Jumat, 12 September 2014

Tanjung Darat, Secuil Surga Maumere

10629807_869565053055840_2767087291884667199_n

Kalau ngomongin NTT memang tak ada habisnya mengupas keelokan alamnya. Salah satunya Maumere yang memiliki beberapa destinasi alam yang menawan bak perawan belum dandan. Di Maumere ini selain pantai KOKA ada juga Tanjung darat yang dari sana bisa menyebrang ke Pulau Pangabatan dan Pulau Babi. Karena letaknya di ujung semenangjung orang Maumere menyebutnya Tanjung Darat. Memasuki gang kecil kemudian menyusuri perkampungan serta jalan tanah bercampur pasir. Kedatangan saya bersama Ndank pun ketika terik matahari sedang di titik maksimum ya saat itu pukul 12:00. Langit cerah bersih biru mencorong dan di hiasi beberapa gumpalan awan putih di bawahnya berdiri kokoh bukit bukit di pinggiran pantai. Pantai yang masih bersih dan terjaga ini di manfaatkan dengan maksimal oleh warga sekitar yang sebagian besar adalah suku Bajo dan Bugis untuk mencari ikan. Laut yang bersih dan sehat pastinya akan banyak terumbu karang dan ikan yang tumbuh dengan sehat pula. Warga sekitar memang masih jauh dari modernitas sehingga beberapa sampah yang sempat saya lihatpun sebagian besar adalah sampah tempurung kelapa, potongan kayu, daun- daun serta masih sedikit sekali bungkus plastik sampo ataupun deterjen di sekitar rumah warga.

Seusai dzuhur pun saya dan ndank sudah sepakat menerima tawaran bang ACO yang akan mengantar kami dengan perahu fiber nya ke pulau Pangabatan. Dengan perahu kecil hanya muat 3 orang saya pikir akan aman aman saja karena dalam pandangan saya arus laut saat itu sedang tenang. Perlahan menyusuri tepian semenanjung dan mulai meninggalkan daratan semakin terasa besar gelombang ombaknya sempat cemas juga bagaimana jika sampai terbalik. Rupanya arus yang cukup besar untuk membalikkan perahu kami adalah arus pertemuan dan terlihat seperti ada gulungan ombak di bawah permukaan air laut. Tiba di Pulau Pangabatan awalnya saya kira ada spot snorkling namun ternyata tak ada terumbu karang sama sekali, hanya ada beberapa spot “suket laut” kalau di sebut rumput laut bukan namun bentuknya seperti rumput. Pulau Pangabatan ini sebenarnya biasa saja dan hanya mempunyai kelebihan berupa sebuah pasir timbul atau pulau gosong. Pulau yang memiliki pasir putih ini juga pasirnya sama saja dengan pantai berpasir putih lainnya. Sejauh mata memandang yang membedakan indahnya Pulau gosong Pangabatan ini adalah bersihnya dan beningnya air laut, keduanya terpadu sempurna dan memberikan nilai plus.

10356317_883122271700118_8103129376323383727_n 10644877_874274095918269_8840141201043361523_n

10626677_868048539874158_9042710819061050297_n 10624984_872553079423704_2814918812107256666_n 1779877_883226078356404_3574190211629885364_n

Selesai dengan bermain pasir di tengah pulau Gosong kami bertolak meninggalkan Pangabatan dan bebersih serta ganti pakaian di Tanjung Darat. Sebuah sumur umum yang di pakai oleh seluruh warga secara bergantian yang meskipun airnya payau namun tidak mengurangi segarnya ketika saya guyurkan ke seluruh tubuh saya. Di sebelahnya terdapat WC dan Kamar Mandi yang saya manfaatkan untuk ganti baju bersih dan kering. Selesai mandi dan sedang menunggu masakan makan siang oleh bang Aco saya dan Ndank beberes perabotan di mushola dan di situlah banyak anak kecil yang seakan asing dan heran melihat kami berdua. Adek adek lucu penuh keceriaan namun begitu ada lensa mengarah ke wajahnya mereka langsung lari meninggalkan kami. Tak sampai di situ saja, bahkan ketika saya sedang makan Kamera saya biarkan merekam Timelapse di depan rumah bang Aco adek adek kecil mengerumuninya dan tertawa terbahak- bahak melihat foto yang tertangkap di depannya. Silih berganti mereka berpose di depan kamera dan melihat hasilnya dan kemudian tertawa lagi, namun anehnya ketika saya datangi dan arahkan kamera saya ke wajah mereka langsung kabur bahkan ada salah satu yang menangis. Lucu namun haru juga tentunya bagi saya pribadi, keceriaan mereka belum di rusak oleh alat alat modern dan canggih. Permainan yang menghibur mereka masih sebatas membuat kapal- kapalan dari “sepet kambil”  kemudian bermain pecle serta bermain bola layaknya pemain Tim Nas Indonesia.

