Kamis, 11 September 2014

Main- main ke Taman Laut 17 Riung, Flores

# Video Perjalanan Menuju NTT #

 

IMG_3458_Snapseed

Taman Laut 17 Riung, diambil dari Bog S

Cukup mengunjungi dan menangkap berbagai pengalaman baru serta melihat kegiatan warga kampung Bena saya dan Ndank melanjutkan ke tujuan selanjutnya. Riung, ya awalnya saya hanya tau namanya Riung. Bermodal kata Riung sudah banyak orang yang tau kenapa saya dan Ndank ingin banget pergi kesana. Sebuah taman laut 17 Riung yang cukup terkenal dengan kepulauan dan pesona underwaternya. Disalah satu postingan saya ada komentar dari teman saya waktu SMP, Andina namanya yang mengenalkan dengan temannya yang seorang dokter yang sedang “semacam magang”di puskesmas Riung bisa di bilang mengabdi untuk warga masyaraka Riung. Setelah janjian bahwa malam harinya akan tiba di Riung saya dan Ndank pun segera mengemasi barang dan lanjut tancap Gas. Melintasi pelosok desa dengan jalan yang semakin dalam masuk pelosok semakin rusak parah bagaikan usai di hujani oleh geranat hingga hancur tak beraturan. Jalanan sepi kanan kiri pun tak ada perkampungan atau rumah warga, hanya beberapa kebun warga yang pemiliknya tinggal di desa agak jauh dari kebun. Senja semakin meninggalkan kami berdua tanpa orang lain lagi yang ada di jalan ini. Jalanan menjadi terasa semakin sepi karena senja semakin gelap dan pandangan semakin sempit.

IMG_3755_Snapseed

Jalan yang jauh dari perkampungan ini gelap total, jangankan lampu penerangan jalan lawong lampu rumah atau bahkan rumahnya warga desa pun tak ada satupun. Sempet melihat ada sedikit rumah suatu perkampungan ketika masih terang di beberapa belas km kelewat. Tersisa cahaya yang melekat di depan motor kami berdua yang cukup menerangi jalanan terjal hancur berbatu dan berdebu ini. Karena lampu di dominasi dari kendaraan kami berdua justru membuat pandangan kami leluasa tidak ada silau dan cukup terang di bantu oleh cahaya bintang dan galaksi susu, eh bimasakti maksudnya. Jalanan yang gelap memaksa mata kami berdua harus fokus dan terus terjaga menyorot kedepan dan kanan kiri karena ternyata jalan yang kami lintasi adalah diatas tebing. Berjalan di atas tebing terkadang di kanan atau di kiri tebing naik turun dan berkelok menandakan bahwa pantai masih cukup jauh. Rasanya memang ngeri cuma berdua riding di jalanan rusak berbat berdebu dan kanan kiri pun kadang berupa jurang/ tebing curam. Selama berkendara sempat terlintas fikiran negatif dan takut namun apa boleh buat kami harus terus melaju dan mlintir gas motor kami. Beberapa saat kemudian entah dimana kami berdua pun tak tau rimbanya kedatangan tamu tak di undang. Tadinya kami riding berdua yang harap harap cemas kini menjadi riding bertiga dan justru semakin cemas. Pikiran jelek pun terus membayangi saya ntah dengan Ndank, apakah orang ketiga ini berniat jahat atau entahlah. Semakin dalam masuk jalur yang semakin absurd pohon tinggi tinggi menjulang di kanan kiri jalan serta semak belantara yang sangat rapat namun orang ini tak menunjukkan akan melakukan perbuatan jahat. Bahkan jikalaupun dia orang jahat sudah habis kami di babat dari belakang sedari tadi. Yasudah akhirnya saya berfikir positif bahwa memang orang ini adalah teman riding kami selama perjalanan sampai Riung. Terus riding bertiga menyusuri hutan bambu, hutan jati, dan perkebunan warga yang pemiliknya entah dimana yang jelas tinggal nan jauh disana. Perjalanan malam gelap di temani cahaya bintang dan lampu motor kami bertiga. Milkyway kesukaanku pun ikut menghibur dari atas sana bahkan hampir membuatku melamun dan tidak konsentrasi dalam berkendara. Lupa kalau jalan masih beberapa kali di batasi jurang efek terpesona oleh milkyway yang begitu terangnya saya hampir masuk jurang. Tidak cuma sekali hampir keluar jalur bahkan beberapa kali saya hampir masuk jurang dan masuk semak belukar. Jalanan yang lurus mulus tiba tiba belok 90 derajat tanpa ada rambu rambu dan penerangan hanya dari motor kami bertiga. Orang yang tidak terbiasa lewat jalan ini seperti saya pasti kedandapan gelagepan mengatasinya.

Ndank, Dr Faiz, Fathur

Akhirnya kami selesai melintasi jalur penuh kejutan dan jalan pun mulai datar serta lurus. Kami manfaatkan untuk meggeber motor kami sekencang- kencangnya agar cepat sampai karena hari semakin malam dan raga ini lelah sekali rasanya. Beberapa belas menit menggeber motor melewati jalanan lurus mulus aroma pantai Riung pun tercium sudah. Orang ketiga yang ikut riding yang akhirnya saya ketahui seorang TNI berteriak memanggil kami sepertinya menawarkan untuk mampir sambil berbelok masuk gang. Dan beberapa menit kemudian kami tiba di masjid, dan warga muslim Riung telah selesai melaksanakan shalat Isya berjamaah. Shalat, istirahat sebentar dan kemudian menghubungi Dr Faiz teman Andina sekampus di UNDIP Semarang. Saya dan Ndank menginap 2 malam di rumah dinasnya Dr Faiz. Malam itu di awal perkenalan kami di mulai dengan ngobrol di ruang tengah sejam dua jam bercerita tentang perjalanan kami. Dr Faiz berasal dari Pulau Sabu namun besar di Kupang. Orang baik, mudah melebur dengan orang baru, gokil dan rupanya dokter muda yang sedang PTT di PUSKESMAS Riung ini suka naik gunung juga. Salah satu ceritanya adalah pernah mau naik semeru namun karena merasa sedang sakit kemudian mendiagnosa sendiri dan akhirnya ketahuan bahwa harus operasi maka di batalkannya rencana dia naik ke Semeru. Malam perkenalan kami saat itu adalah hari Kamis, dengan arti bahwa keesokan harinya adalah hari Jumat. Saya ceritakan niat dan rencana kami berdua bahwa sangat ingin snorkling dan hoping island di taman laut 17 Riung. Karena hari Jumat adalah hari baik dan hari besar umat Islam yang artinya ada ibadah besar yang harus di tunaikan yaitu shalat Jumat maka disarankan lah untuk oaginya ke bog S ( bog=kelokan) untuk melihat sunrise dan melihat taman laut 17 dari atas bukit.

