzan magrib sayut sayut terdengan dari jarak yang sangat jauh mengisyaratkan bahwa kami sebaiknya segera pulang. Dalam gelapnya tanpa cahaya kami menyusuri jalan setapak di terangi lampu motor kami masing- masing. Belum ada setengah perjalanan terdengan teriakan cak Qoili ” woiii motorku troubel ” saya dan mas Jumari langsung terhenti dan menghampiri cak Qoili. Setelah di cek sepertinya over heat dan oli mesin mulai berkurang cukup banyak. Motor cak Qoili pun di dorong saja menghindari resiko kerusakan yang lebih parah. Dalam gelap malam jalan setapak telah di basahi oleh tetesan titik air kabut yang menabrak dedaunan kami perlahan terus maju. Terseok- seok kami melintasi jalanan licin berlumpur yang tentunya mengharuskan kami sangat berhati- hati. Gubangan lumpur demi  lumpur telah kami lewati meskipun berat namun ini kenyataannya. Jalan sempit rumput menyerang dingin udaranya merasuk hingga ke tulang kami hadapi. Pukul 21:00 kami akhirnya keluar dari jalur offroad memijaki jalanan aspal rasanya sungguh melegakan. Sebentar mampir di warung Jemplang untuk meluruskan punggung dan dengkul yang pegal. Duduk termenung mengingat perjalanan kami yang berat sambil menatap ” api-api ” yang di bakar di samping warung. Hidangan pisang goreng kopi hitam dan mie rebus begitu nikmat mengisi perut kami. Setengah jam cukup lama kami termenung di warung Jemplang dan kemudian bersiap meninggalkan warung menuju desa Gubugklakah.

Tiba di rumah cak Qoili ngobrol sebentar ngeteh kemudian mandi air “ES” tau sendiri kan gubugklakah masih lereng Bromo airnya pasti saingan sama es dalam kulkas. Selesai mandi segar tengah malam karena saya capek saya ijin istirahat lebih dahulu. Keesokan paginya yang berniat hunting sunrise ke res area gagal karena sudah kecapean. Sebelum pulang ke Lamongan pun saya sempatkan mampir ke rumah sam Muhsin karena lama tidak berjumpa. Sekalian temu kangen saya baru tau kalau istri sam Muhsin habis lahiran, anak kedua sam Muhsin lahir seorang laki- laki. Selamat ya sam Muhsin semoga jadi anak yang soleh berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi desa dan negara.

Ngobrol ngalor ngidul tentang motor, destinasi wisata, dan gunung kemudian berujung pamitan saya undur diri balik ke Lamongan. Jalur balik pun saya milih lewat Pasuruan lagi, sewaktu di loket pun saya menunjukkan tiket masuk saya dan ijin melintas saja dan Alhamdulillah di berikan ijin. Mendung dan kabut masih setia menemani perjalanan saya melintasi savana, lautan pasir dan jalur ke pananjakan 1. Niatnya mencoba balik lagi ke penanjakan 1 apakah beruntung bisa melihat Bromo, Batok dan Semeru dengan cerah. Baru sampai tikungan Kingkong diatas terlihat kabut tebal dan mendung menggelayut niat pun saya urungkan dan lanjut turun ke Pasuruan lewat Tosari.