11694752_1052453394767004_3457077242811760755_n 11057728_1052453358100341_7156156965457531906_n 10710636_882996715046007_3508928834302122894_n 10649693_882918871720458_1025215307404418199_n 10626865_869914176354261_950548649908410569_n 10626532_869981933014152_5225080293139874971_n 1610976_1052453588100318_6730643449432989445_n 1458413_858669310812081_1396696707100059167_n

Kamis, 11 September 2014

Cunca Rami dan Danau Sanonggoang, Manggarai

10257_1134440926568250_2246193723906647583_n

Sudah baca cerita tentang Cunca Wulang? kalau sudah cerita ini adalah sesungguhnya lanjutan dari Cunca Wulang. Air terjun cunca Rami tidaklah jauh dari cunca Wulang dan Jalur utama Labuhan Bajo- Ruteng. Menyusuri jalanan khas pegunungan menuju pelosok desa yang teritorinya masih masuk Manggarai. Air terjun ini mengalir dari tebing batu besar, letaknya di persawahan warga dan hutan desa. Air bening dan dingin ini mengalir kecil jatuh dari atas tebing ke sebuah kolam di bawahnya. Terik matahari yang begitu menyengat tak sabar saya dan Ndank akhirnya terjun juga ke kolam dan menikmati seru nya bermain air serta lelompatan berfoto ria. Rasa- rasanya sih panas karena sengatan matahari namun begitu nyemplung berrrr dingin sekali airnya, sampai ada seorang bule yang hanya main di pinggiran kolam saya ajak nyemplung tidak mau karena dingin katanya. Di tengah asiknya menikmati sejuk air dan hijaunya pemandangan sekitar saya dan Ndank teringat bahwa harus segera pindah lokasi ke Danau Sanonggoang. Kembali treking menuju desa sebelum lanjut gas menuju Danau. Di rumah terdekat dari air terjun dan tempat kami parkir kendaraan ini juga kami menumpang ganti celana yang basah. Sebelum lanjut melihat ada beberapa gelundung kelapa hijau muda saya pun tergoda dan meminta bapak yang jual untuk mengupas 2 buah untuk saya dan Ndank. Ada juga 3 anak SD yang sepertinya asing melihat kami berdua, saya tawari kelapa muda yang sudah di belah dan kemudian kami makan bersama. Awalnya anak- anak ini malu ketika kami ajak foto bersama namun setelahnya mereka kegirangan melihat hasilnya. Sungguh salah satu kebahagiaan saya melihat mereka begitu senang dan ramah kepada pendatang seperti kami.

1456627_1134066203272389_6824924861178199883_n 1915445_1134272713251738_1271886404591527432_n

Karena sudah sampai di Cunca Rami maka tak lengkap jika tidak sekalian mampir ke Danau Sanonggoang.  Letaknya yang tidak begitu jauh dan jalan pun tergolong cukup bagus bisa di lewati motor ataupun mobil. sekitar 45 menit perjalanan santai dari cunca Rami kami akhirnya tiba di danau terbesar se Nusa Tenggara Timur ini. Danau Sanonggoang merupakan danau dengan kandungan belerang yang cukup tinggi sehingga tidak bisa memanfaatkan airnya untuk kebutuhan memasak sehari- hari. Terik matahari yang begitu panas angin sepoi- sepoi saya dan Ndank berteduh di sebuah Gazebo menikmati danau sembari memasak mie instan untuk sekedar mengganjal perut yang telah lapar. Tak disangka datanglah segerombolan anak kecil serta remaja sambil membawa parang mendatangi kami berdua. Khas orang- orang Flores jikalau bepergian ke kebun selalu tak lupa membawa parang. Sambil menunggu mie yang saya masak kami pun saling berkenalan dan ngobrol sedikit tentang danau juga tentang Flores. Setelah mie sudah matang kami pun makan berame- rame dan setelah selesai makan salah satu dari anak- anak ini ada yang mengambilkan kelapa muda di kebun milik ayah nya. Acara makan- makan pun di tutup dengan minum kelapa muda bersama dan foto bareng. Terlihat dari bola mata mereka bahwa mereka sangat senang dengan pendatang. Mereka juga mudah sekali akrab dengan kami, ya memang sebagian besar orang Flores itu sangat ramah.

