Kamis, 11 September 2014

Labuhan Bajo Kian Tersohor

Untuk pertama kalinya kaki saya menginjak tanah Flores, Labuhan Bajo adalah tanah paling barat bagian dari Nusa Tenggara Timur. Setelah semalam mengarungi laut perbatasan antara Nusa Tenggara Barat dengan Nusa Tenggara Timur dari pelabuhan Sape menuju pelabuhan Labuhan Bajo. Di sambut oleh tanah pulau Komodo, satwa langka peninggalan jaman purba. Di Labuhan Bajo saya bukan untuk menengok hewan purba itu namun untuk sekedar memasuki gerbang tanah Flores. Selama di Labuhan Bajo saya bersama teman saya Endang Purwanto mengunjungi Goa batu cermin, Bukit Cinta dan Puncak Waringin. Tak banyak waktu kami untuk singgah berlama- lama di Labuhan Bajo, sebenarnya pesona yang utama adalah Pulau Komodo dan sekitarnya.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

 

Sunrise Labuhan Bajo

Bulan Memerah pantulan sinar matahari

Kedatangan kami di Labuhan Bajo masih sangat pagi yaitu pukul 07:00 dan saya sendiri masih sempat di sambut matahari terbit dari Nusantara Timur ini. Cukup panjang waktu kami untuk menjelajah tanah Labuhan Bajo karena kami dapat start perjalanan dari pagi hari. Seusai sarapan pagi dan bersih badan kami langsung menuju tujuan pertama yaitu Goa Cermin.

Selamat Datang di Goa Cermin

Goa Cermin, Sebuah Goa yang terbentuk karena naiknya dasar laut yang berupa karang ke permukaan bumi. Sebagian besar tatanan Goa adalah terdiri dari batu karang dasar laut dan sedikit tanah yang melapisi lantainya. Banyak di temukan artefak pada dinding Goa berupa bentuk ikan, penyu, dan hewan laut lainnya. Lalu kenapa dinamakan Goa Cermin? bukan Goa Karang? nah jawabannya adalah karena ketika musim hujan pada salah satu ruang Goa akan tergenang air dan air itulah yang menimbulkan pantulan Goa bagian atas dan Bawah. Namun sesungguhnya pesona keindahan yang sesungguhnya bukan hanya cermin itu namun ketika terdapat cermin Air dan disaat matahari melewati sela- sela bebatuan karang terbentuklah pemandangan yang begitu indah. Selain pemandangan di dalam Goa ada juga keindahan yang dapat kita lihat dari atas atap Goa. Hamparan bukit gundul berambut tipis berwarna hijau kekuningan, kemudian di sela- selanya terdapat teluk kecil yang menambah kesempurnaan indahnya panorama Labuhan Bajo.

Lorong bambu menuju Goa

Gazebo

Dinding Dinding Goa

Memasuki Mulut Goa

Di dalam Ruangan Goa

Naik Ke Atas Atap Goa

View dari atas Atap Goa

Berdasarkan blog yang saya baca bahwa Labuhan Bajo mempunyai bukit yang bisa menikmati keindahan Labuhan Bajo dari atas. Bukit Cinta, sebuah bukit yang terkenal bahkan sampai ada sebuah novel yang menceritakan Bukit ini. Seorang teman saya Andina bilang kepada saya bahwa dia pernah membaca novel tentang seorang calon Dokter yang KKN di Labuhan Bajo dan sering mengunjungi Bukit Cinta. Bukit dengan sebatang Pohon menambah kecantikan Bukit ini. Bukit yang tak jauh dari Pelabuhan ini masih sangat alami dan belum tersentuh aroma wisata. Beberapa orang saja yang mau mengunjungi Bukit kecil ini. Laut dengan lekukan- lekukan teluknya terlihat begitu sempurna. Hembusan angin laut tercium dengan kuat diatas bukit. Panasnya terik matahari mampu di halau oleh sebatang pohon yang berdiri di bukit ini.

