Terlihat pulau- pulau dan selat kecil dari udara berjajar begitu indah. Perlahan pesawat semakin mendekati bumi untuk mendarat. Kalau yang gak tau komentarnya ” wah enak ya fathur jalan- jalan terus!” , kali ini pergi ke Batam bukan untuk jalan- jalan tapi sebenernya ada dinas dari kantor untuk mengikuti tender salah satu operator selluler besar di Indonesia. Menunggu sebentar di loby bandara kemudian datang bang Dika dan bang Ronald. Sebentar mampir makan siang kemudian nyari hotel yang murah untuk istirahat. Sambil menikmati perjalanan sambil ku perhatikan sekeliling bagaimana tentang Batam ini. Batam ini pulau yang cukup kecil namun banyak berdiri Industri besar disini. Jika di ibaratkan di Jawa Batam bisa di sebut sebagai Cikarang- Karawangnya Jakarta atau Gresik- Sidoarjo nya Surabaya. Industri besar Batam rupanya untuk mensuplai perdagangan di Singapur. Selain banyaknya indusri pabrik bangunan yang ada di Batam style nya sudah berkiblat ke Eropa. Bangunan yang keren di tunjang tata kota yang cukup bagus kedepannya Batam bakal semakin keren.
Dalam perjalan di mobil saya mendengar cerita bang Dika dan bang Ronald bahwa dulunya kalau mau ke Singapur bisa naik boat selama 1-2 jam dan tiba di Singapur tinggal menunjukkan KTP saja tidak perlu paspor. Karena regulasi kini meskipun menyebrang dari Batam tetap harus mmenunjukkan paspor kalau mau ke Singapur. Selain itu saya dengar juga bahwa banyak mobil built up dari luar negri masuk ke Batam ini tanpa cukai. Memang banyak sekali ku lihat mobil aneh meskipun merknya Toyota, Honda, Mitsubisi, Nissan namun bentuk bodynya lebih bongsor dan beda dengan yang beredar di kota lain di Indonesia. Sayangnya mobil- mobil keren ini tidak bisa keluar dari Batam. Oiya kammi juga sempat mampir ke Nagoya yaitu pusat barang elektronik kususnya HP, yang konon banyak di manfaatkan penipu untuk menjual nama Batam. Banyak penipu menggunakan ” barang batam” dengan harga sangat murah bahkan separo harga normalnya, namun ternyata tidak saya temui di pusat elektronik ini. Harga memang relatif lebih murah karena sebagian besar memang masuk ke Batam tanpa cukai. Murah sih tapi ya masih wajar kok bedanya sama di jawa, kalau di jawa di jual 1juta di Batam bisa 700-800 ribu tapi gak sampai beda separoh harga kayak yang penipu lakukan itu. Oh iya kalau untuk product Sony memang harrganya fantastis yaitu bisa turun 30-40 persen memang.
Sore kami pergi ke pantai Marina Batam, bener gak ya tapi kayaknya sebelahnya Marina tapi saya lupa namanya. Terlihat gedung- gedung pencakar langit dari tepian pantai sepertinya memang tak jauh dari Batam. Pantainya sepi dan saat itu angin sedang kencang menghembus menerbangkan pasir dan dedaunan. Air laut sedang kurang bening mungkin karena arus sedang besar. Tak banyak objek menarik yang bisa saya ambil dari pantai ini selain karena matahari masih terik panasnya minta ampun. Setelah cukup kepanasan kami meninggalkan pantai dan menuju Hotel untuk istirahat.
Memasuki hari keenam di Sumba saya dan Hafiz seperti biasanya bangun tidur mandi siap- siap kemudian nyari sarapan baru gass berangkat menjelajah. Dihari keenam pada tanggal 29 November 2016 hari kamis kami berencana menjelajah ke pantai Tarimbang, Air terjun Laputi, dan Bukit Wairinding. Perjalanan di mulai dari Waingapu menuju arah Waikabubak dengan melintasi jalur perbukitan naik turun berkelok kekanan kekiri dengan disamping kanan dan kiri adalah lipatan ratusan bahkan ribuan lipatan perbukitan yang sangat indah. Setelah setengah jam perjalanan kami tiba di persimpangan jika belok ke kiri maka ke arah tarimbang dan jika lurus adalah ke arah waikabubak. Kami ambil jalur masuk gang kekiri arah ke Tarimbang lewat jalan khas desa namun terbilang sangat bagus dan mulus. Jalanan masih di dominan berupa perbukitan yang enak buat bermanuver banting kanan dan kekiri. Sepanjang jalan dikanan dan kiri tumbuh subur pohon metir dan pohon semak belukar cukup tinggi memayungi jalan sehingga terik matahari pun di halau oleh rimbunnya dedaunan hijau. Oleh banyaknya kelokan dan jalur yang rapat oleh tumbuhan jika tidak waspada justru pandangan tidak luas dan bebas ketika berpapasan dengan kendaraan lain terkadang tidak kelihatan. Puas melaju kencang di jalan mulus terpaksa kami mengerem mendadak karena sebentar di buritan truck/bus rupanya truck/ bus jalan perlahan jalan sudah rusak sekali bagaikan kena granat. Padahal baru saja di puji jalan nya bagus mulus, saya kira akan mulus sampai pantai ternyata tidak ya begitulah karena jalan memang tak selalu mulus. Sebentar melintasi jalanan rusak kami di hadapkan pertigaan, sedangkan GPS yang kami aktifkan sejak dari Waingapu menyuruh kami lurus terus. Setelah kami lurus lagi sebentar 15 menit sampai sudah di Peter magic resort yang terkenal di kawasan Tarimbang milik seorang bule German bernama Peter menikahi gadis Sumba. Resort dengan bangunan villa rumah tradisional khas Sumba. Resort yang menghadap langsung ke pantai Tarimbang dari ketinggian dengan view sungguh menawan. Semakin cantik dan menawan ketika matahari terbenam dapat di nikmati dari depan resort. Setelah melihat- lihat resort sebentar kami melanjutkan ke pantai Tarimbang. Menuruni bukit terus saja mengikuti jalan aspal sampai mentok tiba sudah di pantai Tarimbang.