10398410_1134504176561925_699477926962679743_n

11694848_1052451274767216_2488737418989954078_n

Taman Renungan, Bung Karno dan Danau Kelimutu ENDE

10609444_882854991726846_4145512898455178268_n

Beberapa jam kami menempuh perjalanan dari Riung menuju Ende melewati Mbay, Nagekeo dan Aigela. Ketika sudah melewati gerbang selamat datang di Kabupaten Ende maka sudah tak jauh sebuah pantai berbatu biru telur bebek telah menanti kedatangan kami untuk singgah sebentar menikmatinya. Sekitar 15-17 km dari perbatasan Aigela – Ende pantai Blue Stone ini terletak. Sepanjang jalan sebelum tiba dipantai sudah berjajar tumpukan batu berwarna biru kehijauan. Batu bulat mulus halus berwarna biru kehijauan benar- benar seperti telur bebek bahkan ukurannya pun juga seukuran telur bebek. Bisa saja batu ini sudah berwarna biru dari dalam tanah kemudian tergerus air laut terus menerus dalam waktu yang sangat lama sehingga permukaanya menjadi sangat halus dan bulat. Konon batu ini yang seringkali di ekspor ke Surabaya Jawa Timur dan kemudian dari Surabaya di ekspor ke daerah lain seperti Jakarta, Solo, dan Semarang. Kami ( saya dan Ndank ) mampir sebentar saja sekedar mengambil foto secukupnya karena cuaca juga sedang mendung. Foto dokumentasi secukupnya setidaknya sudah menggambarkan bagaimana keadaan di Blue Stone Beach dan kami meninggalkan pantai.

11781713_1052452191433791_723040138121874539_n

Tak jauh dari pantai 15 menit kami tiba di pusat kota Ende, langsung mencari makan siang karena perut sudah lapar. Selesai makan siang barulah kami melanjutkan eksplore kota Ende. Kami gak tau mau kemana karena memang belum ada bayangan kecuali rumah pengasingan bung Karno dan danau Kelimutu. Yasudah kami pun menyambangi rumah Pengasingan Bung Karno lebih dulu namun ternyata gerbang di kunci dan kami tak bisa masuk hanya bisa foto dari luar. Kemudian nganterin Ndank mencari sehati ArtShop mencari oleh- oleh tradisional. Dalam perjalanan mencari Sehati ArtShop saya melihat sekumpulan motor CB di sebuah Bengkel, dan beberapa detik kemudian suara teriakan ” woii masbro ” dan saya pun tak kuasa menolak untuk menoleh. Dan kami pun berhasil di stop untuk melanjutkan perjalanan mampir dulu sebentar di bengkel kak Syam ngobrol- ngobrol tentang wisata dan motor. Tak lama kemudian datang abah Andi keluarga CB Ende juga dan disusul kakak Syam beres- beres merapikan peralatan dan kemudian menutup bengkelnya. Saya dan Ndank mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno ( lagi ) dan kali ini gerbang di bukain oleh temen abah Andi setelah di panggil untuk membuka kan. Kami di kawal oleh abah Andi, kak Syam dan bang Alqin. Di Rumah pengasingan kami melihat lihat ke dalam dan beberapa kali mengambil foto. Dan… jauh jauh dari Bandung ( Ndank) ke NTT kami berdua bertemu dengan rombongan mahasiswa STT Telkom ( kini menjadi UNTEL ) mereka sedang menikmati masa libur semester dengan jalan- jalan ke Labuhan Bajo dan Ende. Dari Rumah Pengasingan Bung Karno kami melanjutkan ke Taman Renungan. Taman yang dulu pernah di gunakan bung Karno merenung memikirkan bangsa ketika sedang bimbang. Di taman ini di bangun Patung Bung Karno sedang merenung dan di bawahnya terdapat sebuah kolam. Sebagai gantinya Sehati ArtShop kami diantar ke Vanny ArtShop toh oleh- oleh yang di jual juga sama saja. Saya sendiri cuma membeli gelang dari cangkang Penyu dan gelang Akar Bahar. Sedangkan Ndank karena banyak titipan dia membeli kain khas Ende kemudian gelang juga. Selesai membeli cinderamata khas Ende saya dan Ndank diantarkan kakak Syam ke jalur menuju Danau Kelimutu. Terima kasih banyak keluarga CB Ende kak Syam, Abah Andi, dan bang Alqin.