Bukit Cinta

Berteduh

Masih dalam ketinggian untuk melihat Pelabuhan, ya di Puncak Waringin. Puncak yang mempunyai pohon beringin dan di bawahnya di bangun cafe untuk bersantai pengunjungnya. Dari Puncak waringin saya dapat melihat aktifitas yang sedang terjadi di pelabuhan. Kapal terparkir di tepi pelabuhan. Para operator wisata pulau Komodo sibuk dengan urusan masing-masing. Dari jauh terlihat kapal- kapal pinisi yang sedang mendekat. Serta nelayan dengan perahu kecilnya pulang dari menangkap ikan. Konon kata warga setempat puncak waringin ini bagus ( romantis ) ketika malam hari karena kerlap- kerlip lampu resort di tepi pelabuhan menambah syahdu di keheningan malam.

Puncak Waringin

Puncak Waringin

Sungguh Ramah Orang Flores, Menginap Di Cunca Wulang

Desa yang di lalui jalur utama Labuhan Bajo – Ruteng, lokasinya masih dalam kawasan pegunungan dan termasuk tanah yang subur. Masuk dalam kabupaten Manggarai Barat kecamatan Mbeliling. Desa Cunca Wulang, desa yang pernah memberikan kesan sangat berharga bagi kami. Waktu itu masih dalam perjalanan dari Goa Batu Cermin menuju Ruteng. Kami tiba di desa yang mempunyai air terjun dan warga Mbeliling ini menyebutnya Cunca, Cunca Wulang mereka menamainya.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

Cunca Wulang terletak di desa Warsawe kecamatan Mbeliling kabupaten Manggari Barat. Selain Cunca Wulang masih ada Cunca yang lain yang mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin berkunjung. Pos/ loket masuk ke Cunca Wulang tak jauh dari jalan raya Labuhan Bajo- Ruteng, Setelah melewati loket di lanjutkan treking selama 1 jam. Berjalan santai sambil menikmati hawa sejuk serta rumah- rumah tradisional nan sederhana. Sebagian besar rumah warga terbuat dari papan kayu dan beratapkan seng, namun katanya dahulu kala rumah tradisional mereka masih beratapkan alang- alang atau ijuk setelah semakin maju dan berkembang sebagian besar bahkan semua warganya mengganti dengan seng. Beberapa warga desa bersantai menikmati asap rokok berserta segelas kopi hitam. Rumah- rumah yang di pisahkan oleh kebun kopi, kebun ubi dan juga kebun talas. Beberapa warga yang sedang duduk bersantai di teras menatapku dengan tatapan tegas, sangar dan galak. Ya itulah orang flores berwajah sangar namun hatinya sangat ramah dan baik. Ketika saya  lontarkan sapaan dan senyuman mereka membalas dengan senyuman yang begitu kontras dengan wajah mereka. Bahkan ada kalimat yang pernah saya dengar ” ketika mereka tersenyum maka hilang sudah wajah neraka mereka “.

Bagi kalian yang ingin berkunjung ke Flores tidak perlu khawatir apalagi cuma mendengar dan melihat di berita bahwa orang Flores ” sangat tidak bersahabat ” itu semua sangat berbalik ketika saya sudah merasakan langsung disana. Orang Flores sesungguhnya memang sudah baik, terlebih dengan orang yang baru mereka kenal/ pendatang baru mereka dua kalilipat baiknya dari baiknya kita sebagai pendatang. Hidup sederhana dan menyatu dengan alam lah yang sepertinya banyak mengajarkan kepada mereka bagaimana hidup menjadi orang baik. Hidup mereka sangat simpel dan sederhana, mereka percaya bahwa ” saya berbuat baik 1 hal, maka orang lain akan membalas kebaikan 2 atau lebih kepada saya “. Begitupula dengan berbuat jahat, maka karena itulah mereka tidak mau berbuat jahat ( berusaha dengan sangat menjauhi perbuatan jahat ). Dari beberapa hal yang saya tangkap tentang orang- orang Flores ini bahwa dalam pikiran dan hati mereka tidak ada kata “serakah”.