Offroad Menuju Puncak B29, Lumajang

580333_1182450865100589_1933375443068839207_n

Mendung menggelayut diatas Bromo dan sekitarnya

Pengen ke B29 sebenernya sudah lama sekali namun hasrat semakin kuat ketika sedang dinas di area Tuban- Lamongan dan Jombang. Sempat berencana pergi bertiga dengan mas Eko dan Cuk Arga berangkat dari Lamongan. Sehari sebelum keberangkatan saya konfirm lagi dan mas Eko sedang siaga menjaga keluarganya sedangkan Arga sepertinya sedang kangen mau ketemu pacar barunya. Sabtu subuh ketika matahari belum memecah gumpalan awan dan menyinari kabut tipis di persawahan Sukodadi saya mulai memanaskan suasana dengan raungan mesin motor tua. Blarrr Blarrr Blarrr mesin mulai panas dan siap di ajak touring menuju Bromo dan puncak B29. Perlahan gas tipis- tipis meninggalkan Sukodadi Lamongan melintasi jalur pantura menuju Gresik. Sebelum masuk Gresik di daerah perbatasan Lamongan dan Gresik saya mencoba jalan yang belum pernah saya lewati, yaitu ada pertigaan ke kanan jika dari arah Lamongan kalau kata Arga jalan itu bisa tembus ke Sidoarjo tanpa lewat Surabaya. Tak jauh dari gang masuk di sebelah kanan ada genangan air semacam danau dan di tepian tumbuh pohon berkayu tinggi berbaris dan di selimuti kabut tipis. Sedang dari arah timur datang sinar mentari yang mulai membakar gumpalan awan dan kabut- kabut tipis yang menyelinap di sela- sela pohon. Perlahan meninggalkan vitamin mata di awal perjalanan mulai memasuki permukiman penduduk dan semakin dekat kota Gresik dan Sidoarjo permukiman semakin padat. Mungkin karena semakin padatnya komplek rumah semakin membingungkan juga jalan yang saya lewati, sempat hampir nyasar ke arah Mojokerto. Meski harus berkali- kali berhenti dan membuka GPS Map tidak mengapa asal tidak nyasar berputar- putar.

Video Offroad

Tangan lemas melintir gas mata mulai pedas dan perutpun memanggil manggil minta sarapan. Di sebuah warung makan kecil yang menyediakan nasi pecel, nasi soto, nasi rawon dan nasi campur saya berhenti sebentar untuk sarapan dan istirahat. Nasi pecel dengan lauk bandeng presto terasa begitu nikmat di temani segelah teh hangat. Seusai sarapan melihat jam sudah menunjukkan pukul 7:00 masih ada sedikit waktu untuk istirahat. Cukup pulihkan tenaga dan membeli cemilan serta air minum di mini market saatnya saya melanjutkan perjalanan menuju Bromo dan Puncak B29. Tujuan pertama adalah  mampir dulu sebentar di Pananjakan 1 view gunung Bromo.

Menyentuh Lautan Pasir setelah turun dari penanjakan 1

Menyentuh Lautan Pasir setelah turun dari penanjakan 1

Kali ini sengaja lewat jalur pasuruan karena penasaran belum pernah lewat jalur ini sebelumnya. Sebelum Pasuruan Kota tepatnya di daerah Kraton ada gang belok ke kanan jika dari Bangil menuju Pasuruan. Setelah masuk gang kraton di pertigaan dekat pondok pesantren Sidogiri ada pertigaan dan ambilah kekiri terdapat penunjuk arah ke Gunung Pananjakan/ Pananjakan 1 Gunung Bromo. Jalur menuju Pananjakan 1 Gunung Bromo lewat pasuruan bisa di bilang relatif lebih sepi daripada jalur Probolinggo dan Malang. Jalanan aspal yang masih mulus sedikit sekali lubangnya berkelok dan di sebelah jurang dan kebun milik warga. Udara dingin semakin terasa dan kabut mulai terlihat jelas tanjakan pun semakin curam. Kanan kiri jalan lebih di dominasi perkebunan kentang warga Tosari Pasuruan. Suasana pedesaan yang masih kental, warga desa yang ramah selalu menawarkan senyum serta rumah- rumah penduduk yang rapat bergerombol di satu area. Setelah melewati area padat penduduk semakin tinggi semakin jarang saya temui rumah warga desa dan berganti hutan pinus dan beberapa kebun kentang milik petani desa. Meskipun saya sedang riding sendiri namun karena banyak warga desa yang ramah melemparkan senyum kepada saya membuat selama perjalanan saya tidak pernah sendirian. 10:00 saya tiba di pananjakan 1 gunung Bromo, seperti dua tahun yang lalu 2014 saya menunggu keindahan view Bromo dari Pananjakan 1 namun tertutup kabut hingga saya akhirnya nyerah untuk pulang. Berharap kabut segera pergi dan berganti pemandangan 3 gunung sekaligus yaitu Semeru, Bromo dan Batok namun apa boleh buat jika saya sudah menunggu sampai pukul 13:00 pun kabut masih betah menemani saya.