Sebentar mata memandang luas pantai yang sunggu mempesona. Muara air sungai mengalir bertemu pantai dalam sebuah cekungan kanan dan kiri di lindungi oleh tebing batuan kapur raksasa. Pantai berpasir putih lembut bagaikan tepung dengan hembusan angin serta ombak yang cukup besar. Berdiri pohon ikonik yang telah lama mati kemudian di jadikan media memasang hammock untuk bersantai pengunjung pantai. Bersantai cukup lama di Tarimbang meikmati hembusan angin yang menggoyang- goyang hammock sambil mendengar gemuruh ombak bersahutan dengan pekik burung camar. Pantai hanya kami berdua yang menikmati seakan pantai milik pribadi.
Sebenernya setelah dari pantai Tarimbang mau lanjut ke air terjun Laputi dan danaunya sekalian, namun setelah tiba di pertigaan Laputi- Lailara- Tarimbang kami bertanya mama penjual toko kelontong di pojok pertigaan yang memberi info bahwa perjalanan menuju laputi masih 3 jam lagi. Kami pun memilih skip air terjun Laputi dan lanjut menuju Wairinding saja. Dalam perjalanan mendung menggelayut semakin gelap dan kami pun kehujanan di jalur perbukitan Lailara. Setelah di geber sedikit ngebut kami harus berteduh karena hujan semakin deras. Di sebuah kantor desa yang sudah tidak aktif lagi sepertinya saya dan Hafiz berteduh sebentar sambil ngobrol ngalor ngidul membahas apa saja.
Sebentar hujan reda kami lanjut kembali dan baru beberapa belas kilometer hujan kembali turun menyapa kami. Sesungguhnya kami pun sudah basah kuyup kehujanan namun tergoda untuk berhenti neduh di warung jagung rebus sekalian bertanya arah bukit Wairinding. Menikmati manisnya rebusan jagung muda serta hangat segelas teh dalam dinginnya hujan di sela- sela perbukitan. Mendengar tetesan air hujan menjatuhi seng dan jalan raya bersahutan dengan raungan mesin motor melaju kencang dalam lebatnya hujan. Sebentar selesai menyantap jagung rebus dan segelas teh kami lanjut menuju sunset bukit Wairinding yang kata mama penjual jagung rebus tidak jauh lagi sudah. Hujan reda langit terang dan cahaya keemasan di ujung barat mulai menarik perhatian saya. Sebentar motor saya gas kencang dapat sudah lihat bukit Wairinding. Berkumpul anak- anak kecil disana sedang bermain dan bercanda tawa yang kemudian riang menyambut kedatangan kami berdua. Sambil mengabadikan momen menikmati indahnya bentangan ribuan bukit terhampar terlihat sungguh indah dari puncak Wairinding. Mendengar candaan Lidya, Tanto, dan anak kecil lainnya yang saya lupa namanya dengan bahasa daerah mereka yang tak ku mengerti namun rasanya hati ini senang dan damai mendengar mereka riang gembira. Kejutan dari Tuhan memang selalu mendamaikan hati. Setelah berkendara dalam hujan setibanya di bukit Wairinding sunset begitu indah dan sempat di hampiri sebentar pelangi berwarna warni. Terima kasih Tuhan untuk keindahan alam Indonesia yang Engkau karuniakan kepada kami.
Hampir sudah menjadi rutinitas atau kebiasaan kami bangun tidur kemudian sarapan sekalian bungkus nasi untuk makan siang kemudian gas menuju destinasi pilihan kami. Tujuan utama kami adalah ke pantai Watu Parunu dan kolam alam Waimarang di bumbui atau mampir savana kaliuda dan kampung adat rende. Di mulai dari kota Waingapu mengarah ke Bandara Waingapu kemudian arahkan kendaraan menuju daerah Melolo. Tujuan awal adalah kolam alami Waimarang dan pada saat kami berhenti isi bensin eceran sekalian kami menanyakan kemana arah Waimarang. ” Terlewat jauh sudah jalan nya ” kata si bapak penjual bensin. Daripada harus balik lagi kami pun terus gas menuju pantai Watu Parunu. Dua jam sudah kami lewati jalan dengan kanan kiri di hiasi padang rumput serta sedikit hutan heterogen mampu mengurangi panasnya matahari Sumba. Padang savana yang tadinya bercampur sedikit hutan heterogen berubah menjadi padang savana yang luas dan inilah yang warga sekitar sebut Savana Kaliuda. Beberapa pohon yang fotogenik menggoda kami berdua untuk berhenti sebentar mengabadikan keindahan savana dengan rumput mengering keemasan serta tumbuh satu dua tiga pohon kayu besar seolah memberi suasana yang sejuk. Ada satu pohon yang kami sebut pohon “harapan” ya karena ranting yang separo kering belum tumbuh daun dan separo lagi sudah mulai di tumbuhi dedaunan hijau segar. Selain pohon harapan ada juga “marapu heaven” dua pohon identik berdiri berdampingan di tengah luasnya padang rumput yang telah mengering. Pohon harapan dan marapu heaven ini ternyata memang menarik perhatian pengunjung pantai Watu Parunu yang lewat kemudian berhenti sebentar untuk memotret. Padang rumputnya yang coklat gersang bagaikan hamparan karpet emas. Jauh mata ini memandang hanyalah rerumputan kering dengan beberapa pohon yang terus mencoba bertahan hidup di tanah yang tandus serta kering. Setelah cukup mengabadikan keindahan padang savana Kaliuda kami lanjut ke pantai Watu Parunu.
dua pohon harapan
Marapu Heaven
Pohon Harapan
Setengah jam lebih melewati perkampungan yang cukup ramai dan kami pun tiba di pantai. Watu Parunu yang berarti watu adalah batu dan parunu adalah menunduk, bukan berarti batu yang menunduk namun karena adanya batu berlubang di pantai ini dan jika melewati salah satu lubang di batu ini harus menunduk. Pantai berpasir putih ombak cukup besar dan tanpa pengunjung ya memang rata- rata wisata di Sumba masih sepi pengunjung. Di ujung seelah timur terdapat tebing batu kapur yang terus tergerus ombak sehingga berlubang. Untuk ke pantai ini bisa mencari nama daerahnya terlebih dahulu yaitu terletak di Waijelu jika dari Waingapu bisa menyalakan GPS Maps. Saran saya jangan di tutup atau matikan GPS map nya terus nyalakan dan ikuti petunjuk jalan di Map tersebut sampai tiba di daerah Waijelu pelankan laju kendaraan dan perhatikan di sebelah kiri jalan. Ikuti petunjuk jalan yang di sebelah kiri masuk ke jalan kecil menuju pantai dan kamu telah tiba di pantai Watu Parunu. Kalau ada yang tanya apa spesialnya pantai ini? pantai dengan tebing batu kapur berlubang ombak cukup besar sepi karena jauh dari jangkauan kota serta masih bersih. Ingin lompat- lompat kegirangan bersukaria atau duduk manis tenang menikmati alunan ombak dan hembusan angin pun tetap nikmat.