sungai wulang

Mas Heri guide kami menuju Cunca Wulang orang asli Flores dengan jiwa petualang yang sangat besar. Dalam perjalanan sembari menikmati di kanan dan kiri mata saya melihat hutan dan sungai, hidung menghirup hawa segar khas hutan pegunungan, telinga mendengar kicau burung. Saya juga mendengar banyak cerita petualangan mas Heri. Mas Heri ini bisa di bilang sudah keliling Indonesia. Kalimantan, Surabaya, Sulawesi, Bima malahan sudah ke Malaysia pernah mas Heri singgahi. Perjalanan kami isi dengan bercerita dan bercanda sehingga jauhnya treking menyusuri sungai tak terasa lagi. Kami tiba di kolam renang dan lelompatan Cunca. ” Banyak bule yang suka melompat dan berenang di sini ” tutur mas heri. Sayangnya kami tidak mandi saat itu karena suasana sudah sore dan memang airnya dingin. Sekedar berfoto dan menikmati suara aliran air dan kicau burung. Sampah daun- daun begitu tertata dengan sendiri membuat suasana begitu alami. Belum banyak kami temukan sampah bungkus makanan begitu juga air sungai yang masih bening kehijauan. Pohon- pohon tumbuh subur dan menghijau ikut mewarnai memberikan pantulan di air sungai menjadi hijau.

 

cunca wulang

Saya sedang Menikmati Alam Cunca Wulang

Cunca Wulang adalah Air Terjun yang terletak di belahan batuan besar dan di bawahnya mengalir air sungai. Sungai yang di apit oleh tebing batuan raksasa dan di atasnya terjun lah sekelompok air. Sungguh keindahan alam yang Allah ciptakan begitu istimewa. Hutan yang hijau serta lebat, debit air tidak terlalu besar serta jernihnya air sungai seolah menjadi penyempurna keindahan Cunca Wulang. Tak akan bosan jika berlama- lama di Cunca ini karena keindahan alamnya, belum lagi di iringi merdunya kicau burung.

Senja terasa menjemput maka kamipun bersiap kembali menuju loket. Dalam perjalanan mas heri menawarkan kepada kami untuk menginap karena hari sudah gelap. Ekstrimnya jalur menuju Ruteng membuat mas Heri tidak tega membiarkan kami riding malam hari. Akhirnya kami terima tawaran baik mas Heri untuk menginap di Desa Warsawe semalam. Tak jauh dari loket kami tiba di rumah kakak Wens, sodara Mas Heri. Rumah sederhana terbuat dari papan kayu buat saya begitu istimewa. Memasuki rumah di dalam terdapat meja kayu dan kursi plastik serta di atas pintu tengah terdapat salib bunda maria terbuat dari kayu. Sedangkan di sebelah kiri pintu tengah diletakkan patung bunda Maria. Warga desa Warsawe beragama Katolik dan Islam dan mereka pun hidup damai berdampingan.

Tak lama saya duduk keluarlah mama kakak Wens dari ruang keluarga. Kami berkenalan dan kemudian ngobrol dengan akrabnya. Suguhan kopi hitam asli Flores di tumbuk sendiri oleh mama kakak Wens menghangatkan suasana. Banyak cerita dari mereka tentang pesatnya pembangunan wisata desa Warsawe ini. Kami juga bertukar pendapat, apa yang saya tau dan bagaimana bagusnya untuk desa Warsawe saya sampaikan ke mereka. Mama kakak Wens, biasa di panggil Ite sangat senang bila ada pendatang yang menginap, katanya saya sangat mirip dengan mahasiswa dari UGM ketika sedang KKN dan menginap di rumah Ite. Tidak hanya Alam Flores yang baik dan ramah kepada kami, namun Warganya pun begitu baik dan ramah.