IMG_5822_Snapseed

IMG_3923_Snapseed

IMG_3930_Snapseed

Seusai shalat jumat barulah saya dan Ndank explore taman laut 17 Riung. Karena waktu kami lebih singkat kami hanya mengunjungi pulau 3, pulau Rutong dan pulau kelelawar. Di pulau 3 sebelum mendarat ke pantainya kami mencoba snorkling namun arus bawah sedang kencang, hanya lelah yang saya dapat pemandangan juga jadi kurang jelas terlihat. Di spot snorkling kedua pun yang letaknya dekat pulau Rutong juga tak terlihat ada pemandangan bagus. Ya tidak mengapa karena uperwaternya pun sangat indah menawan dan memikat hati. Pulau Rutong yang menjadi primadona dan ikon bahwa kalau sudah mengunjungi pulau Rutong berarti sudah ke Riung. Bermain di tepi pantai dan bisa juga mengexplore ke atas bukit pulau Rutong serta pemandangan dari atas pun sangat indah. Hamparan pasir putih berkilauan di sapu ombak serta air laut gradasi biru muda hingga biru tua terlihat sangat cantik. Rumput tipis hijau mulai kecoklat-emasan di permukaan bukit pun menambah semakin eksotis untuk di jadikan spot foto- foto selfi atapun narsis.

IMG_3937_Snapseed

IMG_3943_Snapseed

IMG_3955_Snapseed

Lanjut menuju pulau Kelelawar, ya untuk pulau kelelawar kami tidak di sarankan turun dari perahu karena cukup melihat dari atas perahu kelelawarnya sudah mendatangi dan menghibur kami yang datang. Bisa di perkirakan ada ratusan bahkan ribuan kelelawar yang mendiami pulau kelelawar ini. Selesai menengok kelelawar ( kalong lebih tepatnya karena ukurannya yang besar ) kami pun merapa ke dermaga dan masih sempat di beri kejutan sunset yang begitu menakjubkan. Dengan foreground beberapa perahu bersandar di dermaga kemudian jembatan dermaga sendiri bisa di manfaatkan sebagai foreground dalam membidikan kamera.

IMG_4109_Snapseed

IMG_4149_Snapseed

IMG_4719_Snapseed

IMG_4717_Snapseed

 

Kampung Bena, Bajawa

Kampung Bena, salah satu kampung adat yang masih terpelihara dengan baik di bawah gunung Ienerie. Suasana adem dan asri menyelimuti perkampungan yang tidak seberapa besar ini. Masih termasuk dalam kawasan lereng gunung Ienerie menjadikan udara dingin khas pegunungan menyejukkan untuk di hirup. Pepohonan yang rindang serta tanah yang subur memberikan limpahan kekayaan hasil kebun untuk warga masyarakat kampung Bena dan sekitarnya. Dari Ruteng tak seberapa jauh jika ingin ke Riung bisa mampir sebentar ke kampung Bena di Bajawa ini. Sebelum masuk kota Bajawa belok kekanan masuk terus ikuti jalan dan petunjuk.
# Video Perjalanan Menuju NTT #

IMG_5180

Perkampungan Bena ini hanya terdiri beberapa rumah adat saja, semuanya berdiri mengelilingi halaman tengah yang kemudian di manfaatkan warga sebagian sebagai kuburan keluarga, arena bermain anak- anak dan beberapa gazebo untuk duduk dan bersantai. Rumah adat di dominasi terbuat dari papan kayu dan atap dari ilalang serta beberapa dari bambu yang di belah dan di tumpuk menjadi atap. Hasil kebun yang di unggulkan masih tidak berbeda dengan kampung adat lainnya yaitu kopi. Tidak heran jika nanti kamu berkunjung ke Flores maka hampir di setiap kota atau daerah akan di tawari kopi hitam. Flores memang masuk daftar penghasil kopi nikmat di indonesia. Selain kopi di kampung ini juga menghasilkan kain tenun, kain khas Flores yang masih di tenun secara tradisional dengan alat sederhana peninggalan nenek moyang. Anak- anak kecil bermain lincah dan ceria di pelataran halaman kampung. Beberapa mama dan anaknya yang mulai dewasa sedang membuat kain tenun dan di bantu anaknya yang sedang memintal benang tenun. Sambil mengunyah sirih pinang mereka menghasilkan kain tenun tradisional yang kualitasnya sudah bagus. Kain- kain tenun di jual bersama hasil kerajinan tangan lainnya seperti gelang, anyam- anyaman berupa tas dan hiasan rumah.

IMG_3400

IMG_3455

Danau Ranamese, Keheningan Ditelan Rimba

Danau Ranamese yang tak jauh dari kota Ruteng, danau di tengah hutan rimba lebat dan menyimpan ribuan kesunyian dan misteri. Dingin di pagi hari waktu menunjukkan pukul 09:00 terasa lebih dingin di bandingkan ketika di kota Ruteng, Danau yang pasti di lewati ketika meninggalkan Ruteng menuju Bajawa ini sekaligus seolah menjadi batas antara Ruteng dan Bajawa.