Sampan Pantai Watu Parunu
Watu Parunu ( batu menunduk)
Pantai Watu Parunu
Nelayan memancing di Watu Parunu
Watu Bolong
Dari Watu Parunu kami melanjutkan arah tujuan kami ke Waimarang Melolo. Sebelum sampai di Melolo kami istirahat sebentar di Kampung adat Rende/ Rindi, kampung ada yang sangat terkenal di Sumba Timur selain cukup besar kampung adat ini terletak di pinggir jalan raya. Di tengah perkampungan berdiri Batu Kubur atau kalau di jawa di sebut “kijing”. Sebagian besar rumah masih menggunakan bahan baku papan kayu dan alang- alang sebagai atapnya. Sebelum mengexplore sekitar halaman kampung Rindi kita di persilahkan ke bale- bale utama terlebih dahulu untuk melapor/ menulis di buku tamu kedatangan. Saat kami datang seorang mama/ ibu sedang membuat tenun khas Sumba sembari menjelaskan tentang kampung Rindi kepada seorang pengunjung. Jika di beberapa kampung adat di NTT sudah banyak menjual cinderamata maka di Kampung Rindi ini belum begitu banyak cinderamata/ kerajinan tangan yang di jual.
Kubur Batu di tengah perkampungan
Kubur Batu
Mari lanjut lagi menuju kolam Waimarang. Kolam Waimarang ini jika dari arah Waingapu adalah di pasar Melolo ada petunjuk/ plang ke kanan arah Kananggar nah belok kanan masuk sudah itu menuju Waimarang. Terus ikuti saja jalan menuju Waimarang sampai ketemu SD inpres Waimarang tanya lagi ke orang di sekitar agar tidak nyasar. Lucunya sewaktu saya dan Hafiz menuju kolam Waimarang menggunakan GPS dan bertanya kepada orang yang kurang tepat justru menyasar kebablasan sampai ke Kananggar. Di ujung desa kami berhenti dan bertanya karena kebablasan kami putar balik ke arah Melolo. Dalam perjalanan balik arah Melolo ada 2 anak SMA sedang nongkrong kami tanyai benar sudah bahwa kami terlewat terlalu jauh. Setelah mendapat petunjuk dari 2 anak ini yang satunya namanya Rendy satu lagi lupa namanya kami tiba di parkir kolam alam Waimarang. Parkiran yang berupa padang savana ini jika kita melihat ke sekeliling seperti sedang di perbukitan teletabis bener bener keren banget. Kolam alami masih cukup jauh dari parkiran, menuruni jalur treking yang telah di buat sederhana oleh warga sekitar. Meskipun sudah di buatkan jalur treking namun harus tetap hati- hati karena jalur yang terjal dan merupakan jurang yang curam. Selesai menuruni jurang masuklah jalur hutan lebat dengan jalur yang datar cukup bisa di bilang bonus. Setelah melewati hutan ketemu dengan padang savana dan di sana ada persimpangan, jika mau mengikuti saran saya mending ambil yang arah agak kekanan. Jalur yang agak kekanan ini jalur yang paling dekat langsung menuju kolam. Saat itu kami tidak tau jalur mana yang cepat kami ambil yang lurus terus kemudian menuruni jurang lagi. Perlahan menuruni jurang dan mendarat di sungai aliran dari kolam dan harus treking mengikuti aliran sungai menuju ke arah kolam. Setibanya di kolam saya kaget tiba- tiba rendy dan temannya sudah mendarat duluan padahal sudah berpisah di jalan Kananggar- Melolo. Ternyata mereka duluan sampai dan lebih cepat karena lewat jalur yang kekanan bukan yang lurus. Kolam Waimarang terbentuk dari batuan kapur yang mungkin tergerus air atau karena gerak patahan bumi selama ribuan tahun sehingga membentuk cekungan bulat seperti kolam. Air mengalir jernih kemudian tertampung di cekungan berwarna hijau kebiruan khas air batuan kapur. Sungguh mempesona bagi saya dan Hafiz bisa melihat keindahan alam Waimarang. Kolam alami ini ada dua sebenernya diatasnya terdapat kolam kecil yang mengalirkan mini waterfall dan jatuh di kolam besar. Kolam kecil di atas air terjun lebih mirip dengan bath up/ bak mandi serta di atas bath up berjatuhan air dari tebing yang lebih tinggi.
Jika berkenan silahkan mampir IG saya @tjiptotjupu
Tempatnya memang “spooky” kalau anak gaul bilang tapi mandi lelompatan dari tebing di pinggir jatuh ke kolam tentunya sangat menggoda. Meskipun kita sebagai pengunjung bisa mandi dan lelompatan di kolam ini alangkah baiknya tetap mejaga kesopanan dan perilaku. Merekam beberapa video dan mengambil foto untuk diabadikan dan dikenang di kemudian hari. Sayang kolam alam yang mulai ramai pengunjung ini sudah bertebaran sampah, mulai sampah plastik bungkus snack, sampah kardus makanan berat/ nasi kardus, bahkan sampah kantong plastik hitam merah dan putih. Padahal sepanjang perjalanan sudah pula di pasang peringatan ataupun ajakan untuk menjaga kebersihan dan membawa kembali sampah/ bungkus makanan yang di bawa pengunjung. Semoga kedepan kesadaran warga sekitar serta pengunjung untuk menjaga kebersihan kolam Waimarang ini semakin baik. Agar kesan spooky di kolam ini sedikit berkurang karena memang tempatnya masih rimbun dan minim cahaya sebaiknya datang ketika pagi hari atau paling tidak siang dan menjelang sore sudah meninggalkan lokasi. Bukan karena biar tidak serem tapi juga view nya lebih indah ketika mendapat pencahayaan yang cukup. Tau kan kalau kolam ini sesungguhnya adalah jurang? nah lebih aman lagi berkunjunglah ketika musim kemarau, selain airnya akan sangat jernih juga mengurangi resiko “kebanjiran tiba- tiba” .