 

 

Pagi hari sebelum berpisah dengan desa Warsawe, Kaka Wens dan Mama, kami mendapat pesan dari Mama Ite, ” suatu hari nanti datanglah kembali ke desa kami warsawe ini nak “. Kemudian perpisahan kami tutup dengan Foto bersama.

Foto Bareng, dari kiri pak Ahmad, kakak wens dan anaknya, Mama/ Ite, Ndank, kaka lupa namanya

Foto Bareng, dari kiri pak Ahmad, kakak wens dan anaknya, Mama/ Ite, Ndank, kaka lupa namanya

 

Sungguh Ramah Orang Flores, Menginap Di Cunca Wulang

Desa yang di lalui jalur utama Labuhan Bajo – Ruteng, lokasinya masih dalam kawasan pegunungan dan termasuk tanah yang subur. Masuk dalam kabupaten Manggarai Barat kecamatan Mbeliling. Desa Cunca Wulang, desa yang pernah memberikan kesan sangat berharga bagi kami. Waktu itu masih dalam perjalanan dari Goa Batu Cermin menuju Ruteng. Kami tiba di desa yang mempunyai air terjun dan warga Mbeliling ini menyebutnya Cunca, Cunca Wulang mereka menamainya.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

Cunca Wulang terletak di desa Warsawe kecamatan Mbeliling kabupaten Manggari Barat. Selain Cunca Wulang masih ada Cunca yang lain yang mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin berkunjung. Pos/ loket masuk ke Cunca Wulang tak jauh dari jalan raya Labuhan Bajo- Ruteng, Setelah melewati loket di lanjutkan treking selama 1 jam. Berjalan santai sambil menikmati hawa sejuk serta rumah- rumah tradisional nan sederhana. Sebagian besar rumah warga terbuat dari papan kayu dan beratapkan seng, namun katanya dahulu kala rumah tradisional mereka masih beratapkan alang- alang atau ijuk setelah semakin maju dan berkembang sebagian besar bahkan semua warganya mengganti dengan seng. Beberapa warga desa bersantai menikmati asap rokok berserta segelas kopi hitam. Rumah- rumah yang di pisahkan oleh kebun kopi, kebun ubi dan juga kebun talas. Beberapa warga yang sedang duduk bersantai di teras menatapku dengan tatapan tegas, sangar dan galak. Ya itulah orang flores berwajah sangar namun hatinya sangat ramah dan baik. Ketika saya  lontarkan sapaan dan senyuman mereka membalas dengan senyuman yang begitu kontras dengan wajah mereka. Bahkan ada kalimat yang pernah saya dengar ” ketika mereka tersenyum maka hilang sudah wajah neraka mereka “.

Bagi kalian yang ingin berkunjung ke Flores tidak perlu khawatir apalagi cuma mendengar dan melihat di berita bahwa orang Flores ” sangat tidak bersahabat ” itu semua sangat berbalik ketika saya sudah merasakan langsung disana. Orang Flores sesungguhnya memang sudah baik, terlebih dengan orang yang baru mereka kenal/ pendatang baru mereka dua kalilipat baiknya dari baiknya kita sebagai pendatang. Hidup sederhana dan menyatu dengan alam lah yang sepertinya banyak mengajarkan kepada mereka bagaimana hidup menjadi orang baik. Hidup mereka sangat simpel dan sederhana, mereka percaya bahwa ” saya berbuat baik 1 hal, maka orang lain akan membalas kebaikan 2 atau lebih kepada saya “. Begitupula dengan berbuat jahat, maka karena itulah mereka tidak mau berbuat jahat ( berusaha dengan sangat menjauhi perbuatan jahat ). Dari beberapa hal yang saya tangkap tentang orang- orang Flores ini bahwa dalam pikiran dan hati mereka tidak ada kata “serakah”.