#Video Perjalanan Menuju NTT #

Danau dengan luas 11 Ha air yang bening kebiruan sebening batu safir seakan ditelan rimba suasana sepi dan udara dingin membuat semakin sempurna. Airnya yang jernih juga di manfaatkan oleh warga masyarakat sekitar untuk kegiatan dan kehidupan sehari- hari. Jika tidak memperhatikan dengan hati- hati maka sepintas lewat saja lokasi danau ini seolah di sembunyikan oleh belantara hutan. Ketika dari Ruteng menuju Bajawa setelah masuk hutan cagar alam di sebelah kiri ada gapura tanpa tulisan selamat datang maupun petunjuk arah dan itulah danau Ranamese. Letaknya di dataran tinggi seperti Dieng kabut pun tak bosan untuk singgah atau sekedar mampir lewat sebentar. Langit ditutupi oleh kabut bahkan matahari pun tak mampu menembuskan sinarnya, suasana pun seolah masih jam 06:00 pagi. Kicau burung serta suara gemuruh air melewati selokan yang mengalir ke sungai seolah berpadu menciptakan irama merdu.

IMG_3074 IMG_3108 IMG_3111

Saya masih asik menikmati suasana tenang damai dengan alunan kicau burung dan gemuruh air sedangkan Ndank sedang gelisah karena mendapat telpon dari kantornya. Selama Ndank masih berkutat dengan Partner dan Bosnya saya manfaatkan waktu untuk foto- foto. Langit penuh kabut berangsur berganti coretan biru cerah pertanda kabut segera pergi membuka langit dan mempersilahkan cahaya matahari masuk ke dalam hutan. Birunya langit di hiasi gumpalan awan putih terpantuk di permukaan air danau yang bening seolah terjadilah refleksi yang begitu sempurna.

IMG_3071 IMG_3113

IMG_3123

Ruteng, Dingin di pulau 9 Matahari

Hemm sebelumnya cerita ini adalah lanjutan dari perjalanan dari Labuhan Bajo tepatnya Cunca Wulang dan Danau Sanonggoang. Tentang Cunca Wulang ada berita duka yang saya terima dari saudara saudara di desa Cunca Wulang yaitu berita meninggalnya kaka Wens Hendra, penggerak desa wisata Cunca Wulang. Kaka Wens ini yang sudah berbaik hati memberikan saya dan Ndank tumpangan tinggal semalam di desanya. Mendengar kabar ini saya kaget dan seperti tidak percaya, namun kematian itu datangnya pasti dan semua yang hidup akan mati. Sedih pastinya, apalagi orang- orang yang di tinggalkannya ada mama, istri kaka Wens dan anaknya yang masih kecil semoga mereka di beri ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Semoga kaka Wens tenang disana Amin.

IMG_1645

Selamat Jalan Kaka Wens, Jasamu Untuk Desa Cunca Wulang akan sangat berharga dan berkenang. ( * kak wens yang gendong anak )

IMG_1598

Seusai menjelajah Cunca Rami dan Danau sanonggoang kami berdua melanjutkan menuju Ruteng, ya sebuah kota kecil dingin dan damai. Ruteng begitu panas ketika siang terik matahari seolah berjarak 5cm saja dengan kepala dan ada juga yang menyebutknya ada 9 matahari di Flores ini. Namun Ruteng menjadi sangat dingin ketika malam hingga pagi hari. Sore harinya sebelum kami tiba di Ruteng mampir terlebih dahulu ke desa Cancar yang terkenal dengan Spiderweb itu. Sawah yang masa jaman dahulu kala cara pembagiannya terbilang sangat unik. Sebuah Patok di tancapkan di tengah kemudian di tarik garis keluar secara merata dan di potong- potong yang akhirnya bentuknya menyerupai sarang laba- laba. Kami berdua tiba sudah agak terlambat karena matahari mulai meninggalkan desa Cancar awan tebal kelabu pun menebal menambah semakin gelapnya sore itu. Alhamdulillah masih di berikan sedikit cahaya untuk menikmati sebentar keindahan sawah laba- laba dari bukit Cancar.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

IMG_1962 IMG_1975

Diantarkan 2 gadis kecil yang baik dan lucu agar kami tak tersesat dan segera sampai di atas bukit. Senja yang sedari tadi di selimuti awan mendung langit pun semakin gelap. Semakin lama mata dan sensor kamera sudah tak mampu menikmati indahnya sawah spider desa Cancar. Semakin dingin hembusan angin di atas bukit tandanya kami sebaiknya segera turun dan melanjutkan perjalanan ke Ruteng sebelum malam semakin gelap. Tiba diparkiran sebelum meninggalkan desa Cancar saya di tawari kopi asli flores yang terkenal keaslian bijih kopi dan di olah secara sederhana dan tanpa campuran apapun. Harga setoples kopi 150 ribu sebenernya pengen banget membelinya namun mengingat perjalanan saya masih separuh saya urungkan niat saya. Dari parkiran saya mencoba menghubungi kang Aryo CB Majalengka yang tinggal di Ruteng. Langsung to the poin saja bahwa kami ingin menumpang menginap untuk semalam dua malam di tempat kang Aryo. Malam dingin sembari menunggu di jemput kang Aryo saya dan Ndank mengisi BBM terlebih dahulu karena semakin ke Timur semakin susah dan panjang antriannya untuk mengisi BBM. Pas banget selesai mengisi BBM pas Kang Aryo datang menjemput di Pom Bensin Ruteng. Alhamdulillah bertambah lagi saudara kami di tanah Flores ini. Perkenalan yang sangat cepat dan kami pun cepat membaur mengisi malam dengan obrolan seputar motor tua, tanah Flores, Kehidupan dan suku primitif di Sumba. Sambil ngopi dan menonton film apocalypto yang bercerita tentang kehidupan suku pedalaman hutan. Kehidupan yang jauh dari modern dan peradaban maju, jangankan TV, HP, dan Laptop listrik pun tak ada. Kira- kira gambaran ekstrimnya di beberapa pelosok Flores seperti itu, listrik belum masuk dan kendaraan masih menjadi barang sangat mewah bagi mereka.

