Selasa, 11 Oktober 2016

Antara Weekuri, Pantai Mandorak dan Kampung Ratenggaro, Sumba Barat Daya

bandara tambolaka

Selamat datang di Tambolaka

09:00 saya sudah siap menunggu bus jurusan Surabaya ( Bungur asih ) dan pukul 22:00 barulah ada bus yang mengangkut saya menuju Bungur. Awalnya saya pikir dalam 2 jam saya sampai di terminal bungur, ya karena bus jenis ini terkenal ugal- ugalan di jalur panturan ( Semarang- Surabaya) namun entah apa yang di pikiran supir saat itu bus melaju sangat lambat bahkan dalam bahasa lebaynya melaju seperti keong. Saya tiba di Bungur sudah pukul 01:30 menunggu barangkali ada Damri dalam lebatnya hujan tengah malam. Info yang saya dapat dari penjaga toilet Damri paling awal adalah pukul 05:00 artinya saya bisa tiba di bandara sudah pukul 06:xx, tak lama pun datang supir taksi menawarkan jasa. Dengan sedikit terpaksa saya sikat harga 75ribu naik taksi ke bandara karena memang sudah tidak ada Damri jam segitu. Pukul 03:00 saya sudah ready di bandara Juanda dan hujan masih turun dengan deras mengguyur bumi. Belum sempet tidur karena sudah mepet juga mau tidur kemudian saya menghampiri travel partner saya Hafiz yang sudah menunggu sedari pukul 20:00. Gerbang check in sudah di buka kami langsung saja masuk dan menunggu flight pukul 06:05 naik Lion Air. Flight Surabaya – Denpasar Alhamdulillah lancar dan aman di tempuh dalam waktu 2 jam ( karena perbedaan waktu). Di Denpasar pindah pesawat ATR Wings Air menuju Tambolaka Sumba dan mendarat di Tambolaka Sumba pukul 12:00. Karena sudah sangat lapar tidak sempat sarapan kami segera mencari warung nasi, ketika sedang makan kami di hampiri orang tak di kenal yang menawarkan hotel. Ternyata yang akhirnya saya tahu namanya oktavianus ini adalah karyawan hotel Sinar Tambolaka yang di rekomendasikan teman saya. Seusai makan siang di bandara kami langsung menuju hotel Sinar dan check in, disini terpaksa check in room standar ( 350ribu/malam) karena room ekonomi sudah full dan hanya bisa menginap satu malam karena keesokan harinya semua full booked.

14522944_1351033211575686_1046876341964665008_n

Kamar Hotel Sinar Tambolaka

Selesai ngobrol dengan resepsionis hotel mengenai destinasi dan bagaimana cara kesana akhirnya kami beranikan diri keluar hotel dan melihat- lihat di sekitar. Tak butuh waktu lama kami langsung di serbu pasukan tukang ojek dan supir losbak. Tapi tak perlu khawatir disini mereka ramah dan tidak ada paksaan untuk menyewa mereka seperti di beberapa tempat lain. Akhirnya saya dan Hafiz deal dengan supir lossbak dan 2 temannya, kami menuju pantai mananga aba dan kampung adat bondo kampumbu. Setelah berkenalan kami cepat akrab dengan Agus, Doni dan Slavianus orang asli Sumba. Hari pertama di Sumba kami tutup dengan menunggu sunset di pelabuhan Waekelo. Sambil bercanda tawa dan minum bir ( mereka bertiga yang minum bir ) hingga matahari terbenam kemudian kami kembali ke hotel.