sungai wulang

Mas Heri guide kami menuju Cunca Wulang orang asli Flores dengan jiwa petualang yang sangat besar. Dalam perjalanan sembari menikmati di kanan dan kiri mata saya melihat hutan dan sungai, hidung menghirup hawa segar khas hutan pegunungan, telinga mendengar kicau burung. Saya juga mendengar banyak cerita petualangan mas Heri. Mas Heri ini bisa di bilang sudah keliling Indonesia. Kalimantan, Surabaya, Sulawesi, Bima malahan sudah ke Malaysia pernah mas Heri singgahi. Perjalanan kami isi dengan bercerita dan bercanda sehingga jauhnya treking menyusuri sungai tak terasa lagi. Kami tiba di kolam renang dan lelompatan Cunca. ” Banyak bule yang suka melompat dan berenang di sini ” tutur mas heri. Sayangnya kami tidak mandi saat itu karena suasana sudah sore dan memang airnya dingin. Sekedar berfoto dan menikmati suara aliran air dan kicau burung. Sampah daun- daun begitu tertata dengan sendiri membuat suasana begitu alami. Belum banyak kami temukan sampah bungkus makanan begitu juga air sungai yang masih bening kehijauan. Pohon- pohon tumbuh subur dan menghijau ikut mewarnai memberikan pantulan di air sungai menjadi hijau.

 

cunca wulang

Saya sedang Menikmati Alam Cunca Wulang

Cunca Wulang adalah Air Terjun yang terletak di belahan batuan besar dan di bawahnya mengalir air sungai. Sungai yang di apit oleh tebing batuan raksasa dan di atasnya terjun lah sekelompok air. Sungguh keindahan alam yang Allah ciptakan begitu istimewa. Hutan yang hijau serta lebat, debit air tidak terlalu besar serta jernihnya air sungai seolah menjadi penyempurna keindahan Cunca Wulang. Tak akan bosan jika berlama- lama di Cunca ini karena keindahan alamnya, belum lagi di iringi merdunya kicau burung.

Senja terasa menjemput maka kamipun bersiap kembali menuju loket. Dalam perjalanan mas heri menawarkan kepada kami untuk menginap karena hari sudah gelap. Ekstrimnya jalur menuju Ruteng membuat mas Heri tidak tega membiarkan kami riding malam hari. Akhirnya kami terima tawaran baik mas Heri untuk menginap di Desa Warsawe semalam. Tak jauh dari loket kami tiba di rumah kakak Wens, sodara Mas Heri. Rumah sederhana terbuat dari papan kayu buat saya begitu istimewa. Memasuki rumah di dalam terdapat meja kayu dan kursi plastik serta di atas pintu tengah terdapat salib bunda maria terbuat dari kayu. Sedangkan di sebelah kiri pintu tengah diletakkan patung bunda Maria. Warga desa Warsawe beragama Katolik dan Islam dan mereka pun hidup damai berdampingan.

Tak lama saya duduk keluarlah mama kakak Wens dari ruang keluarga. Kami berkenalan dan kemudian ngobrol dengan akrabnya. Suguhan kopi hitam asli Flores di tumbuk sendiri oleh mama kakak Wens menghangatkan suasana. Banyak cerita dari mereka tentang pesatnya pembangunan wisata desa Warsawe ini. Kami juga bertukar pendapat, apa yang saya tau dan bagaimana bagusnya untuk desa Warsawe saya sampaikan ke mereka. Mama kakak Wens, biasa di panggil Ite sangat senang bila ada pendatang yang menginap, katanya saya sangat mirip dengan mahasiswa dari UGM ketika sedang KKN dan menginap di rumah Ite. Tidak hanya Alam Flores yang baik dan ramah kepada kami, namun Warganya pun begitu baik dan ramah.

 

 

Pagi hari sebelum berpisah dengan desa Warsawe, Kaka Wens dan Mama, kami mendapat pesan dari Mama Ite, ” suatu hari nanti datanglah kembali ke desa kami warsawe ini nak “. Kemudian perpisahan kami tutup dengan Foto bersama.