IMG_2316 IMG_2300 IMG_2292

Rasa kantuk yang tak tertahankan akhirnya membuat saya menyerah dan pamit duluan untuk tidur, begitu juga Ndank ikut tidur duluan sedangkan kang Aryo masih sibuk menyiapkan lotre yang besok harus di edarkan keliling penjuru pelosok Flores. Esok hari datang mentari menyapa menghangatkan suasana dan jiwa. Secangkir kopi hitam khas Flores sudah terhidang bersama sepiring gorengan menemani kami ngobrol sebentar sebelum saya dan Ndank meninggalkan Ruteng menuju Desa Waerebo. Rute menuju Waerebo adalah balik ke arah desa Cancar kemudian masuk ke arah desa Todo kemudian Dintor dan terkahir kami parkir motor di Desa Denge. Sejauh 80 KM perjalanan kami tempuh dengan Motor selama 2 jam dan treking 8 km dari desa Denge menuju Waerebo selama 2 jam pula.

Ruteng, Dingin di pulau 9 Matahari

Hemm sebelumnya cerita ini adalah lanjutan dari perjalanan dari Labuhan Bajo tepatnya Cunca Wulang dan Danau Sanonggoang. Tentang Cunca Wulang ada berita duka yang saya terima dari saudara saudara di desa Cunca Wulang yaitu berita meninggalnya kaka Wens Hendra, penggerak desa wisata Cunca Wulang. Kaka Wens ini yang sudah berbaik hati memberikan saya dan Ndank tumpangan tinggal semalam di desanya. Mendengar kabar ini saya kaget dan seperti tidak percaya, namun kematian itu datangnya pasti dan semua yang hidup akan mati. Sedih pastinya, apalagi orang- orang yang di tinggalkannya ada mama, istri kaka Wens dan anaknya yang masih kecil semoga mereka di beri ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Semoga kaka Wens tenang disana Amin.

IMG_1645

Selamat Jalan Kaka Wens, Jasamu Untuk Desa Cunca Wulang akan sangat berharga dan berkenang. ( * kak wens yang gendong anak )

IMG_1598

Seusai menjelajah Cunca Rami dan Danau sanonggoang kami berdua melanjutkan menuju Ruteng, ya sebuah kota kecil dingin dan damai. Ruteng begitu panas ketika siang terik matahari seolah berjarak 5cm saja dengan kepala dan ada juga yang menyebutknya ada 9 matahari di Flores ini. Namun Ruteng menjadi sangat dingin ketika malam hingga pagi hari. Sore harinya sebelum kami tiba di Ruteng mampir terlebih dahulu ke desa Cancar yang terkenal dengan Spiderweb itu. Sawah yang masa jaman dahulu kala cara pembagiannya terbilang sangat unik. Sebuah Patok di tancapkan di tengah kemudian di tarik garis keluar secara merata dan di potong- potong yang akhirnya bentuknya menyerupai sarang laba- laba. Kami berdua tiba sudah agak terlambat karena matahari mulai meninggalkan desa Cancar awan tebal kelabu pun menebal menambah semakin gelapnya sore itu. Alhamdulillah masih di berikan sedikit cahaya untuk menikmati sebentar keindahan sawah laba- laba dari bukit Cancar.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

IMG_1962 IMG_1975

Diantarkan 2 gadis kecil yang baik dan lucu agar kami tak tersesat dan segera sampai di atas bukit. Senja yang sedari tadi di selimuti awan mendung langit pun semakin gelap. Semakin lama mata dan sensor kamera sudah tak mampu menikmati indahnya sawah spider desa Cancar. Semakin dingin hembusan angin di atas bukit tandanya kami sebaiknya segera turun dan melanjutkan perjalanan ke Ruteng sebelum malam semakin gelap. Tiba diparkiran sebelum meninggalkan desa Cancar saya di tawari kopi asli flores yang terkenal keaslian bijih kopi dan di olah secara sederhana dan tanpa campuran apapun. Harga setoples kopi 150 ribu sebenernya pengen banget membelinya namun mengingat perjalanan saya masih separuh saya urungkan niat saya. Dari parkiran saya mencoba menghubungi kang Aryo CB Majalengka yang tinggal di Ruteng. Langsung to the poin saja bahwa kami ingin menumpang menginap untuk semalam dua malam di tempat kang Aryo. Malam dingin sembari menunggu di jemput kang Aryo saya dan Ndank mengisi BBM terlebih dahulu karena semakin ke Timur semakin susah dan panjang antriannya untuk mengisi BBM. Pas banget selesai mengisi BBM pas Kang Aryo datang menjemput di Pom Bensin Ruteng. Alhamdulillah bertambah lagi saudara kami di tanah Flores ini. Perkenalan yang sangat cepat dan kami pun cepat membaur mengisi malam dengan obrolan seputar motor tua, tanah Flores, Kehidupan dan suku primitif di Sumba. Sambil ngopi dan menonton film apocalypto yang bercerita tentang kehidupan suku pedalaman hutan. Kehidupan yang jauh dari modern dan peradaban maju, jangankan TV, HP, dan Laptop listrik pun tak ada. Kira- kira gambaran ekstrimnya di beberapa pelosok Flores seperti itu, listrik belum masuk dan kendaraan masih menjadi barang sangat mewah bagi mereka.