14581313_1350390754973265_98282697098299637_n

Kampung Adat Bondo Kapumbu

14494621_1343757355636605_4033824964122109694_n

Slavianus, Agus, Ketua Adat, Doni, Hafiz

14462909_1344557968889877_1917691184185760562_n

Anak- anak mengupas Asam

14632863_1351033711575636_4482527469381733701_n

Pantai Mananga Aba

14563329_1351035311575476_1466715824306076190_n

Sunset Pelabuhan Waekelo

14650559_1351034398242234_3218019992333186592_n

Sunset Waekelo

14632977_1351034644908876_5537185932749613996_n

Sunset Waekelo

04:00 terbangun dari tidur panjang dan cukup nyenyak. Gerimis biasanya kulihat manis kini justru membuatku cemas. Sampai akhirnya mobil bang doni yang kami sewa tiba pukul 08:20 namun gerimis belum juga reda. Bersyukur tidak jadi sewa motor karena sudah pasti basah kalau nekat atau tidak harus nunggu reda baru berangkat explore. Sebentar bangdoni jemput mama ke gereja baru kami berangkat pesiar ( bahasa orang NTT ) . Mayoritas penduduk Sumba adalar beragama kristen dan katolik sehingga banyak orang pigi ke gereja di minggu pagi. Selain Nasrani masih banyak pula masyarakat Sumba yang beragama/ ber keyakinan Marapu. Selesai bangdon jemput mama dari gereja kami segera berangkat, “Aman sudah!” kata bangdon. Perjalanan menuju Bondo Kodi dengan melintasi hutan jati dan beberapa perkampungan. Ada beberapa kemiripan yang saya temukan di Sumba dengan Tuban Jawa Timur. Hutan Jati, Rumah dari anyaman bambu kemudian mulai berganti tembok dari batu kapur, daratan sebagian besar sama sama di dominasi karang dasar laut yang muncul ke permukaan serta banyaknya pohon lontar yang di jadikan minuman ataupun gula khas daerah.

14641911_1351039434908397_676614467868851862_n

Hutan Jati Kodi

Tiba di desa Kodi kami menambah penumpang sekaligus guide kami menuju Danau/ Laguna Weekuri. Namanya Ongky adik ipar bangdon, asli dari bondokodi dan sudah bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sumba pada umumnya serta bahasa daerah Kodi itu sendiri. Kalau menurut cerita bangdon di Kodi ini masih banyak orang yang tinggal di pinggiran belum banyak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Sumba secara umum pun banyak yang belum bisa, sebagian besar bisa dan pandai bahasa daerah Kodi saja. Ya memang bahasa Kodi dan Weetabula sudah berbeda. Ongky adalah lahir di Kodi dan kini dia adalah seorang lulusan SMA dan lebih sering bekerja sebagai supir truck ekspedisi dari jawa timur/ Surabaya ke Sumba. Di tengah perjalanan bangdon tetiba mendapat telp dari bos nya yang tempo hari memesan Tanah kavling di Sumba Barat Daya. Karena bangdon tidak bisa menemani maka kendali mobil di serahkan kepada Ongky. Biar bangdon tenang mengurus penjualan tanah dengan Bos nya dari Bali. Ya memang benar sedang ada penjualan tanah besar besaran di Sumba. Lanjut perjalanan menuju Weekuri, sebentar kami melewati jalan kampung yang masih cukup bagus dan sebentar kami melewati jalanan tak beraspal menuju laguna weekuri. Dari jalan tak beraspal masih 1 jam perjalanan karena jalan yang tidak bagus maka laju kendaraan pun tak bisa berlari kencang.

14479634_1343757175636623_8628880045892867561_n

Fathur, Ongky, Hafiz

14440607_1344560025556338_8243345398941457116_n

Laguna Weekuri

14457354_1344559685556372_822153130194312493_n

Sebuah laguna, ya laguna karena air yang masuk adalah air laut melalui sela sela batu karang dalam bahasa Sumba mempunyai arti weekuri adalah air yang dikupas. Jernihnya air laguna dan tenang terlihat gradasi warna tosca ke hijau permata. Laguna dengan di kelilingi oleh batu karang dan berbatasan langsung dengan laut. Saat hari minggu atau liburan Weekuri sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan, baik dari daerah lain di Sumba bahkan dari luar Pulau Sumba sekalipun. Untuk kebersihan di Weekuri masih terbilang cukup terjaga namun sayangnya belum ada tempat sampah yang memadai untuk pengunjung membuang sampahnya. Sebentar saya berenang di laguna merasakan air yang sebening kaca dan dingin menyegarkan. Saya lihat- lihat sekeliling di bawah air tidak nampak adanya kehidupan baik coral maupun ikan. Puas berenang saya naik dan menutup acara di Weekuri dengan mengambil foto serta video dari tebing batas laguna dengan laut.