Hampir sudah menjadi rutinitas atau kebiasaan kami bangun tidur kemudian sarapan sekalian bungkus nasi untuk makan siang kemudian gas menuju destinasi pilihan kami. Tujuan utama kami adalah ke pantai Watu Parunu dan kolam alam Waimarang di bumbui atau mampir savana kaliuda dan kampung adat rende. Di mulai dari kota Waingapu mengarah ke Bandara Waingapu kemudian arahkan kendaraan menuju daerah Melolo. Tujuan awal adalah kolam alami Waimarang dan pada saat kami berhenti isi bensin eceran sekalian kami menanyakan kemana arah Waimarang. ” Terlewat jauh sudah jalan nya ” kata si bapak penjual bensin. Daripada harus balik lagi kami pun terus gas menuju pantai Watu Parunu. Dua jam sudah kami lewati jalan dengan kanan kiri di hiasi padang rumput serta sedikit hutan heterogen mampu mengurangi panasnya matahari Sumba. Padang savana yang tadinya bercampur sedikit hutan heterogen berubah menjadi padang savana yang luas dan inilah yang warga sekitar sebut Savana Kaliuda. Beberapa pohon yang fotogenik menggoda kami berdua untuk berhenti sebentar mengabadikan keindahan savana dengan rumput mengering keemasan serta tumbuh satu dua tiga pohon kayu besar seolah memberi suasana yang sejuk. Ada satu pohon yang kami sebut pohon “harapan” ya karena ranting yang separo kering belum tumbuh daun dan separo lagi sudah mulai di tumbuhi dedaunan hijau segar. Selain pohon harapan ada juga “marapu heaven” dua pohon identik berdiri berdampingan di tengah luasnya padang rumput yang telah mengering. Pohon harapan dan marapu heaven ini ternyata memang menarik perhatian pengunjung pantai Watu Parunu yang lewat kemudian berhenti sebentar untuk memotret. Padang rumputnya yang coklat gersang bagaikan hamparan karpet emas. Jauh mata ini memandang hanyalah rerumputan kering dengan beberapa pohon yang terus mencoba bertahan hidup di tanah yang tandus serta kering. Setelah cukup mengabadikan keindahan padang savana Kaliuda kami lanjut ke pantai Watu Parunu.
dua pohon harapan
Marapu Heaven
Pohon Harapan
Setengah jam lebih melewati perkampungan yang cukup ramai dan kami pun tiba di pantai. Watu Parunu yang berarti watu adalah batu dan parunu adalah menunduk, bukan berarti batu yang menunduk namun karena adanya batu berlubang di pantai ini dan jika melewati salah satu lubang di batu ini harus menunduk. Pantai berpasir putih ombak cukup besar dan tanpa pengunjung ya memang rata- rata wisata di Sumba masih sepi pengunjung. Di ujung seelah timur terdapat tebing batu kapur yang terus tergerus ombak sehingga berlubang. Untuk ke pantai ini bisa mencari nama daerahnya terlebih dahulu yaitu terletak di Waijelu jika dari Waingapu bisa menyalakan GPS Maps. Saran saya jangan di tutup atau matikan GPS map nya terus nyalakan dan ikuti petunjuk jalan di Map tersebut sampai tiba di daerah Waijelu pelankan laju kendaraan dan perhatikan di sebelah kiri jalan. Ikuti petunjuk jalan yang di sebelah kiri masuk ke jalan kecil menuju pantai dan kamu telah tiba di pantai Watu Parunu. Kalau ada yang tanya apa spesialnya pantai ini? pantai dengan tebing batu kapur berlubang ombak cukup besar sepi karena jauh dari jangkauan kota serta masih bersih. Ingin lompat- lompat kegirangan bersukaria atau duduk manis tenang menikmati alunan ombak dan hembusan angin pun tetap nikmat.
Sampan Pantai Watu Parunu
Watu Parunu ( batu menunduk)
Pantai Watu Parunu
Nelayan memancing di Watu Parunu
Watu Bolong
Dari Watu Parunu kami melanjutkan arah tujuan kami ke Waimarang Melolo. Sebelum sampai di Melolo kami istirahat sebentar di Kampung adat Rende/ Rindi, kampung ada yang sangat terkenal di Sumba Timur selain cukup besar kampung adat ini terletak di pinggir jalan raya. Di tengah perkampungan berdiri Batu Kubur atau kalau di jawa di sebut “kijing”. Sebagian besar rumah masih menggunakan bahan baku papan kayu dan alang- alang sebagai atapnya. Sebelum mengexplore sekitar halaman kampung Rindi kita di persilahkan ke bale- bale utama terlebih dahulu untuk melapor/ menulis di buku tamu kedatangan. Saat kami datang seorang mama/ ibu sedang membuat tenun khas Sumba sembari menjelaskan tentang kampung Rindi kepada seorang pengunjung. Jika di beberapa kampung adat di NTT sudah banyak menjual cinderamata maka di Kampung Rindi ini belum begitu banyak cinderamata/ kerajinan tangan yang di jual.