10430827_1052452568100420_2271558838540601717_n 11695809_1052452398100437_8804855098457885323_n

11755876_1052452734767070_8573511640475768753_n 993855_1136256039720072_1516726611090663250_n 11707621_1052452581433752_4240108253182883129_n

Seperti malam- malam sebelumnya bahwa bisa di pastikan jalur menuju Danau Kelimutu gelap gulita khas jalur Flores karena masih minim penerangan jalan. Jalur khas pegunungan mulai terasa setelah saya dan Ndank berkendara beberapa belas menit. Jalur menyempit berkelok naik turun di sebelah kiri tebing yang telah banyak bekas longsor dan di sebelah kanan jurang yang dalam siap menanti pengendara yang tidak hati hati. Dengan laju yang sangat pelan dan hati- hati karena di beberapa titik terdapat longsoran tebing dan sedang ada perbaikan jalan. Malam itu sungguh lengkap suguhan bagi kami berdua, longsoran tebing, gelap gulita, gerimis, jurang di sebelah kanan, dan beberapa aspal rusak parah.

 

Tiba di pos penjagaan Kelimutu dalam keadaan basah karena sepanjang perjalanan dari Moni hingga Pos kami di iringi gerimis meringis menahan dingin. Awalnya kami langsung to the point ingin menumpang istirahat menginap semalam sebelum esok paginya ke Danau. Namun niatan kami di tolak begitu saja dan petugas kembali masuk ke dalam ruangan. Namun entah apa yang merubah pikiran kaka petugas itu kemudian setelah beberapa saat keluar lagi dan memberikan ijin kepada kami berdua untuk menginap semalam. Mimpi apa ya malam ini dapat tumpangan di rumah jaga yang bagus serta ada kasur busa yang tebal serta empuk, Alhamdulillah rejeki pejalan tidak kemana. Diatas busa tebal dan di bungkus sleeping bag tebal udara yang dingin pun tak terasa lagi. Handphone berdering tanda alarm menunjukkan pukul 05:00 waktunya bangun dan shalat subuh. Keluar dari kamar gerimis sisa semalam masih enggan pergi kabut pun setia menemani sang gerimis. Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 dan kami pun baru naik menuju parkir kendaraan sebelum treking menuju kawah danau Kelimutu. Sepanjang treking perjalanan kami di selimuti kabut terus menerus hingga tiba di Puncak/ Kawah. Sudah satu jam lebih kami menunggu  di atas hingga tak ada lagi orang lain. Info dari rombongan yang kami temui di Rumah Pengasingan Bung Karno bahwa sedari subuh matahari tertutup kabut dan mereka belum berkesempatan melihat kawah/ Danau. Hampir putus asa dan balik kanan saja turun dan melanjutkan perjalanan selanjutnya, ketika kaki sudah mulai melangkah turun terdengar sayup kata seorang ibu penjual ” sabar lah dulu nak ” dan benar ketika saya tahan keinginan saya kabut pun mulai perlahan terbuka dan kelihatan sediki demi sedikit kawah/ danaunya. Semua ini serasa karunia yang sangat besar dari Allah kepada kami meskipun hanya beberapa belas menit kami bisa menikmati indahnya kawah Danau Kelimutu. Pemberian yang sangat spesial setelah perjuangan dari Boyolali melintasi laut pegunungan hutan hujan panas angin dan bahkan ombak di lautan. Suatu saat saya ingin sekali kembali ke Danau Kelimutu dan semoga mendapat keberuntungan dapat melihat sunrise serta kawah tanpa di selimuti kabut.