Tak jauh dari laguna Weekuri kami melanjutkan explore ke pantai mandorak. Pantai kecil dan seolah terdapat mulut/ gerbang yang terbentuk oleh batu karang. Pemandangan dari atas batu karang dan pantai sangat indah. Selain pemandangannya yang indah banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar pantai ini. Para nelayan langsung menjual hasil tangkapanya di pinggir pantai. Dengan perahu kecil/ sampan mereka menjaring ikan sedapatnya dan ada pula yang lainnya dengan cara memancing dari atas batu karang. Tidak begitu lama kami di pantai Mandorak dan langsung melanjutkan ke kampung adat terbesar di Sumba yaitu Ratenggaro. Untuk lama perjalanan dari Weekuri/ Mandorak menuju Ratenggaro sekitar 1 jam. Ratenggaro ini salah satu kampung adat terbesar dengan kubur batu terbanyak di Sumba. Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adat (Uma Kelada) dengan menara yang menjulang tinggi mencapai 15 meter, berbeda dengan rumah – rumah adat di kampung lainnya yang tinggi menaranya hanya mencapai 8 meter. Ratenggaro yang berarti Kubur Garo ini ada 304 buah kubur batu dan 3 diantaranya berbentuk unik yang terletak dipinggir laut dan merupakan kuburan bersejarah. Masyarakat dikampung ini masih mempraktekkan tradisi Marapu dan adat istiadat peninggalan leluhur seperti kampung – kampung lain pada umumnya yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasi situs Kampung Ratenggaro berdekatan dengan situs kampung Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara sungai Waiha dengan bentangan pantai berpasir putih. Kampung Ratenggaro juga sering di datangi oleh wisatawan kapal pesiar karena terletak di pinggir pantai dan terlihat jelas dari kejauhan ketika berada di atas kapal, serta sangat mudah dijangkau dari bibir pantai dengan berjalan kaki sekitar 200 meter. Namun sayang di hari kedua kami explore terpaksa ada 2 destinasi yang di skip, yaitu pantai mbawana dan pantai watu maladong. Dengan alasan jauh dan jalan yang rusak akan memakan waktu kurang lebih 2 jam.

Video Perjalanan Sumba

14650561_1351036231575384_229955269109895450_n

Pantai Mandorak

14632853_1351036814908659_2407927109890405934_n

14610991_1351037221575285_8134214227095367582_n

Kubur batu Ratenggaro

Setelah dari Ratenggaro kami kembali menuju Waetabula untuk menunggu bus yang menuju Waikabubak. Diantarkan Ongky dengan oto bangdoni kami melaju kencang agar tidak ketinggalan bus. Bus terakhir dari Waetabula menuju Waikabubak adalah pukul 17:00 WITA. Setibanya di Waikabubak kami turun di Polsek kemudian berjalan sebentar ke Hotel Pelita dengan tarif 250/ malam. Kemudian sembari mencari makan malam dan mencari info adakah hotel lain yang lebih murah. Sambil makan nasi soto ayam kami mendapat info dari pemilik warung bahwa ada wisma yang harganya jauh lebih murah yaitu 100ribu/ malam. Dengan diantar anak pemilik warung kami menuju wisma yang tak jauh dari warung si bapak.

14680785_1351040574908283_6955696490559651560_n

Suasana malam Waikabubak

 

Video Sumba

 

Cerita Lanjutannya Selama di Sumba

http://tjuputography.com/air-terjun-lapopu-dan-matayangu-sumba-barat.html

http://tjuputography.com/puru-kambera-kakaroluk-loku-sumba-timur.html

http://tjuputography.com/watu-parunu-kaliuda-waimarang-bagian-timur-sumba-timur.html

Tarimbang & Wairinding, Sumba Bagian Tengah

http://tjuputography.com/laputi-sumba-bagian-tengah.html

http://tjuputography.com/waingapu-sumba-timur.html

Antara Weekuri, Pantai Mandorak dan Kampung Ratenggaro, Sumba Barat Daya

bandara tambolaka

Selamat datang di Tambolaka

09:00 saya sudah siap menunggu bus jurusan Surabaya ( Bungur asih ) dan pukul 22:00 barulah ada bus yang mengangkut saya menuju Bungur. Awalnya saya pikir dalam 2 jam saya sampai di terminal bungur, ya karena bus jenis ini terkenal ugal- ugalan di jalur panturan ( Semarang- Surabaya) namun entah apa yang di pikiran supir saat itu bus melaju sangat lambat bahkan dalam bahasa lebaynya melaju seperti keong. Saya tiba di Bungur sudah pukul 01:30 menunggu barangkali ada Damri dalam lebatnya hujan tengah malam. Info yang saya dapat dari penjaga toilet Damri paling awal adalah pukul 05:00 artinya saya bisa tiba di bandara sudah pukul 06:xx, tak lama pun datang supir taksi menawarkan jasa. Dengan sedikit terpaksa saya sikat harga 75ribu naik taksi ke bandara karena memang sudah tidak ada Damri jam segitu. Pukul 03:00 saya sudah ready di bandara Juanda dan hujan masih turun dengan deras mengguyur bumi. Belum sempet tidur karena sudah mepet juga mau tidur kemudian saya menghampiri travel partner saya Hafiz yang sudah menunggu sedari pukul 20:00. Gerbang check in sudah di buka kami langsung saja masuk dan menunggu flight pukul 06:05 naik Lion Air. Flight Surabaya – Denpasar Alhamdulillah lancar dan aman di tempuh dalam waktu 2 jam ( karena perbedaan waktu). Di Denpasar pindah pesawat ATR Wings Air menuju Tambolaka Sumba dan mendarat di Tambolaka Sumba pukul 12:00. Karena sudah sangat lapar tidak sempat sarapan kami segera mencari warung nasi, ketika sedang makan kami di hampiri orang tak di kenal yang menawarkan hotel. Ternyata yang akhirnya saya tahu namanya oktavianus ini adalah karyawan hotel Sinar Tambolaka yang di rekomendasikan teman saya. Seusai makan siang di bandara kami langsung menuju hotel Sinar dan check in, disini terpaksa check in room standar ( 350ribu/malam) karena room ekonomi sudah full dan hanya bisa menginap satu malam karena keesokan harinya semua full booked.