Sebelum meninggalkan Pananjakan 1 saya sempat mampir ngopi di warung sekitar dan bercakap- cakap dengan penjual kopi serta salah satu juru parkir. Mereka bertanya darimana asal saya dan setelah saya jawab dari Boyolali- Solo mereka bercerita bahwa ada orang yang berjualan batik Solo. Harga batik yang bagus katanya mencapai 500- 700 ribu, dari situ mereka bertanya emang benar kah harganya semahal itu? dan setau saya harga batik yang cukup bagus memang lumayan mahal antara 200- 500 ribu. Warga pasuruan biasanya kalau keluar kota adalah saat melakukan wisata religi/ ziarah ke makam para Wali. Katanya mereka belum pernah ke Solo namun sudah pernah ke Jogja, dan si juru parkir ini kagum dengan sistem kerajaan Jogjakarta. Dalam pandangan si juru parkir Jogja rakyatnya adem, ayem lan tenterem. Namun satu yang juru parkir tidak suka dari jogja, yaitu padat dan macet. Segelas kopi hitam pun sudah habis dan perbincangan saya akhiri kemudian saya undur pamit melanjutkan perjalanan menuju Jemplang Malang.

Jemplang, titik perpisahan ketika menuju Bromo atau Ranupani Semeru. Disana sudah menunggu sedulur saya dari suku Tengger Qoili, Sepupunya Qoili dan Jumari. Dengan motor Supra 100 di kendarai oleh qoili dan moto Revo di kendari oleh Jumari serta sepupunya Qoili, sedangkan saya sendiri bersama Petruk yang sudah setia menemani saya kemanapun. Sesuai judulnya, ” Offroad ” segera di mulai, dari Jemplang ke arah Ranupani kira- kira kami sudah berjalan 300-400 meter ada belokan masuk kedalam hutan arah kiri. Tadinya saya pikir jalurnya masih muat untuk di lewatin oleh jeep ternyata jalur yang kami lewatin adalah jalan setapak orang mencari rumput di hutan. Di awal pembukaan kami di hidangkan jalan yang sempit dengan tekstur tanah agak basah belum berlumpur di sebelah kiri adalah jurang sangat curam langsung terjun ke savana teletabis Bromo. Kata Qoili ” ini baru permulaan sam ” setelah kami terjebak di dua lumpur pertama dan berhasil kami lewatin dengan mengangkat motor bersama sama. Silahkan di bayangkan dahulu, Motor tua saya dengan penampilan shock depan belakang tinggi bisa terendam lumpur hingga separuh bahkan seluruh ban sudah klelep. Jangankan jalan ban/roda nya saja tak terlihat lagi karena di sembunyikan lumpur, setelah di pikul rame- rame akhirnya motor bisa di pindahkan ke tempat yang lebih kering. Dua motor bebek dengan stelan ban krakal di belakang mampu melibas lumpur- lumpur kecil. Meskipun dengan gaya semi trail namun ban yang saya pakai adalah ban biasa untuk aspal di jalur ini motor saya lebih banyak “KEOK” nya. Jangankan lumpur yang besar dan dalam, jalan yang basah sedikit tergenang air pun rodanya berputar kencang namun motor tak berpindah tempat alias selip. Tidak hanya sekali saya terjebak dan selip bahkan sudah tak mampu menghitungnya lagi. Di bantu oleh sepupu cak Qoili mendorong motor saya agar dapat sedikit bergerak dan berpindah tempat. Hanya jalan yang benar- benar tidak mengandung air, lumpur serta mendatar yang mampu motor saya lewati. Jika ada yang tau bagaimana capeknya naik gunung maka Offroad kali ini 2 kalilipat lebih capek daripada naik gunung. Kaki lemas mendorong motor karena tanpa bantuan dorongan kaki rodanya hanya berputar di tempat. Pergelangan tangan rasanya seperti mau patah karena menahan ketegangan stang motor. Pundak dan punggung rasanya seperti habis di gebukin orang sekampung karena menahan beratnya beban badan ke stang motor dan beban tas punggung yang saya kenakan. Motor saya pun meronta- ronta seolah ingin berteriak bahwa dia sudah tak sanggup, namun apa boleh buat karena sudah terlanjur merangsuk kedalam maka kami teruskan saja masuk semakin dalam.