Kubur Batu di tengah perkampungan
Kubur Batu
Mari lanjut lagi menuju kolam Waimarang. Kolam Waimarang ini jika dari arah Waingapu adalah di pasar Melolo ada petunjuk/ plang ke kanan arah Kananggar nah belok kanan masuk sudah itu menuju Waimarang. Terus ikuti saja jalan menuju Waimarang sampai ketemu SD inpres Waimarang tanya lagi ke orang di sekitar agar tidak nyasar. Lucunya sewaktu saya dan Hafiz menuju kolam Waimarang menggunakan GPS dan bertanya kepada orang yang kurang tepat justru menyasar kebablasan sampai ke Kananggar. Di ujung desa kami berhenti dan bertanya karena kebablasan kami putar balik ke arah Melolo. Dalam perjalanan balik arah Melolo ada 2 anak SMA sedang nongkrong kami tanyai benar sudah bahwa kami terlewat terlalu jauh. Setelah mendapat petunjuk dari 2 anak ini yang satunya namanya Rendy satu lagi lupa namanya kami tiba di parkir kolam alam Waimarang. Parkiran yang berupa padang savana ini jika kita melihat ke sekeliling seperti sedang di perbukitan teletabis bener bener keren banget. Kolam alami masih cukup jauh dari parkiran, menuruni jalur treking yang telah di buat sederhana oleh warga sekitar. Meskipun sudah di buatkan jalur treking namun harus tetap hati- hati karena jalur yang terjal dan merupakan jurang yang curam. Selesai menuruni jurang masuklah jalur hutan lebat dengan jalur yang datar cukup bisa di bilang bonus. Setelah melewati hutan ketemu dengan padang savana dan di sana ada persimpangan, jika mau mengikuti saran saya mending ambil yang arah agak kekanan. Jalur yang agak kekanan ini jalur yang paling dekat langsung menuju kolam. Saat itu kami tidak tau jalur mana yang cepat kami ambil yang lurus terus kemudian menuruni jurang lagi. Perlahan menuruni jurang dan mendarat di sungai aliran dari kolam dan harus treking mengikuti aliran sungai menuju ke arah kolam. Setibanya di kolam saya kaget tiba- tiba rendy dan temannya sudah mendarat duluan padahal sudah berpisah di jalan Kananggar- Melolo. Ternyata mereka duluan sampai dan lebih cepat karena lewat jalur yang kekanan bukan yang lurus. Kolam Waimarang terbentuk dari batuan kapur yang mungkin tergerus air atau karena gerak patahan bumi selama ribuan tahun sehingga membentuk cekungan bulat seperti kolam. Air mengalir jernih kemudian tertampung di cekungan berwarna hijau kebiruan khas air batuan kapur. Sungguh mempesona bagi saya dan Hafiz bisa melihat keindahan alam Waimarang. Kolam alami ini ada dua sebenernya diatasnya terdapat kolam kecil yang mengalirkan mini waterfall dan jatuh di kolam besar. Kolam kecil di atas air terjun lebih mirip dengan bath up/ bak mandi serta di atas bath up berjatuhan air dari tebing yang lebih tinggi.
Jika berkenan silahkan mampir IG saya @tjiptotjupu
Tempatnya memang “spooky” kalau anak gaul bilang tapi mandi lelompatan dari tebing di pinggir jatuh ke kolam tentunya sangat menggoda. Meskipun kita sebagai pengunjung bisa mandi dan lelompatan di kolam ini alangkah baiknya tetap mejaga kesopanan dan perilaku. Merekam beberapa video dan mengambil foto untuk diabadikan dan dikenang di kemudian hari. Sayang kolam alam yang mulai ramai pengunjung ini sudah bertebaran sampah, mulai sampah plastik bungkus snack, sampah kardus makanan berat/ nasi kardus, bahkan sampah kantong plastik hitam merah dan putih. Padahal sepanjang perjalanan sudah pula di pasang peringatan ataupun ajakan untuk menjaga kebersihan dan membawa kembali sampah/ bungkus makanan yang di bawa pengunjung. Semoga kedepan kesadaran warga sekitar serta pengunjung untuk menjaga kebersihan kolam Waimarang ini semakin baik. Agar kesan spooky di kolam ini sedikit berkurang karena memang tempatnya masih rimbun dan minim cahaya sebaiknya datang ketika pagi hari atau paling tidak siang dan menjelang sore sudah meninggalkan lokasi. Bukan karena biar tidak serem tapi juga view nya lebih indah ketika mendapat pencahayaan yang cukup. Tau kan kalau kolam ini sesungguhnya adalah jurang? nah lebih aman lagi berkunjunglah ketika musim kemarau, selain airnya akan sangat jernih juga mengurangi resiko “kebanjiran tiba- tiba” .
09:00 saya sudah siap menunggu bus jurusan Surabaya ( Bungur asih ) dan pukul 22:00 barulah ada bus yang mengangkut saya menuju Bungur. Awalnya saya pikir dalam 2 jam saya sampai di terminal bungur, ya karena bus jenis ini terkenal ugal- ugalan di jalur panturan ( Semarang- Surabaya) namun entah apa yang di pikiran supir saat itu bus melaju sangat lambat bahkan dalam bahasa lebaynya melaju seperti keong. Saya tiba di Bungur sudah pukul 01:30 menunggu barangkali ada Damri dalam lebatnya hujan tengah malam. Info yang saya dapat dari penjaga toilet Damri paling awal adalah pukul 05:00 artinya saya bisa tiba di bandara sudah pukul 06:xx, tak lama pun datang supir taksi menawarkan jasa. Dengan sedikit terpaksa saya sikat harga 75ribu naik taksi ke bandara karena memang sudah tidak ada Damri jam segitu. Pukul 03:00 saya sudah ready di bandara Juanda dan hujan masih turun dengan deras mengguyur bumi. Belum sempet tidur karena sudah mepet juga mau tidur kemudian saya menghampiri travel partner saya Hafiz yang sudah menunggu sedari pukul 20:00. Gerbang check in sudah di buka kami langsung saja masuk dan menunggu flight pukul 06:05 naik Lion Air. Flight Surabaya – Denpasar Alhamdulillah lancar dan aman di tempuh dalam waktu 2 jam ( karena perbedaan waktu). Di Denpasar pindah pesawat ATR Wings Air menuju Tambolaka Sumba dan mendarat di Tambolaka Sumba pukul 12:00. Karena sudah sangat lapar tidak sempat sarapan kami segera mencari warung nasi, ketika sedang makan kami di hampiri orang tak di kenal yang menawarkan hotel. Ternyata yang akhirnya saya tahu namanya oktavianus ini adalah karyawan hotel Sinar Tambolaka yang di rekomendasikan teman saya. Seusai makan siang di bandara kami langsung menuju hotel Sinar dan check in, disini terpaksa check in room standar ( 350ribu/malam) karena room ekonomi sudah full dan hanya bisa menginap satu malam karena keesokan harinya semua full booked.