IMG_2316 IMG_2300 IMG_2292

Rasa kantuk yang tak tertahankan akhirnya membuat saya menyerah dan pamit duluan untuk tidur, begitu juga Ndank ikut tidur duluan sedangkan kang Aryo masih sibuk menyiapkan lotre yang besok harus di edarkan keliling penjuru pelosok Flores. Esok hari datang mentari menyapa menghangatkan suasana dan jiwa. Secangkir kopi hitam khas Flores sudah terhidang bersama sepiring gorengan menemani kami ngobrol sebentar sebelum saya dan Ndank meninggalkan Ruteng menuju Desa Waerebo. Rute menuju Waerebo adalah balik ke arah desa Cancar kemudian masuk ke arah desa Todo kemudian Dintor dan terkahir kami parkir motor di Desa Denge. Sejauh 80 KM perjalanan kami tempuh dengan Motor selama 2 jam dan treking 8 km dari desa Denge menuju Waerebo selama 2 jam pula.

PertolonganNya Lewat Nelayan Di Pesisir Pulau Lembata

Pagi hari hujan lebat tetesan airnya berjatuhan diatas atap rumah bergemuruh bagaikan hempasan ombak menabrak karang. Dingin dan udara sejuk yang tak ku hirup seperti biasanya karena baru pagi ini di Kota Padang kurasakan dingin dan sejuk. 14 Juni 2015 masih menginjakkan kaki di ranah Minangkabau entah sampai kapan belum tahu pastinya. Belum mandi, ya karena dingin tak seperti biasanya malah langsung menyambar novel tentang perjalanan di samping tempat tidur. Membuka lembar demi lembar dan baru di lembaran ketiga saya teringat tentang perjalanan saya sendiri ketika melintasi sebagian bumi Indonesia Timur. Inti cerita yang teringat sebenarnya adalah ketika di ajak makan malam bersama keluarga bapak Ahmad petualang sejati dari Sulawesi yang mendamparkan dirinya di pesisir pulau Lembata.

Padang Garam sebelum masuk perkampungan penduduk

Gunung ILE APE dari kejauhan

Gunung ILE APE

Malam gelap tanpa cahaya sedikitpun kecuali dari lampu motor kami berdua yang terus menerobos gelap di jalan aspal rusak entah sudah berapa belas tahun tidak di perbaiki. Rumah penduduk terlihat bagaikan bayangan di kanan dan kiri seolah tanpa ada penghuninya. Bau debu berterbangan yang mengalahkan bau asap kedua motor kami. Suasana yang tenang dan hening seketika pecah oleh raungan mesin motor kami berdua serta bunyi dentuman shockbreker karena roda menari diatas jalanan yang hancur berantakan. Saya sendiri bingung dan tidak tau jika harus di suruh menirukan bagaimana suara tersebut jika di deskripsikan lewat suara mulut saya. Listrik yang belum sepenuhnya masuk ke desa ini *( tiang listrik dan kabel listrik secara fisik sudah ada namun listriknya hampir bisa di hitung jari berapa kali mengalirnya ke desa ) yang rupanya membuat gelap gulita tanpa cahaya. Sempat saya berfikir bahwa belum ada sama sekali jaringan listrik PLN yang menembus desa ini. Jalanan yang masih hancur berantakan seolah usai di hujani oleh ratusan geranat namun mulai tidak terlihat di kanan dan kiri rumah penduduk dan berganti dengan pepohonan. Suasana semakin sunyi senyap membuat tangan kami spontan menambah untiran gas motor agar kecepatan laju motor kami bertambah kencang. Hingga akhirnya kami tiba di pasar lelang ikan *( lebih tepatnya pasar kaget pinggir jalan, karena tidak terlihat seperti pasar namun hanya lapak lapak kecil di pinggir jalan yang menjajakan ikan segar ) dan terjadilah perdebatan antara saya dan Endang tentang apakah kami harus lanjut atau berhenti istirahat satu malam di Desa ( lupa namanya ). Di depan sebuah warung modern ( bagi saya modern karena sudah bertembok ) kami sedang berdiskusi alot karena saya ingin berhenti saja dan Endang ingin terus lanjut dan lebih khawatir istirahat di sekitar TPI karena sangat gelap. Akhirnya diputuskan untuk istirahat saja dan bertanya di mana ada masjid atau mushala kepada bapak pemilik warung, karena kami sepakat dan menghargai saran warga yang sempat kami temui ketika hari belum gelap di desa sebelumnya. Katanya selain jalanan gelap gulita sunyi senyap dan hampir tidak ada yang melewati ketika gelap, rusaknya jalan di manfaatkan beberapa orang tak baik untuk melakukan kejahatan. Setelah mendapat petunjuk kami segera menuju masjid yang terletak di dalam kampung dengan melewati jalan berbatu terus lurus saja dan kemudian belok kekanan di ujung jalan terlihat masjid setengah jadi. Tepat di ujung jalan perkampungan dan di tepi pantai yang debur ombaknya terdengar dari dalam masjid. Masjid sederhana dan masih setengah jadi namun terasa kehangatannya ketika di dalamnya. Langit gelap dan bertabur bintang serta milkyway menghiasi diatas kubah dan atap masjid. Seusai shalat magrib dan isya di jamak saya charge HP dengan powerbank ( tidak ada listrik ) serta menata beberapa perabotan dalam carir. Endang yang sedang sibuk menata baju serta kameranya dan menyiapkan lapak untuk tidur. Karena capek kami berdua tiduran sambil menunggu mata terpejam tiba- tiba kami di kejutkan oleh ketukan pintu masjid. “tok tok tok ( ketukan keras di pintu ) Assalamu’alaykum…. ” ucap seorang bapak dari luar masjid. ” Wa’alaykumsalam… ” sahut saya sambil bangun dari tiduran dan bergegas mengemasi barang- barang kemudian menuju pintu untuk membukanya. Ya langsung mengemasi barang karena kami tau masjid bukan untuk tidur/ numpang menginap ( tapi kami terpaksa), saya berfikir bahwa kami akan di usir oleh takmir masjid atau imam di masjid yang kami singgahi. Pintu pun saya buka dan terlihat di luar seorang bapak kira- kira berusia 40 tahun dengan obor menyala di genggaman tangannya. Tak saya sangka yang tadinya saya pikir akan mengusir kami berdua ternyata berucap ” nak mari kita makan malam dulu di rumah saya “, “ya Allah terima kasih banyak Engkau selalu mempertemukanku dengan orang- orang yang baik dalam setiap perjalanan saya”- gumam saya dalam hati.