Foto Bareng, dari kiri pak Ahmad, kakak wens dan anaknya, Mama/ Ite, Ndank, kaka lupa namanya

Foto Bareng, dari kiri pak Ahmad, kakak wens dan anaknya, Mama/ Ite, Ndank, kaka lupa namanya

 

Desa Adat Wae Rebo, Kearifan Lokal yang Terus Di Jaga

Masih di daerah Ruteng Flores NTT, masuk ke pelosok desa di bawah kaki gunung. 80km dari kota Ruteng 8km dari desa terkahir dan 2 jam di tempuh dengan kendaraan bermotor ( sepeda motor ) dan 2 jam treking jalan kaki. Jika dari Ruteng maka menujulah desa Todo, kemudian menuju desa Denge. Tiba di desa Denge motor kami parkir dan kemudian langsung saja treking menuju tujuan kami, ya Desa Adat Waerebo. Tanpa tau berapa jauh dan tanpa tau arah kemana yang harus kami tempuh. Terus saja melangkah mengikuti bekas jejak kaki dan jalan setapak. Tak terasa sudah setengah jam kami berjalan tibalah di sebuah sungai. Dengan air yang dingin dan jernih sungguh sangat menggoda untuk di minum. Jernihnya air di iringi kicau burung dan segarnya hawa pegunungan membuat sensasi minum air sungai ini tiada duanya. Setelah kerongkongan basah oleh air dingin pegunungan botol kosong yang kami bawa pun tak lupa untuk di isi sebagai bekal mendaki. Dari sungai masih terus mendaki dan treking jalan setapak hingga sekitar 1 jam lamanya kemudian terlihatlah dari tepian tebing sebuah pucuk rumah adat desa waerebo.

wae rebo

Di tepian tebing itu terdapat plang bertuliskan 1500 ( 1,5km ) jika kamu masih mempunyai banyak tenaga bisa dimanfaatkan untuk berlari atau berjalan cepat karena jalurnya yang cukup landai menurun. Tak jauh kemudian bertemu dengan gubuk/ gazebo yang mana dari gazebo tersebut terlihat semua rumah boru dari atas. Ambilah foto dan sesekali narsis berfoto dengan latar desa adat. Di gazebo ini juga di gunakan untuk memberikan isyarat dengan cara memukul kentongan agar warga desa waerebo tau akan kedatangan tamu. Sebelumnya kami juga tidak tau bahwa harus memukul kentongan, sampai akhirnya ada warga desa yang lewat dan memberi tahu bahwa ada tata cara sebelum memasuki desa adat. Selain tata cara di gazebo kami juga melalaikan tata cara yang lain yaitu harus dengan guide dari desa kombo ( desa kembaran waerebo ) dengan menemui dahulu bapak blasius.

wae rebo

IMG_2586

rumah boru

Setelah memukul kentongan kami pun masuk dan memulai upacara di rumah utama sebelum kami keliling sekitar desa. Upacara yang di maksud adalah permintaan izin oleh ketua adat kepada roh nenek moyang mereka agar para tamu di beri izin untuk melihat- lihat dan memotret. Desa waerebo desa kecil yang hanya terdiri dari 7 rumah boru dan terletak di atas pegunungan membuat aksesnya yang begitu sulit. Namun karena letaknya yang susah di jangkau membuat desa ini masih menjaga adat sejak nenek moyang mereka dahulu. Rumah boru yang di bangun mereka mampur bertahan hingga puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Ada 4 rumah Boru yang selesai di renovasi sehingga terlihat berbeda dan baru. Biaya untuk merenovasi rumah boru ternyata tidak sedikit, dengar dari teman bahwa ada bantuan dari PBB sebesar kurang lebih 400-500 juta rupiah untuk satu boru. Rumah yang sangat mewah dan mahal harganya, namun sepadan dengan umurnya yang mampu bertahan begitu lama.