Kamar Hotel Sinar Tambolaka
Selesai ngobrol dengan resepsionis hotel mengenai destinasi dan bagaimana cara kesana akhirnya kami beranikan diri keluar hotel dan melihat- lihat di sekitar. Tak butuh waktu lama kami langsung di serbu pasukan tukang ojek dan supir losbak. Tapi tak perlu khawatir disini mereka ramah dan tidak ada paksaan untuk menyewa mereka seperti di beberapa tempat lain. Akhirnya saya dan Hafiz deal dengan supir lossbak dan 2 temannya, kami menuju pantai mananga aba dan kampung adat bondo kampumbu. Setelah berkenalan kami cepat akrab dengan Agus, Doni dan Slavianus orang asli Sumba. Hari pertama di Sumba kami tutup dengan menunggu sunset di pelabuhan Waekelo. Sambil bercanda tawa dan minum bir ( mereka bertiga yang minum bir ) hingga matahari terbenam kemudian kami kembali ke hotel.
Kampung Adat Bondo Kapumbu
Slavianus, Agus, Ketua Adat, Doni, Hafiz
Anak- anak mengupas Asam
Pantai Mananga Aba
Sunset Pelabuhan Waekelo
Sunset Waekelo
Sunset Waekelo
04:00 terbangun dari tidur panjang dan cukup nyenyak. Gerimis biasanya kulihat manis kini justru membuatku cemas. Sampai akhirnya mobil bang doni yang kami sewa tiba pukul 08:20 namun gerimis belum juga reda. Bersyukur tidak jadi sewa motor karena sudah pasti basah kalau nekat atau tidak harus nunggu reda baru berangkat explore. Sebentar bangdoni jemput mama ke gereja baru kami berangkat pesiar ( bahasa orang NTT ) . Mayoritas penduduk Sumba adalar beragama kristen dan katolik sehingga banyak orang pigi ke gereja di minggu pagi. Selain Nasrani masih banyak pula masyarakat Sumba yang beragama/ ber keyakinan Marapu. Selesai bangdon jemput mama dari gereja kami segera berangkat, “Aman sudah!” kata bangdon. Perjalanan menuju Bondo Kodi dengan melintasi hutan jati dan beberapa perkampungan. Ada beberapa kemiripan yang saya temukan di Sumba dengan Tuban Jawa Timur. Hutan Jati, Rumah dari anyaman bambu kemudian mulai berganti tembok dari batu kapur, daratan sebagian besar sama sama di dominasi karang dasar laut yang muncul ke permukaan serta banyaknya pohon lontar yang di jadikan minuman ataupun gula khas daerah.
Hutan Jati Kodi
Tiba di desa Kodi kami menambah penumpang sekaligus guide kami menuju Danau/ Laguna Weekuri. Namanya Ongky adik ipar bangdon, asli dari bondokodi dan sudah bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sumba pada umumnya serta bahasa daerah Kodi itu sendiri. Kalau menurut cerita bangdon di Kodi ini masih banyak orang yang tinggal di pinggiran belum banyak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Sumba secara umum pun banyak yang belum bisa, sebagian besar bisa dan pandai bahasa daerah Kodi saja. Ya memang bahasa Kodi dan Weetabula sudah berbeda. Ongky adalah lahir di Kodi dan kini dia adalah seorang lulusan SMA dan lebih sering bekerja sebagai supir truck ekspedisi dari jawa timur/ Surabaya ke Sumba. Di tengah perjalanan bangdon tetiba mendapat telp dari bos nya yang tempo hari memesan Tanah kavling di Sumba Barat Daya. Karena bangdon tidak bisa menemani maka kendali mobil di serahkan kepada Ongky. Biar bangdon tenang mengurus penjualan tanah dengan Bos nya dari Bali. Ya memang benar sedang ada penjualan tanah besar besaran di Sumba. Lanjut perjalanan menuju Weekuri, sebentar kami melewati jalan kampung yang masih cukup bagus dan sebentar kami melewati jalanan tak beraspal menuju laguna weekuri. Dari jalan tak beraspal masih 1 jam perjalanan karena jalan yang tidak bagus maka laju kendaraan pun tak bisa berlari kencang.
Fathur, Ongky, Hafiz
Laguna Weekuri
Sebuah laguna, ya laguna karena air yang masuk adalah air laut melalui sela sela batu karang dalam bahasa Sumba mempunyai arti weekuri adalah air yang dikupas. Jernihnya air laguna dan tenang terlihat gradasi warna tosca ke hijau permata. Laguna dengan di kelilingi oleh batu karang dan berbatasan langsung dengan laut. Saat hari minggu atau liburan Weekuri sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan, baik dari daerah lain di Sumba bahkan dari luar Pulau Sumba sekalipun. Untuk kebersihan di Weekuri masih terbilang cukup terjaga namun sayangnya belum ada tempat sampah yang memadai untuk pengunjung membuang sampahnya. Sebentar saya berenang di laguna merasakan air yang sebening kaca dan dingin menyegarkan. Saya lihat- lihat sekeliling di bawah air tidak nampak adanya kehidupan baik coral maupun ikan. Puas berenang saya naik dan menutup acara di Weekuri dengan mengambil foto serta video dari tebing batas laguna dengan laut.