Masjid yang kami singgahi semalam

Ruangan dalam masjid

Mengikuti jejak kaki bapak yang mengajak kami makan malam di rumahnya, tak jauh dari masjid kami sudah tiba. Di dalam ruang makan yang bersebelahan dengan dapur sudah ramai keluarga sedang berkumpul. ” sini kita makan dulu… ” ucap bapak sambil menyiapkan kursi untuk kami duduk yang kemudian membuka kerodong penutup makanan di atas meja. Tersaji sayur, nasi dan ikan laut goreng serta sambal yang terlihat begitu mewah dan istimewa bagi saya. ” Ayo makan dulu seadanya, adanya cuma begini ” ucap bapak yang kemudian saya sambar ” wah kalau ini sudah lebih dari seadanya pak ” sambil saya tersenyum kepada se isi ruangan. Selesai makan kami ngobrol sambil berkenalan yang kemudian saya tau nama bapak yang sangat baik hati ini adalah Ahmad. Seorang petualang tangguh dari Sulawesi yang akhirnya memilih untuk mendirikan rumah di tepi pantai pulau Lembata. Sudah belasan tahun pak Ahmad menggantungkan hidupnya di lautan demi mencari ikan. Berkah dari Allah untuk laut Nusa Tenggara Timur tidak pernah habis ikannya untuk menghidupi keluarga pak Ahmad. Sambil mendengarkan ceritanya ku pandangi segala isi ruangan ke segala penjuru. Istri pak Ahmad duduk sambil menggendong anaknya yang paling kecil kemudian dua anaknya yang lain sedang bercanda berlarian dan duduk pula dua saudara wanita pak Ahmad di samping istrinya. Sebelah kiri saya dapur yang jauh dari peradaban modern ibukota tertata beberapa tungku dari batu yang diatasnya ada ceret kemudian dandang ( dalam bahasa jawa kami menyebutnya) serta kendil untuk menanak nasi. Sarang laba- laba berwarna hitam karena langes atau jelaga dari kepulan asap tungku serta bambu sebagai penahan atap rumah juga berwarna hitam karena jelaga yang konon kata kakek saya di jawa justru jelaganya membuat penahan atapnya awet tidak mudah keropos.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

 

Usai makan malam kami berdua diantarkan kembali ke masjid dan di bolehkan untuk menginap di masjid. Karena perut kenyang terisi makanan rasa capek saya memudar dan kantuk pun tidak jadi datang. Sambil membawa kamera saya keluar masjid dan mengarahkan kamera ke langit membidik beberapa milkyway di atas kubah masjid. Suasana gelap gulita desa ini membawa berkah bagi pecinta gugusan bimasakti seperti saya. Gugusan bimaksakti akan malu menampakkan diri ketika terlalu banyak polusi cahaya. Malam yang begitu indah lengkap pula dengan momen indah yang tak akan pernah saya lupakan makan malam bersama keluarga bapak Ahmad. Terima kasih banyak pak Ahmad, Allah yang akan membalaskan semua kebaikan bapak. Kami berdua pamit dulu melanjutkan perjalanan ya pak sampai berjumpa lagi jika suatu saat nanti saya kembali ke Lembata.

Bonus Sunrise dari Pinggir jalan tak jauh dari perkampungan pak Ahmad

PertolonganNya Lewat Nelayan Di Pesisir Pulau Lembata

Pagi hari hujan lebat tetesan airnya berjatuhan diatas atap rumah bergemuruh bagaikan hempasan ombak menabrak karang. Dingin dan udara sejuk yang tak ku hirup seperti biasanya karena baru pagi ini di Kota Padang kurasakan dingin dan sejuk. 14 Juni 2015 masih menginjakkan kaki di ranah Minangkabau entah sampai kapan belum tahu pastinya. Belum mandi, ya karena dingin tak seperti biasanya malah langsung menyambar novel tentang perjalanan di samping tempat tidur. Membuka lembar demi lembar dan baru di lembaran ketiga saya teringat tentang perjalanan saya sendiri ketika melintasi sebagian bumi Indonesia Timur. Inti cerita yang teringat sebenarnya adalah ketika di ajak makan malam bersama keluarga bapak Ahmad petualang sejati dari Sulawesi yang mendamparkan dirinya di pesisir pulau Lembata.