Bayangkan sebelah kiri adalah jurang langsung terjun ke savana Bromo

Bayangkan sebelah kiri adalah jurang langsung terjun ke savana Bromo

 

Bertemu bapak pencari jamur hutan

Bertemu bapak pencari jamur hutan

Katanya habis kebakar Hutan ini

Katanya habis kebakar Hutan ini

Setelah melewati kubangan dan lumpur agak dalam kemudian ketemu tikungan S dengan ” galengan ” alur roda selebar ban motor kami yang sudah berlumpur karena di lewatin oleh motor- motor sebelum kami. Berhasil melewati tikungan S kami berhenti sebentar sekaligus mendinginkan mesin motor yang mulai overheat. Kata Cak Jumari ” tenang aja cak setelah ini lebih banyak turunan dan jalannya tidak berlumpur parah kayak tadi “, Alhamdulillah berarti jalan sudah sedikit lebih mudah di lewatin daripada sebelum- sebelumnya. Semangat terbakar lagi mendengar kata- kata dari cak Jumari, puncak B29 pun sudah semakin dekat. Setelah melewati beberapa turunan dan sempat lewat lorong semak belukar, ya bayangkan lorong semak belukar ini memaksa kami merunduk serendah rendahnya agar tidak tersangkut oleh batang tumbuhan menjalar ataupun rumput perdu.

Tumbuhan perdu semakin rapat

Tumbuhan perdu semakin rapat

Bersihin lumpur yang menempel di roda

Bersihin lumpur yang menempel di roda

Tak lama kemudian terlihat gubug- gubug warung penjual makanan. Ya di warung- warung itulah puncak B29 atau bukit 2900 mdpl, namun kami justru melewati puncak B29 tersebut karena ingin mengunjungi ke P30 atau puncak 3000 mdpl. Sayang sekali kedatangan kami di sambut oleh kabut dan mendung. Perlahan mulai nampak puncak Mahameru di belakang lipatan perbukitan dan di selimuti kabut dan awan mendung. Matahari merah di balik awan mulai membakar awan dan meredupkan sinarnya. Di seberang terlihat gunung Bromo sedang menyemburkan kepulan asap hitam beradu dengan mendung. Kabut mulai terbuka disaat matahari pun sudah tenggelam, hanya mata yang mampu merekam semua keindahan disana karena kamera HP saya tak mampu mendokumentasikannya dengan baik. Dari balik alang- alang kamera HP saya arahkan merekam puncak Mahameru di jauh sana. Perlahan saya tahan agar tidak goyang dengan mode malam saya potret gunung Bromo dari puncak P30.