IMG_2600

IMG_2615

IMG_2617

IMG_2623

sarapan bareng warga wae rebo

sarapan bareng warga wae rebo

Dapur untuk memasak rumah Boru

Dapur untuk memasak rumah Boru

Dapur Umum

Dapur Umum

Kegiatan warga Wae Rebo adalah berkebun dan tenaman utama adalah kopi. Jika dalam perjalanan treking menuju desa Waerebo ini maka kamu akan melewati hamparan kebun kopi dan mencium aroma wangi bunga biji kopi. Flores memang terkenal dengan kopinya yang sangat nikmat dan murni tanpa di campur bahan apapun. Tradisi yang beredar di Flores adalah semakin sedikit gula dalam kopi itu maka semakin nikmat kopinya.

IMG_2645

IMG_2750

Saya cuma beberapa jam di desa Adat Waerebo ini dan rasanya masih ingin tinggal lebih lama, mengenal lebih dalam warga desanya mencicipi bagaimana mengolah kopi secara tradisional waerebo dan mencoba memasak menggunakan tungku di dalam rumah Boru. Terbatasnya waktu membuat saya harus segera melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Setelah menuruni gunung melewati jalan setapak selama 1,5 jam tiba di desa Denge kami istirahat sebentar kemudian lanjut gas motor agar tidak terlalu malam di perjalanan. Dalam perjalanan pulang pun pemandangan yang si suguhkan desa Denge begitu megah dan magis. Dalam balutan kabut tipis di coret- coret oleh cahaya matahari serta di warnai oleh senja. Persawahan di lereng pegunungan berundak kemudian di ikutin pantai berbatu halus berombak besar dengan di depannya sebuah pulau.

Foto Bersama dengan teman baru dari Medan, Padang dan Flores

Foto Bersama dengan teman baru dari Medan, Padang dan Flores sebelum turun ke Ruteng

Persawahan Desa Denge

Persawahan Desa Denge

Laut Terlihat dari Desa Denge

Laut Terlihat dari Desa Denge

Pulau Eksotis Lupa namanya

Pulau Eksotis Lupa namanya

IMG_2884

Pantai Batu Telur Ruteng

Pantai Batu Telur Ruteng

 

Desa Adat Wae Rebo, Kearifan Lokal yang Terus Di Jaga

Masih di daerah Ruteng Flores NTT, masuk ke pelosok desa di bawah kaki gunung. 80km dari kota Ruteng 8km dari desa terkahir dan 2 jam di tempuh dengan kendaraan bermotor ( sepeda motor ) dan 2 jam treking jalan kaki. Jika dari Ruteng maka menujulah desa Todo, kemudian menuju desa Denge. Tiba di desa Denge motor kami parkir dan kemudian langsung saja treking menuju tujuan kami, ya Desa Adat Waerebo. Tanpa tau berapa jauh dan tanpa tau arah kemana yang harus kami tempuh. Terus saja melangkah mengikuti bekas jejak kaki dan jalan setapak. Tak terasa sudah setengah jam kami berjalan tibalah di sebuah sungai. Dengan air yang dingin dan jernih sungguh sangat menggoda untuk di minum. Jernihnya air di iringi kicau burung dan segarnya hawa pegunungan membuat sensasi minum air sungai ini tiada duanya. Setelah kerongkongan basah oleh air dingin pegunungan botol kosong yang kami bawa pun tak lupa untuk di isi sebagai bekal mendaki. Dari sungai masih terus mendaki dan treking jalan setapak hingga sekitar 1 jam lamanya kemudian terlihatlah dari tepian tebing sebuah pucuk rumah adat desa waerebo.