Tak jauh dari laguna Weekuri kami melanjutkan explore ke pantai mandorak. Pantai kecil dan seolah terdapat mulut/ gerbang yang terbentuk oleh batu karang. Pemandangan dari atas batu karang dan pantai sangat indah. Selain pemandangannya yang indah banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar pantai ini. Para nelayan langsung menjual hasil tangkapanya di pinggir pantai. Dengan perahu kecil/ sampan mereka menjaring ikan sedapatnya dan ada pula yang lainnya dengan cara memancing dari atas batu karang. Tidak begitu lama kami di pantai Mandorak dan langsung melanjutkan ke kampung adat terbesar di Sumba yaitu Ratenggaro. Untuk lama perjalanan dari Weekuri/ Mandorak menuju Ratenggaro sekitar 1 jam. Ratenggaro ini salah satu kampung adat terbesar dengan kubur batu terbanyak di Sumba. Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adat (Uma Kelada) dengan menara yang menjulang tinggi mencapai 15 meter, berbeda dengan rumah – rumah adat di kampung lainnya yang tinggi menaranya hanya mencapai 8 meter. Ratenggaro yang berarti Kubur Garo ini ada 304 buah kubur batu dan 3 diantaranya berbentuk unik yang terletak dipinggir laut dan merupakan kuburan bersejarah. Masyarakat dikampung ini masih mempraktekkan tradisi Marapu dan adat istiadat peninggalan leluhur seperti kampung – kampung lain pada umumnya yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasi situs Kampung Ratenggaro berdekatan dengan situs kampung Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara sungai Waiha dengan bentangan pantai berpasir putih. Kampung Ratenggaro juga sering di datangi oleh wisatawan kapal pesiar karena terletak di pinggir pantai dan terlihat jelas dari kejauhan ketika berada di atas kapal, serta sangat mudah dijangkau dari bibir pantai dengan berjalan kaki sekitar 200 meter. Namun sayang di hari kedua kami explore terpaksa ada 2 destinasi yang di skip, yaitu pantai mbawana dan pantai watu maladong. Dengan alasan jauh dan jalan yang rusak akan memakan waktu kurang lebih 2 jam.
Video Perjalanan Sumba
Pantai Mandorak
Kubur batu Ratenggaro
Setelah dari Ratenggaro kami kembali menuju Waetabula untuk menunggu bus yang menuju Waikabubak. Diantarkan Ongky dengan oto bangdoni kami melaju kencang agar tidak ketinggalan bus. Bus terakhir dari Waetabula menuju Waikabubak adalah pukul 17:00 WITA. Setibanya di Waikabubak kami turun di Polsek kemudian berjalan sebentar ke Hotel Pelita dengan tarif 250/ malam. Kemudian sembari mencari makan malam dan mencari info adakah hotel lain yang lebih murah. Sambil makan nasi soto ayam kami mendapat info dari pemilik warung bahwa ada wisma yang harganya jauh lebih murah yaitu 100ribu/ malam. Dengan diantar anak pemilik warung kami menuju wisma yang tak jauh dari warung si bapak.
09:00 saya sudah siap menunggu bus jurusan Surabaya ( Bungur asih ) dan pukul 22:00 barulah ada bus yang mengangkut saya menuju Bungur. Awalnya saya pikir dalam 2 jam saya sampai di terminal bungur, ya karena bus jenis ini terkenal ugal- ugalan di jalur panturan ( Semarang- Surabaya) namun entah apa yang di pikiran supir saat itu bus melaju sangat lambat bahkan dalam bahasa lebaynya melaju seperti keong. Saya tiba di Bungur sudah pukul 01:30 menunggu barangkali ada Damri dalam lebatnya hujan tengah malam. Info yang saya dapat dari penjaga toilet Damri paling awal adalah pukul 05:00 artinya saya bisa tiba di bandara sudah pukul 06:xx, tak lama pun datang supir taksi menawarkan jasa. Dengan sedikit terpaksa saya sikat harga 75ribu naik taksi ke bandara karena memang sudah tidak ada Damri jam segitu. Pukul 03:00 saya sudah ready di bandara Juanda dan hujan masih turun dengan deras mengguyur bumi. Belum sempet tidur karena sudah mepet juga mau tidur kemudian saya menghampiri travel partner saya Hafiz yang sudah menunggu sedari pukul 20:00. Gerbang check in sudah di buka kami langsung saja masuk dan menunggu flight pukul 06:05 naik Lion Air. Flight Surabaya – Denpasar Alhamdulillah lancar dan aman di tempuh dalam waktu 2 jam ( karena perbedaan waktu). Di Denpasar pindah pesawat ATR Wings Air menuju Tambolaka Sumba dan mendarat di Tambolaka Sumba pukul 12:00. Karena sudah sangat lapar tidak sempat sarapan kami segera mencari warung nasi, ketika sedang makan kami di hampiri orang tak di kenal yang menawarkan hotel. Ternyata yang akhirnya saya tahu namanya oktavianus ini adalah karyawan hotel Sinar Tambolaka yang di rekomendasikan teman saya. Seusai makan siang di bandara kami langsung menuju hotel Sinar dan check in, disini terpaksa check in room standar ( 350ribu/malam) karena room ekonomi sudah full dan hanya bisa menginap satu malam karena keesokan harinya semua full booked.
Kamar Hotel Sinar Tambolaka
Selesai ngobrol dengan resepsionis hotel mengenai destinasi dan bagaimana cara kesana akhirnya kami beranikan diri keluar hotel dan melihat- lihat di sekitar. Tak butuh waktu lama kami langsung di serbu pasukan tukang ojek dan supir losbak. Tapi tak perlu khawatir disini mereka ramah dan tidak ada paksaan untuk menyewa mereka seperti di beberapa tempat lain. Akhirnya saya dan Hafiz deal dengan supir lossbak dan 2 temannya, kami menuju pantai mananga aba dan kampung adat bondo kampumbu. Setelah berkenalan kami cepat akrab dengan Agus, Doni dan Slavianus orang asli Sumba. Hari pertama di Sumba kami tutup dengan menunggu sunset di pelabuhan Waekelo. Sambil bercanda tawa dan minum bir ( mereka bertiga yang minum bir ) hingga matahari terbenam kemudian kami kembali ke hotel.
Kampung Adat Bondo Kapumbu
Slavianus, Agus, Ketua Adat, Doni, Hafiz
Anak- anak mengupas Asam
Pantai Mananga Aba
Sunset Pelabuhan Waekelo
Sunset Waekelo
Sunset Waekelo
04:00 terbangun dari tidur panjang dan cukup nyenyak. Gerimis biasanya kulihat manis kini justru membuatku cemas. Sampai akhirnya mobil bang doni yang kami sewa tiba pukul 08:20 namun gerimis belum juga reda. Bersyukur tidak jadi sewa motor karena sudah pasti basah kalau nekat atau tidak harus nunggu reda baru berangkat explore. Sebentar bangdoni jemput mama ke gereja baru kami berangkat pesiar ( bahasa orang NTT ) . Mayoritas penduduk Sumba adalar beragama kristen dan katolik sehingga banyak orang pigi ke gereja di minggu pagi. Selain Nasrani masih banyak pula masyarakat Sumba yang beragama/ ber keyakinan Marapu. Selesai bangdon jemput mama dari gereja kami segera berangkat, “Aman sudah!” kata bangdon. Perjalanan menuju Bondo Kodi dengan melintasi hutan jati dan beberapa perkampungan. Ada beberapa kemiripan yang saya temukan di Sumba dengan Tuban Jawa Timur. Hutan Jati, Rumah dari anyaman bambu kemudian mulai berganti tembok dari batu kapur, daratan sebagian besar sama sama di dominasi karang dasar laut yang muncul ke permukaan serta banyaknya pohon lontar yang di jadikan minuman ataupun gula khas daerah.