Alang- alang puncak P30

Alang- alang puncak P30

Selfie di puncak P30

Selfie di puncak P30

Selfie

Selfie

Matahari terbenam mendung menggelayut menutupi cahaya emas senja di atas pegunungan Bromo Tengger Semeru. Kabut bergerak tertiup angin silih berganti menutupi Semeru kemudian Bromo dan Batok. Adzan magrib sayut sayut terdengan dari jarak yang sangat jauh mengisyaratkan bahwa kami sebaiknya segera pulang. Dalam gelapnya tanpa cahaya kami menyusuri jalan setapak di terangi lampu motor kami masing- masing. Belum ada setengah perjalanan terdengan teriakan cak Qoili ” woiii motorku troubel ” saya dan mas Jumari langsung terhenti dan menghampiri cak Qoili. Setelah di cek sepertinya over heat dan oli mesin mulai berkurang cukup banyak. Motor cak Qoili pun di dorong saja menghindari resiko kerusakan yang lebih parah. Dalam gelap malam jalan setapak telah di basahi oleh tetesan titik air kabut yang menabrak dedaunan kami perlahan terus maju. Terseok- seok kami melintasi jalanan licin berlumpur yang tentunya mengharuskan kami sangat berhati- hati. Gubangan lumpur demi  lumpur telah kami lewati meskipun berat namun ini kenyataannya. Jalan sempit rumput menyerang dingin udaranya merasuk hingga ke tulang kami hadapi. Pukul 21:00 kami akhirnya keluar dari jalur offroad memijaki jalanan aspal rasanya sungguh melegakan. Sebentar mampir di warung Jemplang untuk meluruskan punggung dan dengkul yang pegal. Duduk termenung mengingat perjalanan kami yang berat sambil menatap ” api-api ” yang di bakar di samping warung. Hidangan pisang goreng kopi hitam dan mie rebus begitu nikmat mengisi perut kami. Setengah jam cukup lama kami termenung di warung Jemplang dan kemudian bersiap meninggalkan warung menuju desa Gubugklakah.

Tiba di rumah cak Qoili ngobrol sebentar ngeteh kemudian mandi air “ES” tau sendiri kan gubugklakah masih lereng Bromo airnya pasti saingan sama es dalam kulkas. Selesai mandi segar tengah malam karena saya capek saya ijin istirahat lebih dahulu. Keesokan paginya yang berniat hunting sunrise ke res area gagal karena sudah kecapean. Sebelum pulang ke Lamongan pun saya sempatkan mampir ke rumah sam Muhsin karena lama tidak berjumpa. Sekalian temu kangen saya baru tau kalau istri sam Muhsin habis lahiran, anak kedua sam Muhsin lahir seorang laki- laki. Selamat ya sam Muhsin semoga jadi anak yang soleh berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi desa dan negara.

Ngobrol ngalor ngidul tentang motor, destinasi wisata, dan gunung kemudian berujung pamitan saya undur diri balik ke Lamongan. Jalur balik pun saya milih lewat Pasuruan lagi, sewaktu di loket pun saya menunjukkan tiket masuk saya dan ijin melintas saja dan Alhamdulillah di berikan ijin. Mendung dan kabut masih setia menemani perjalanan saya melintasi savana, lautan pasir dan jalur ke pananjakan 1. Niatnya mencoba balik lagi ke penanjakan 1 apakah beruntung bisa melihat Bromo, Batok dan Semeru dengan cerah. Baru sampai tikungan Kingkong diatas terlihat kabut tebal dan mendung menggelayut niat pun saya urungkan dan lanjut turun ke Pasuruan lewat Tosari.

Kamis, 24 Maret 2016

Ngadem ke Desa Grabagan, Tuban

Pagi datang mentari pun mulai menampakkan diri, niat awal berburu sunrise ke pantai boom ternyata awan sedang kelabu. Cek kunci yang tersisa tinggal Avanza putih yasudah gas aja langsung nyari arah grabagan ke bukit nemplek. Mulai dari Bektiharjo Semanding sudah mulai di suguhi pemandangan yang menyejukkan mata. Hamparan ladang jagung dan beberapa pohon kayu di selimuti kabut tipis. Jalanan sepi nan lenggang tak terdengar suara kendaraan apapun. Kumatikan mesin mobil dan kurasakan damai serta “adem ” sebentar di tengah ladang jagung Semanding. Di salah satu sudut mata memandang seperti sedang di wairinginding Sumba. Kucoba mencari- cari dimana tempat lebih tinggi untuk melihat lebih leluasa hamparan ladang jagung ini, namun tak ku temukan.