wae rebo

Di tepian tebing itu terdapat plang bertuliskan 1500 ( 1,5km ) jika kamu masih mempunyai banyak tenaga bisa dimanfaatkan untuk berlari atau berjalan cepat karena jalurnya yang cukup landai menurun. Tak jauh kemudian bertemu dengan gubuk/ gazebo yang mana dari gazebo tersebut terlihat semua rumah boru dari atas. Ambilah foto dan sesekali narsis berfoto dengan latar desa adat. Di gazebo ini juga di gunakan untuk memberikan isyarat dengan cara memukul kentongan agar warga desa waerebo tau akan kedatangan tamu. Sebelumnya kami juga tidak tau bahwa harus memukul kentongan, sampai akhirnya ada warga desa yang lewat dan memberi tahu bahwa ada tata cara sebelum memasuki desa adat. Selain tata cara di gazebo kami juga melalaikan tata cara yang lain yaitu harus dengan guide dari desa kombo ( desa kembaran waerebo ) dengan menemui dahulu bapak blasius.

wae rebo

IMG_2586

rumah boru

Setelah memukul kentongan kami pun masuk dan memulai upacara di rumah utama sebelum kami keliling sekitar desa. Upacara yang di maksud adalah permintaan izin oleh ketua adat kepada roh nenek moyang mereka agar para tamu di beri izin untuk melihat- lihat dan memotret. Desa waerebo desa kecil yang hanya terdiri dari 7 rumah boru dan terletak di atas pegunungan membuat aksesnya yang begitu sulit. Namun karena letaknya yang susah di jangkau membuat desa ini masih menjaga adat sejak nenek moyang mereka dahulu. Rumah boru yang di bangun mereka mampur bertahan hingga puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Ada 4 rumah Boru yang selesai di renovasi sehingga terlihat berbeda dan baru. Biaya untuk merenovasi rumah boru ternyata tidak sedikit, dengar dari teman bahwa ada bantuan dari PBB sebesar kurang lebih 400-500 juta rupiah untuk satu boru. Rumah yang sangat mewah dan mahal harganya, namun sepadan dengan umurnya yang mampu bertahan begitu lama.

IMG_2600

IMG_2615

IMG_2617

IMG_2623

sarapan bareng warga wae rebo

sarapan bareng warga wae rebo

Dapur untuk memasak rumah Boru

Dapur untuk memasak rumah Boru

Dapur Umum

Dapur Umum

Kegiatan warga Wae Rebo adalah berkebun dan tenaman utama adalah kopi. Jika dalam perjalanan treking menuju desa Waerebo ini maka kamu akan melewati hamparan kebun kopi dan mencium aroma wangi bunga biji kopi. Flores memang terkenal dengan kopinya yang sangat nikmat dan murni tanpa di campur bahan apapun. Tradisi yang beredar di Flores adalah semakin sedikit gula dalam kopi itu maka semakin nikmat kopinya.

IMG_2645

IMG_2750

Saya cuma beberapa jam di desa Adat Waerebo ini dan rasanya masih ingin tinggal lebih lama, mengenal lebih dalam warga desanya mencicipi bagaimana mengolah kopi secara tradisional waerebo dan mencoba memasak menggunakan tungku di dalam rumah Boru. Terbatasnya waktu membuat saya harus segera melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Setelah menuruni gunung melewati jalan setapak selama 1,5 jam tiba di desa Denge kami istirahat sebentar kemudian lanjut gas motor agar tidak terlalu malam di perjalanan. Dalam perjalanan pulang pun pemandangan yang si suguhkan desa Denge begitu megah dan magis. Dalam balutan kabut tipis di coret- coret oleh cahaya matahari serta di warnai oleh senja. Persawahan di lereng pegunungan berundak kemudian di ikutin pantai berbatu halus berombak besar dengan di depannya sebuah pulau.

Foto Bersama dengan teman baru dari Medan, Padang dan Flores

Foto Bersama dengan teman baru dari Medan, Padang dan Flores sebelum turun ke Ruteng

Persawahan Desa Denge

Persawahan Desa Denge

Laut Terlihat dari Desa Denge

Laut Terlihat dari Desa Denge

Pulau Eksotis Lupa namanya

Pulau Eksotis Lupa namanya

IMG_2884

Pantai Batu Telur Ruteng

Pantai Batu Telur Ruteng