10906175_1052453324767011_7376829706111059342_n

Danau Kelimutu

11201840_1052453261433684_1300571198145395650_n

Danau kelimutu

11754234_1052453208100356_2733378948012431454_n 11036957_1052452738100403_6474973627543226329_n

Taman Renungan, Bung Karno dan Danau Kelimutu ENDE

10609444_882854991726846_4145512898455178268_n

Beberapa jam kami menempuh perjalanan dari Riung menuju Ende melewati Mbay, Nagekeo dan Aigela. Ketika sudah melewati gerbang selamat datang di Kabupaten Ende maka sudah tak jauh sebuah pantai berbatu biru telur bebek telah menanti kedatangan kami untuk singgah sebentar menikmatinya. Sekitar 15-17 km dari perbatasan Aigela – Ende pantai Blue Stone ini terletak. Sepanjang jalan sebelum tiba dipantai sudah berjajar tumpukan batu berwarna biru kehijauan. Batu bulat mulus halus berwarna biru kehijauan benar- benar seperti telur bebek bahkan ukurannya pun juga seukuran telur bebek. Bisa saja batu ini sudah berwarna biru dari dalam tanah kemudian tergerus air laut terus menerus dalam waktu yang sangat lama sehingga permukaanya menjadi sangat halus dan bulat. Konon batu ini yang seringkali di ekspor ke Surabaya Jawa Timur dan kemudian dari Surabaya di ekspor ke daerah lain seperti Jakarta, Solo, dan Semarang. Kami ( saya dan Ndank ) mampir sebentar saja sekedar mengambil foto secukupnya karena cuaca juga sedang mendung. Foto dokumentasi secukupnya setidaknya sudah menggambarkan bagaimana keadaan di Blue Stone Beach dan kami meninggalkan pantai.

11781713_1052452191433791_723040138121874539_n

Tak jauh dari pantai 15 menit kami tiba di pusat kota Ende, langsung mencari makan siang karena perut sudah lapar. Selesai makan siang barulah kami melanjutkan eksplore kota Ende. Kami gak tau mau kemana karena memang belum ada bayangan kecuali rumah pengasingan bung Karno dan danau Kelimutu. Yasudah kami pun menyambangi rumah Pengasingan Bung Karno lebih dulu namun ternyata gerbang di kunci dan kami tak bisa masuk hanya bisa foto dari luar. Kemudian nganterin Ndank mencari sehati ArtShop mencari oleh- oleh tradisional. Dalam perjalanan mencari Sehati ArtShop saya melihat sekumpulan motor CB di sebuah Bengkel, dan beberapa detik kemudian suara teriakan ” woii masbro ” dan saya pun tak kuasa menolak untuk menoleh. Dan kami pun berhasil di stop untuk melanjutkan perjalanan mampir dulu sebentar di bengkel kak Syam ngobrol- ngobrol tentang wisata dan motor. Tak lama kemudian datang abah Andi keluarga CB Ende juga dan disusul kakak Syam beres- beres merapikan peralatan dan kemudian menutup bengkelnya. Saya dan Ndank mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno ( lagi ) dan kali ini gerbang di bukain oleh temen abah Andi setelah di panggil untuk membuka kan. Kami di kawal oleh abah Andi, kak Syam dan bang Alqin. Di Rumah pengasingan kami melihat lihat ke dalam dan beberapa kali mengambil foto. Dan… jauh jauh dari Bandung ( Ndank) ke NTT kami berdua bertemu dengan rombongan mahasiswa STT Telkom ( kini menjadi UNTEL ) mereka sedang menikmati masa libur semester dengan jalan- jalan ke Labuhan Bajo dan Ende. Dari Rumah Pengasingan Bung Karno kami melanjutkan ke Taman Renungan. Taman yang dulu pernah di gunakan bung Karno merenung memikirkan bangsa ketika sedang bimbang. Di taman ini di bangun Patung Bung Karno sedang merenung dan di bawahnya terdapat sebuah kolam. Sebagai gantinya Sehati ArtShop kami diantar ke Vanny ArtShop toh oleh- oleh yang di jual juga sama saja. Saya sendiri cuma membeli gelang dari cangkang Penyu dan gelang Akar Bahar. Sedangkan Ndank karena banyak titipan dia membeli kain khas Ende kemudian gelang juga. Selesai membeli cinderamata khas Ende saya dan Ndank diantarkan kakak Syam ke jalur menuju Danau Kelimutu. Terima kasih banyak keluarga CB Ende kak Syam, Abah Andi, dan bang Alqin.