735_1177758908903118_3445860428982639570_n

Lanjut menuju bukit Nemplek jalanan masih sepi karena memang masih menunjukkan pukul 06:00. Menyusuri jalan Semanding- Rengel yang biasanya menjadi jalur alternatif warga dari kota Tuban menuju Rengel dan Bojonegoro. Di kanan kiri ladang jagung dan sesekali berganti hutan Jati hijau subur menyegarkan mata. Mulai memasuki daerah grabagan mulai padat permukiman penduduk dan ku lihat ada panah penunjuk arah menuju Ngandong. Bukit nemplek terletak di desa Ngandong Grabagan Tuban. Setelah masuk gang kupikir salah jalan namun yasudahlah jalan terus saja, jalanan kecil berkelok hanya muat satu mobil. Setelah agak jauh masuk kedalam jalan semakin kecil dan tak ada tempat untuk memutar memaksaku terus maju. Di tengah ladang jagung yang siap panen milik para petani desa kemudian di kejauhan terlihat perbukitan membulat bulat.

Setelah lurus terus maju karena memang gak bisa putar arah ku temukan jalan agak besar dan ada beberapa warga sedang “menyenggek” mangga. Sudah saatnya bertanya kepada warga agar tidak nyasar dan ternyata bukitnya sudah dekat. Mengikuti arahan warga desa setelah melewati tower- tower milik stasiun tivi di balik ladang jagung di situlah bukit nemplek. Bukit ini seperti tempelan batu besar di atas jurang di tepi ladang jagung warga desa. Awalnya tidak ada warga yang melarang untuk melewati ladang jagung untuk menyebrang ke bebatuan besar di ujung ladang. Plang di larang melintas pun juga tidak ada, namun ketika saya sedang mengambil foto bersama 3 pengunjung lainnya tiba- tiba ada yang memanggil dan memarahi agar kami segera meninggalkan bukit nemplek. Dalam hal ini kami mengaku salah agar masalah tidak berlanjut, saran buat yang mau ke bukit nemplek sebaiknya tunggu musim tanam jagung selesai.

12821618_1177448878934121_3030189790603646741_n

Dari bukit nemplek saya lanjut mampir sebentar ke bukit Grabagan yang tak jauh dari desa Ngandong. Persawahan Rengel terlihat begitu indah dari puncak bukit Grabagan. Sawah- sawah yang usai di panen dan beberapa sudah tergenang air hujan seperti danau ataupun rawa. Biasanya di bukit ini banyak remaja yang sekedar nongkrong atau berfoto- foto. Selesai menikmati pemandangan dan berfoto- foto saya mencari tempat putar arah dan balik ke Semanding. Dari Grabagan saya menuju Watu Ondo Semanding. Watu Ondo ini juga sama dengan bukit nemplek, ujung tebing yang di manfaatkan untuk menikmati keindahan dari atas tebing. Berbeda dengan bukit nemplek, Watu ondo ini oleh warga sudah di iklashkan untuk di jadikan tempat refreshing dan melepas lelah. Akses sudah di buatkan jadi tidak merusak tanaman jagung ataupun tanaman lainnya. Watu ondo sendiri ada 2 spot, yaitu watu ondo tinggi dan watu ondo lebih rendah. Keduanya punya keindahan masing masing sebaiknya memang di datangi keduanya.

12814644_1177812625564413_1443983591937516478_n

Dari watu ondo karena sudah mulai siang ku arahkan mobil menuju kota Tuban. Istrihat dulu dan sarapan mengisi tenaga agar sorenya bisa melanjutkan menyelesaikan destinasi yaitu Goa Kancing di desa Punggrahan kulon Bektiharjo.

Ba’da ashar bersama 3 orang teman ku mulai perjalanan menuju Goa kancing yang ternyata tak jauh dari kota Tuban. 15 menit perjalanan kami pun sudah sampai di tujuan. Sebenernya yang menarik adalah 2 batu besar yang menjulang seolah saling beradu. Dua batu besar yang di bawahnya seolah ada pintu masuk Goa. Di sini dapat menikmati sunset bahkan juga sunrise lebih indah karena matahari tepat ketika muncul berada di tengah kedua batu besar. Kami menghabiskan waktu hingga senja menjemput. Semburat- semburat sunset tak begitu kuat memecah lautan awan yang bergerombol di langit. Beberapa foto dengan suasana sendu karena gumpalan awan kelabu yang menghiasi langit di atas bukit Goa kancing.

1914248_1177670745578601_9162032051365732657_n

12819227_1177703728908636_1653644813246779440_o