Hutan Jati Kodi
Tiba di desa Kodi kami menambah penumpang sekaligus guide kami menuju Danau/ Laguna Weekuri. Namanya Ongky adik ipar bangdon, asli dari bondokodi dan sudah bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sumba pada umumnya serta bahasa daerah Kodi itu sendiri. Kalau menurut cerita bangdon di Kodi ini masih banyak orang yang tinggal di pinggiran belum banyak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Sumba secara umum pun banyak yang belum bisa, sebagian besar bisa dan pandai bahasa daerah Kodi saja. Ya memang bahasa Kodi dan Weetabula sudah berbeda. Ongky adalah lahir di Kodi dan kini dia adalah seorang lulusan SMA dan lebih sering bekerja sebagai supir truck ekspedisi dari jawa timur/ Surabaya ke Sumba. Di tengah perjalanan bangdon tetiba mendapat telp dari bos nya yang tempo hari memesan Tanah kavling di Sumba Barat Daya. Karena bangdon tidak bisa menemani maka kendali mobil di serahkan kepada Ongky. Biar bangdon tenang mengurus penjualan tanah dengan Bos nya dari Bali. Ya memang benar sedang ada penjualan tanah besar besaran di Sumba. Lanjut perjalanan menuju Weekuri, sebentar kami melewati jalan kampung yang masih cukup bagus dan sebentar kami melewati jalanan tak beraspal menuju laguna weekuri. Dari jalan tak beraspal masih 1 jam perjalanan karena jalan yang tidak bagus maka laju kendaraan pun tak bisa berlari kencang.
Fathur, Ongky, Hafiz
Laguna Weekuri
Sebuah laguna, ya laguna karena air yang masuk adalah air laut melalui sela sela batu karang dalam bahasa Sumba mempunyai arti weekuri adalah air yang dikupas. Jernihnya air laguna dan tenang terlihat gradasi warna tosca ke hijau permata. Laguna dengan di kelilingi oleh batu karang dan berbatasan langsung dengan laut. Saat hari minggu atau liburan Weekuri sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan, baik dari daerah lain di Sumba bahkan dari luar Pulau Sumba sekalipun. Untuk kebersihan di Weekuri masih terbilang cukup terjaga namun sayangnya belum ada tempat sampah yang memadai untuk pengunjung membuang sampahnya. Sebentar saya berenang di laguna merasakan air yang sebening kaca dan dingin menyegarkan. Saya lihat- lihat sekeliling di bawah air tidak nampak adanya kehidupan baik coral maupun ikan. Puas berenang saya naik dan menutup acara di Weekuri dengan mengambil foto serta video dari tebing batas laguna dengan laut.
Tak jauh dari laguna Weekuri kami melanjutkan explore ke pantai mandorak. Pantai kecil dan seolah terdapat mulut/ gerbang yang terbentuk oleh batu karang. Pemandangan dari atas batu karang dan pantai sangat indah. Selain pemandangannya yang indah banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar pantai ini. Para nelayan langsung menjual hasil tangkapanya di pinggir pantai. Dengan perahu kecil/ sampan mereka menjaring ikan sedapatnya dan ada pula yang lainnya dengan cara memancing dari atas batu karang. Tidak begitu lama kami di pantai Mandorak dan langsung melanjutkan ke kampung adat terbesar di Sumba yaitu Ratenggaro. Untuk lama perjalanan dari Weekuri/ Mandorak menuju Ratenggaro sekitar 1 jam. Ratenggaro ini salah satu kampung adat terbesar dengan kubur batu terbanyak di Sumba. Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adat (Uma Kelada) dengan menara yang menjulang tinggi mencapai 15 meter, berbeda dengan rumah – rumah adat di kampung lainnya yang tinggi menaranya hanya mencapai 8 meter. Ratenggaro yang berarti Kubur Garo ini ada 304 buah kubur batu dan 3 diantaranya berbentuk unik yang terletak dipinggir laut dan merupakan kuburan bersejarah. Masyarakat dikampung ini masih mempraktekkan tradisi Marapu dan adat istiadat peninggalan leluhur seperti kampung – kampung lain pada umumnya yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasi situs Kampung Ratenggaro berdekatan dengan situs kampung Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara sungai Waiha dengan bentangan pantai berpasir putih. Kampung Ratenggaro juga sering di datangi oleh wisatawan kapal pesiar karena terletak di pinggir pantai dan terlihat jelas dari kejauhan ketika berada di atas kapal, serta sangat mudah dijangkau dari bibir pantai dengan berjalan kaki sekitar 200 meter. Namun sayang di hari kedua kami explore terpaksa ada 2 destinasi yang di skip, yaitu pantai mbawana dan pantai watu maladong. Dengan alasan jauh dan jalan yang rusak akan memakan waktu kurang lebih 2 jam.
Video Perjalanan Sumba
Pantai Mandorak
Kubur batu Ratenggaro
Setelah dari Ratenggaro kami kembali menuju Waetabula untuk menunggu bus yang menuju Waikabubak. Diantarkan Ongky dengan oto bangdoni kami melaju kencang agar tidak ketinggalan bus. Bus terakhir dari Waetabula menuju Waikabubak adalah pukul 17:00 WITA. Setibanya di Waikabubak kami turun di Polsek kemudian berjalan sebentar ke Hotel Pelita dengan tarif 250/ malam. Kemudian sembari mencari makan malam dan mencari info adakah hotel lain yang lebih murah. Sambil makan nasi soto ayam kami mendapat info dari pemilik warung bahwa ada wisma yang harganya jauh lebih murah yaitu 100ribu/ malam. Dengan diantar anak pemilik warung kami menuju wisma yang tak jauh dari warung si bapak.