10430827_1052452568100420_2271558838540601717_n 11695809_1052452398100437_8804855098457885323_n

11755876_1052452734767070_8573511640475768753_n 993855_1136256039720072_1516726611090663250_n 11707621_1052452581433752_4240108253182883129_n

Seperti malam- malam sebelumnya bahwa bisa di pastikan jalur menuju Danau Kelimutu gelap gulita khas jalur Flores karena masih minim penerangan jalan. Jalur khas pegunungan mulai terasa setelah saya dan Ndank berkendara beberapa belas menit. Jalur menyempit berkelok naik turun di sebelah kiri tebing yang telah banyak bekas longsor dan di sebelah kanan jurang yang dalam siap menanti pengendara yang tidak hati hati. Dengan laju yang sangat pelan dan hati- hati karena di beberapa titik terdapat longsoran tebing dan sedang ada perbaikan jalan. Malam itu sungguh lengkap suguhan bagi kami berdua, longsoran tebing, gelap gulita, gerimis, jurang di sebelah kanan, dan beberapa aspal rusak parah.

 

Tiba di pos penjagaan Kelimutu dalam keadaan basah karena sepanjang perjalanan dari Moni hingga Pos kami di iringi gerimis meringis menahan dingin. Awalnya kami langsung to the point ingin menumpang istirahat menginap semalam sebelum esok paginya ke Danau. Namun niatan kami di tolak begitu saja dan petugas kembali masuk ke dalam ruangan. Namun entah apa yang merubah pikiran kaka petugas itu kemudian setelah beberapa saat keluar lagi dan memberikan ijin kepada kami berdua untuk menginap semalam. Mimpi apa ya malam ini dapat tumpangan di rumah jaga yang bagus serta ada kasur busa yang tebal serta empuk, Alhamdulillah rejeki pejalan tidak kemana. Diatas busa tebal dan di bungkus sleeping bag tebal udara yang dingin pun tak terasa lagi. Handphone berdering tanda alarm menunjukkan pukul 05:00 waktunya bangun dan shalat subuh. Keluar dari kamar gerimis sisa semalam masih enggan pergi kabut pun setia menemani sang gerimis. Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 dan kami pun baru naik menuju parkir kendaraan sebelum treking menuju kawah danau Kelimutu. Sepanjang treking perjalanan kami di selimuti kabut terus menerus hingga tiba di Puncak/ Kawah. Sudah satu jam lebih kami menunggu  di atas hingga tak ada lagi orang lain. Info dari rombongan yang kami temui di Rumah Pengasingan Bung Karno bahwa sedari subuh matahari tertutup kabut dan mereka belum berkesempatan melihat kawah/ Danau. Hampir putus asa dan balik kanan saja turun dan melanjutkan perjalanan selanjutnya, ketika kaki sudah mulai melangkah turun terdengar sayup kata seorang ibu penjual ” sabar lah dulu nak ” dan benar ketika saya tahan keinginan saya kabut pun mulai perlahan terbuka dan kelihatan sediki demi sedikit kawah/ danaunya. Semua ini serasa karunia yang sangat besar dari Allah kepada kami meskipun hanya beberapa belas menit kami bisa menikmati indahnya kawah Danau Kelimutu. Pemberian yang sangat spesial setelah perjuangan dari Boyolali melintasi laut pegunungan hutan hujan panas angin dan bahkan ombak di lautan. Suatu saat saya ingin sekali kembali ke Danau Kelimutu dan semoga mendapat keberuntungan dapat melihat sunrise serta kawah tanpa di selimuti kabut.

10906175_1052453324767011_7376829706111059342_n

Danau Kelimutu

11201840_1052453261433684_1300571198145395650_n

Danau kelimutu

11754234_1052453208100356_2733378948012431454_n 11036957_1052452738100403_6474973627543226329_n

Main- main ke Taman Laut 17 Riung, Flores

# Video Perjalanan Menuju NTT #

 