Padang Garam sebelum masuk perkampungan penduduk

Gunung ILE APE dari kejauhan

Gunung ILE APE

Malam gelap tanpa cahaya sedikitpun kecuali dari lampu motor kami berdua yang terus menerobos gelap di jalan aspal rusak entah sudah berapa belas tahun tidak di perbaiki. Rumah penduduk terlihat bagaikan bayangan di kanan dan kiri seolah tanpa ada penghuninya. Bau debu berterbangan yang mengalahkan bau asap kedua motor kami. Suasana yang tenang dan hening seketika pecah oleh raungan mesin motor kami berdua serta bunyi dentuman shockbreker karena roda menari diatas jalanan yang hancur berantakan. Saya sendiri bingung dan tidak tau jika harus di suruh menirukan bagaimana suara tersebut jika di deskripsikan lewat suara mulut saya. Listrik yang belum sepenuhnya masuk ke desa ini *( tiang listrik dan kabel listrik secara fisik sudah ada namun listriknya hampir bisa di hitung jari berapa kali mengalirnya ke desa ) yang rupanya membuat gelap gulita tanpa cahaya. Sempat saya berfikir bahwa belum ada sama sekali jaringan listrik PLN yang menembus desa ini. Jalanan yang masih hancur berantakan seolah usai di hujani oleh ratusan geranat namun mulai tidak terlihat di kanan dan kiri rumah penduduk dan berganti dengan pepohonan. Suasana semakin sunyi senyap membuat tangan kami spontan menambah untiran gas motor agar kecepatan laju motor kami bertambah kencang. Hingga akhirnya kami tiba di pasar lelang ikan *( lebih tepatnya pasar kaget pinggir jalan, karena tidak terlihat seperti pasar namun hanya lapak lapak kecil di pinggir jalan yang menjajakan ikan segar ) dan terjadilah perdebatan antara saya dan Endang tentang apakah kami harus lanjut atau berhenti istirahat satu malam di Desa ( lupa namanya ). Di depan sebuah warung modern ( bagi saya modern karena sudah bertembok ) kami sedang berdiskusi alot karena saya ingin berhenti saja dan Endang ingin terus lanjut dan lebih khawatir istirahat di sekitar TPI karena sangat gelap. Akhirnya diputuskan untuk istirahat saja dan bertanya di mana ada masjid atau mushala kepada bapak pemilik warung, karena kami sepakat dan menghargai saran warga yang sempat kami temui ketika hari belum gelap di desa sebelumnya. Katanya selain jalanan gelap gulita sunyi senyap dan hampir tidak ada yang melewati ketika gelap, rusaknya jalan di manfaatkan beberapa orang tak baik untuk melakukan kejahatan. Setelah mendapat petunjuk kami segera menuju masjid yang terletak di dalam kampung dengan melewati jalan berbatu terus lurus saja dan kemudian belok kekanan di ujung jalan terlihat masjid setengah jadi. Tepat di ujung jalan perkampungan dan di tepi pantai yang debur ombaknya terdengar dari dalam masjid. Masjid sederhana dan masih setengah jadi namun terasa kehangatannya ketika di dalamnya. Langit gelap dan bertabur bintang serta milkyway menghiasi diatas kubah dan atap masjid. Seusai shalat magrib dan isya di jamak saya charge HP dengan powerbank ( tidak ada listrik ) serta menata beberapa perabotan dalam carir. Endang yang sedang sibuk menata baju serta kameranya dan menyiapkan lapak untuk tidur. Karena capek kami berdua tiduran sambil menunggu mata terpejam tiba- tiba kami di kejutkan oleh ketukan pintu masjid. “tok tok tok ( ketukan keras di pintu ) Assalamu’alaykum…. ” ucap seorang bapak dari luar masjid. ” Wa’alaykumsalam… ” sahut saya sambil bangun dari tiduran dan bergegas mengemasi barang- barang kemudian menuju pintu untuk membukanya. Ya langsung mengemasi barang karena kami tau masjid bukan untuk tidur/ numpang menginap ( tapi kami terpaksa), saya berfikir bahwa kami akan di usir oleh takmir masjid atau imam di masjid yang kami singgahi. Pintu pun saya buka dan terlihat di luar seorang bapak kira- kira berusia 40 tahun dengan obor menyala di genggaman tangannya. Tak saya sangka yang tadinya saya pikir akan mengusir kami berdua ternyata berucap ” nak mari kita makan malam dulu di rumah saya “, “ya Allah terima kasih banyak Engkau selalu mempertemukanku dengan orang- orang yang baik dalam setiap perjalanan saya”- gumam saya dalam hati.

Masjid yang kami singgahi semalam

Ruangan dalam masjid

Mengikuti jejak kaki bapak yang mengajak kami makan malam di rumahnya, tak jauh dari masjid kami sudah tiba. Di dalam ruang makan yang bersebelahan dengan dapur sudah ramai keluarga sedang berkumpul. ” sini kita makan dulu… ” ucap bapak sambil menyiapkan kursi untuk kami duduk yang kemudian membuka kerodong penutup makanan di atas meja. Tersaji sayur, nasi dan ikan laut goreng serta sambal yang terlihat begitu mewah dan istimewa bagi saya. ” Ayo makan dulu seadanya, adanya cuma begini ” ucap bapak yang kemudian saya sambar ” wah kalau ini sudah lebih dari seadanya pak ” sambil saya tersenyum kepada se isi ruangan. Selesai makan kami ngobrol sambil berkenalan yang kemudian saya tau nama bapak yang sangat baik hati ini adalah Ahmad. Seorang petualang tangguh dari Sulawesi yang akhirnya memilih untuk mendirikan rumah di tepi pantai pulau Lembata. Sudah belasan tahun pak Ahmad menggantungkan hidupnya di lautan demi mencari ikan. Berkah dari Allah untuk laut Nusa Tenggara Timur tidak pernah habis ikannya untuk menghidupi keluarga pak Ahmad. Sambil mendengarkan ceritanya ku pandangi segala isi ruangan ke segala penjuru. Istri pak Ahmad duduk sambil menggendong anaknya yang paling kecil kemudian dua anaknya yang lain sedang bercanda berlarian dan duduk pula dua saudara wanita pak Ahmad di samping istrinya. Sebelah kiri saya dapur yang jauh dari peradaban modern ibukota tertata beberapa tungku dari batu yang diatasnya ada ceret kemudian dandang ( dalam bahasa jawa kami menyebutnya) serta kendil untuk menanak nasi. Sarang laba- laba berwarna hitam karena langes atau jelaga dari kepulan asap tungku serta bambu sebagai penahan atap rumah juga berwarna hitam karena jelaga yang konon kata kakek saya di jawa justru jelaganya membuat penahan atapnya awet tidak mudah keropos.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