IMG_3458_Snapseed

Taman Laut 17 Riung, diambil dari Bog S

Cukup mengunjungi dan menangkap berbagai pengalaman baru serta melihat kegiatan warga kampung Bena saya dan Ndank melanjutkan ke tujuan selanjutnya. Riung, ya awalnya saya hanya tau namanya Riung. Bermodal kata Riung sudah banyak orang yang tau kenapa saya dan Ndank ingin banget pergi kesana. Sebuah taman laut 17 Riung yang cukup terkenal dengan kepulauan dan pesona underwaternya. Disalah satu postingan saya ada komentar dari teman saya waktu SMP, Andina namanya yang mengenalkan dengan temannya yang seorang dokter yang sedang “semacam magang”di puskesmas Riung bisa di bilang mengabdi untuk warga masyaraka Riung. Setelah janjian bahwa malam harinya akan tiba di Riung saya dan Ndank pun segera mengemasi barang dan lanjut tancap Gas. Melintasi pelosok desa dengan jalan yang semakin dalam masuk pelosok semakin rusak parah bagaikan usai di hujani oleh geranat hingga hancur tak beraturan. Jalanan sepi kanan kiri pun tak ada perkampungan atau rumah warga, hanya beberapa kebun warga yang pemiliknya tinggal di desa agak jauh dari kebun. Senja semakin meninggalkan kami berdua tanpa orang lain lagi yang ada di jalan ini. Jalanan menjadi terasa semakin sepi karena senja semakin gelap dan pandangan semakin sempit.

IMG_3755_Snapseed

Jalan yang jauh dari perkampungan ini gelap total, jangankan lampu penerangan jalan lawong lampu rumah atau bahkan rumahnya warga desa pun tak ada satupun. Sempet melihat ada sedikit rumah suatu perkampungan ketika masih terang di beberapa belas km kelewat. Tersisa cahaya yang melekat di depan motor kami berdua yang cukup menerangi jalanan terjal hancur berbatu dan berdebu ini. Karena lampu di dominasi dari kendaraan kami berdua justru membuat pandangan kami leluasa tidak ada silau dan cukup terang di bantu oleh cahaya bintang dan galaksi susu, eh bimasakti maksudnya. Jalanan yang gelap memaksa mata kami berdua harus fokus dan terus terjaga menyorot kedepan dan kanan kiri karena ternyata jalan yang kami lintasi adalah diatas tebing. Berjalan di atas tebing terkadang di kanan atau di kiri tebing naik turun dan berkelok menandakan bahwa pantai masih cukup jauh. Rasanya memang ngeri cuma berdua riding di jalanan rusak berbat berdebu dan kanan kiri pun kadang berupa jurang/ tebing curam. Selama berkendara sempat terlintas fikiran negatif dan takut namun apa boleh buat kami harus terus melaju dan mlintir gas motor kami. Beberapa saat kemudian entah dimana kami berdua pun tak tau rimbanya kedatangan tamu tak di undang. Tadinya kami riding berdua yang harap harap cemas kini menjadi riding bertiga dan justru semakin cemas. Pikiran jelek pun terus membayangi saya ntah dengan Ndank, apakah orang ketiga ini berniat jahat atau entahlah. Semakin dalam masuk jalur yang semakin absurd pohon tinggi tinggi menjulang di kanan kiri jalan serta semak belantara yang sangat rapat namun orang ini tak menunjukkan akan melakukan perbuatan jahat. Bahkan jikalaupun dia orang jahat sudah habis kami di babat dari belakang sedari tadi. Yasudah akhirnya saya berfikir positif bahwa memang orang ini adalah teman riding kami selama perjalanan sampai Riung. Terus riding bertiga menyusuri hutan bambu, hutan jati, dan perkebunan warga yang pemiliknya entah dimana yang jelas tinggal nan jauh disana. Perjalanan malam gelap di temani cahaya bintang dan lampu motor kami bertiga. Milkyway kesukaanku pun ikut menghibur dari atas sana bahkan hampir membuatku melamun dan tidak konsentrasi dalam berkendara. Lupa kalau jalan masih beberapa kali di batasi jurang efek terpesona oleh milkyway yang begitu terangnya saya hampir masuk jurang. Tidak cuma sekali hampir keluar jalur bahkan beberapa kali saya hampir masuk jurang dan masuk semak belukar. Jalanan yang lurus mulus tiba tiba belok 90 derajat tanpa ada rambu rambu dan penerangan hanya dari motor kami bertiga. Orang yang tidak terbiasa lewat jalan ini seperti saya pasti kedandapan gelagepan mengatasinya.

Ndank, Dr Faiz, Fathur

Akhirnya kami selesai melintasi jalur penuh kejutan dan jalan pun mulai datar serta lurus. Kami manfaatkan untuk meggeber motor kami sekencang- kencangnya agar cepat sampai karena hari semakin malam dan raga ini lelah sekali rasanya. Beberapa belas menit menggeber motor melewati jalanan lurus mulus aroma pantai Riung pun tercium sudah. Orang ketiga yang ikut riding yang akhirnya saya ketahui seorang TNI berteriak memanggil kami sepertinya menawarkan untuk mampir sambil berbelok masuk gang. Dan beberapa menit kemudian kami tiba di masjid, dan warga muslim Riung telah selesai melaksanakan shalat Isya berjamaah. Shalat, istirahat sebentar dan kemudian menghubungi Dr Faiz teman Andina sekampus di UNDIP Semarang. Saya dan Ndank menginap 2 malam di rumah dinasnya Dr Faiz. Malam itu di awal perkenalan kami di mulai dengan ngobrol di ruang tengah sejam dua jam bercerita tentang perjalanan kami. Dr Faiz berasal dari Pulau Sabu namun besar di Kupang. Orang baik, mudah melebur dengan orang baru, gokil dan rupanya dokter muda yang sedang PTT di PUSKESMAS Riung ini suka naik gunung juga. Salah satu ceritanya adalah pernah mau naik semeru namun karena merasa sedang sakit kemudian mendiagnosa sendiri dan akhirnya ketahuan bahwa harus operasi maka di batalkannya rencana dia naik ke Semeru. Malam perkenalan kami saat itu adalah hari Kamis, dengan arti bahwa keesokan harinya adalah hari Jumat. Saya ceritakan niat dan rencana kami berdua bahwa sangat ingin snorkling dan hoping island di taman laut 17 Riung. Karena hari Jumat adalah hari baik dan hari besar umat Islam yang artinya ada ibadah besar yang harus di tunaikan yaitu shalat Jumat maka disarankan lah untuk oaginya ke bog S ( bog=kelokan) untuk melihat sunrise dan melihat taman laut 17 dari atas bukit.

IMG_5822_Snapseed

IMG_3923_Snapseed

IMG_3930_Snapseed

Seusai shalat jumat barulah saya dan Ndank explore taman laut 17 Riung. Karena waktu kami lebih singkat kami hanya mengunjungi pulau 3, pulau Rutong dan pulau kelelawar. Di pulau 3 sebelum mendarat ke pantainya kami mencoba snorkling namun arus bawah sedang kencang, hanya lelah yang saya dapat pemandangan juga jadi kurang jelas terlihat. Di spot snorkling kedua pun yang letaknya dekat pulau Rutong juga tak terlihat ada pemandangan bagus. Ya tidak mengapa karena uperwaternya pun sangat indah menawan dan memikat hati. Pulau Rutong yang menjadi primadona dan ikon bahwa kalau sudah mengunjungi pulau Rutong berarti sudah ke Riung. Bermain di tepi pantai dan bisa juga mengexplore ke atas bukit pulau Rutong serta pemandangan dari atas pun sangat indah. Hamparan pasir putih berkilauan di sapu ombak serta air laut gradasi biru muda hingga biru tua terlihat sangat cantik. Rumput tipis hijau mulai kecoklat-emasan di permukaan bukit pun menambah semakin eksotis untuk di jadikan spot foto- foto selfi atapun narsis.

IMG_3937_Snapseed

IMG_3943_Snapseed

IMG_3955_Snapseed

Lanjut menuju pulau Kelelawar, ya untuk pulau kelelawar kami tidak di sarankan turun dari perahu karena cukup melihat dari atas perahu kelelawarnya sudah mendatangi dan menghibur kami yang datang. Bisa di perkirakan ada ratusan bahkan ribuan kelelawar yang mendiami pulau kelelawar ini. Selesai menengok kelelawar ( kalong lebih tepatnya karena ukurannya yang besar ) kami pun merapa ke dermaga dan masih sempat di beri kejutan sunset yang begitu menakjubkan. Dengan foreground beberapa perahu bersandar di dermaga kemudian jembatan dermaga sendiri bisa di manfaatkan sebagai foreground dalam membidikan kamera.

IMG_4109_Snapseed

IMG_4149_Snapseed

IMG_4719_Snapseed

IMG_4717_Snapseed