 

Usai makan malam kami berdua diantarkan kembali ke masjid dan di bolehkan untuk menginap di masjid. Karena perut kenyang terisi makanan rasa capek saya memudar dan kantuk pun tidak jadi datang. Sambil membawa kamera saya keluar masjid dan mengarahkan kamera ke langit membidik beberapa milkyway di atas kubah masjid. Suasana gelap gulita desa ini membawa berkah bagi pecinta gugusan bimasakti seperti saya. Gugusan bimaksakti akan malu menampakkan diri ketika terlalu banyak polusi cahaya. Malam yang begitu indah lengkap pula dengan momen indah yang tak akan pernah saya lupakan makan malam bersama keluarga bapak Ahmad. Terima kasih banyak pak Ahmad, Allah yang akan membalaskan semua kebaikan bapak. Kami berdua pamit dulu melanjutkan perjalanan ya pak sampai berjumpa lagi jika suatu saat nanti saya kembali ke Lembata.

Bonus Sunrise dari Pinggir jalan tak jauh dari perkampungan pak Ahmad

Labuhan Bajo Kian Tersohor

Untuk pertama kalinya kaki saya menginjak tanah Flores, Labuhan Bajo adalah tanah paling barat bagian dari Nusa Tenggara Timur. Setelah semalam mengarungi laut perbatasan antara Nusa Tenggara Barat dengan Nusa Tenggara Timur dari pelabuhan Sape menuju pelabuhan Labuhan Bajo. Di sambut oleh tanah pulau Komodo, satwa langka peninggalan jaman purba. Di Labuhan Bajo saya bukan untuk menengok hewan purba itu namun untuk sekedar memasuki gerbang tanah Flores. Selama di Labuhan Bajo saya bersama teman saya Endang Purwanto mengunjungi Goa batu cermin, Bukit Cinta dan Puncak Waringin. Tak banyak waktu kami untuk singgah berlama- lama di Labuhan Bajo, sebenarnya pesona yang utama adalah Pulau Komodo dan sekitarnya.

# Video Perjalanan Menuju NTT #

 

Sunrise Labuhan Bajo

Bulan Memerah pantulan sinar matahari

Kedatangan kami di Labuhan Bajo masih sangat pagi yaitu pukul 07:00 dan saya sendiri masih sempat di sambut matahari terbit dari Nusantara Timur ini. Cukup panjang waktu kami untuk menjelajah tanah Labuhan Bajo karena kami dapat start perjalanan dari pagi hari. Seusai sarapan pagi dan bersih badan kami langsung menuju tujuan pertama yaitu Goa Cermin.

Selamat Datang di Goa Cermin

Goa Cermin, Sebuah Goa yang terbentuk karena naiknya dasar laut yang berupa karang ke permukaan bumi. Sebagian besar tatanan Goa adalah terdiri dari batu karang dasar laut dan sedikit tanah yang melapisi lantainya. Banyak di temukan artefak pada dinding Goa berupa bentuk ikan, penyu, dan hewan laut lainnya. Lalu kenapa dinamakan Goa Cermin? bukan Goa Karang? nah jawabannya adalah karena ketika musim hujan pada salah satu ruang Goa akan tergenang air dan air itulah yang menimbulkan pantulan Goa bagian atas dan Bawah. Namun sesungguhnya pesona keindahan yang sesungguhnya bukan hanya cermin itu namun ketika terdapat cermin Air dan disaat matahari melewati sela- sela bebatuan karang terbentuklah pemandangan yang begitu indah. Selain pemandangan di dalam Goa ada juga keindahan yang dapat kita lihat dari atas atap Goa. Hamparan bukit gundul berambut tipis berwarna hijau kekuningan, kemudian di sela- selanya terdapat teluk kecil yang menambah kesempurnaan indahnya panorama Labuhan Bajo.

Lorong bambu menuju Goa

Gazebo

Dinding Dinding Goa

Memasuki Mulut Goa

Di dalam Ruangan Goa

Naik Ke Atas Atap Goa

View dari atas Atap Goa

Berdasarkan blog yang saya baca bahwa Labuhan Bajo mempunyai bukit yang bisa menikmati keindahan Labuhan Bajo dari atas. Bukit Cinta, sebuah bukit yang terkenal bahkan sampai ada sebuah novel yang menceritakan Bukit ini. Seorang teman saya Andina bilang kepada saya bahwa dia pernah membaca novel tentang seorang calon Dokter yang KKN di Labuhan Bajo dan sering mengunjungi Bukit Cinta. Bukit dengan sebatang Pohon menambah kecantikan Bukit ini. Bukit yang tak jauh dari Pelabuhan ini masih sangat alami dan belum tersentuh aroma wisata. Beberapa orang saja yang mau mengunjungi Bukit kecil ini. Laut dengan lekukan- lekukan teluknya terlihat begitu sempurna. Hembusan angin laut tercium dengan kuat diatas bukit. Panasnya terik matahari mampu di halau oleh sebatang pohon yang berdiri di bukit ini.

Bukit Cinta

Berteduh

Masih dalam ketinggian untuk melihat Pelabuhan, ya di Puncak Waringin. Puncak yang mempunyai pohon beringin dan di bawahnya di bangun cafe untuk bersantai pengunjungnya. Dari Puncak waringin saya dapat melihat aktifitas yang sedang terjadi di pelabuhan. Kapal terparkir di tepi pelabuhan. Para operator wisata pulau Komodo sibuk dengan urusan masing-masing. Dari jauh terlihat kapal- kapal pinisi yang sedang mendekat. Serta nelayan dengan perahu kecilnya pulang dari menangkap ikan. Konon kata warga setempat puncak waringin ini bagus ( romantis ) ketika malam hari karena kerlap- kerlip lampu resort di tepi pelabuhan menambah syahdu di keheningan malam.

Puncak Waringin

Puncak Waringin