14522944_1351033211575686_1046876341964665008_n

Kamar Hotel Sinar Tambolaka

Selesai ngobrol dengan resepsionis hotel mengenai destinasi dan bagaimana cara kesana akhirnya kami beranikan diri keluar hotel dan melihat- lihat di sekitar. Tak butuh waktu lama kami langsung di serbu pasukan tukang ojek dan supir losbak. Tapi tak perlu khawatir disini mereka ramah dan tidak ada paksaan untuk menyewa mereka seperti di beberapa tempat lain. Akhirnya saya dan Hafiz deal dengan supir lossbak dan 2 temannya, kami menuju pantai mananga aba dan kampung adat bondo kampumbu. Setelah berkenalan kami cepat akrab dengan Agus, Doni dan Slavianus orang asli Sumba. Hari pertama di Sumba kami tutup dengan menunggu sunset di pelabuhan Waekelo. Sambil bercanda tawa dan minum bir ( mereka bertiga yang minum bir ) hingga matahari terbenam kemudian kami kembali ke hotel.

14581313_1350390754973265_98282697098299637_n

Kampung Adat Bondo Kapumbu

14494621_1343757355636605_4033824964122109694_n

Slavianus, Agus, Ketua Adat, Doni, Hafiz

14462909_1344557968889877_1917691184185760562_n

Anak- anak mengupas Asam

14632863_1351033711575636_4482527469381733701_n

Pantai Mananga Aba

14563329_1351035311575476_1466715824306076190_n

Sunset Pelabuhan Waekelo

14650559_1351034398242234_3218019992333186592_n

Sunset Waekelo

14632977_1351034644908876_5537185932749613996_n

Sunset Waekelo

04:00 terbangun dari tidur panjang dan cukup nyenyak. Gerimis biasanya kulihat manis kini justru membuatku cemas. Sampai akhirnya mobil bang doni yang kami sewa tiba pukul 08:20 namun gerimis belum juga reda. Bersyukur tidak jadi sewa motor karena sudah pasti basah kalau nekat atau tidak harus nunggu reda baru berangkat explore. Sebentar bangdoni jemput mama ke gereja baru kami berangkat pesiar ( bahasa orang NTT ) . Mayoritas penduduk Sumba adalar beragama kristen dan katolik sehingga banyak orang pigi ke gereja di minggu pagi. Selain Nasrani masih banyak pula masyarakat Sumba yang beragama/ ber keyakinan Marapu. Selesai bangdon jemput mama dari gereja kami segera berangkat, “Aman sudah!” kata bangdon. Perjalanan menuju Bondo Kodi dengan melintasi hutan jati dan beberapa perkampungan. Ada beberapa kemiripan yang saya temukan di Sumba dengan Tuban Jawa Timur. Hutan Jati, Rumah dari anyaman bambu kemudian mulai berganti tembok dari batu kapur, daratan sebagian besar sama sama di dominasi karang dasar laut yang muncul ke permukaan serta banyaknya pohon lontar yang di jadikan minuman ataupun gula khas daerah.

14641911_1351039434908397_676614467868851862_n

Hutan Jati Kodi

Tiba di desa Kodi kami menambah penumpang sekaligus guide kami menuju Danau/ Laguna Weekuri. Namanya Ongky adik ipar bangdon, asli dari bondokodi dan sudah bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sumba pada umumnya serta bahasa daerah Kodi itu sendiri. Kalau menurut cerita bangdon di Kodi ini masih banyak orang yang tinggal di pinggiran belum banyak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Sumba secara umum pun banyak yang belum bisa, sebagian besar bisa dan pandai bahasa daerah Kodi saja. Ya memang bahasa Kodi dan Weetabula sudah berbeda. Ongky adalah lahir di Kodi dan kini dia adalah seorang lulusan SMA dan lebih sering bekerja sebagai supir truck ekspedisi dari jawa timur/ Surabaya ke Sumba. Di tengah perjalanan bangdon tetiba mendapat telp dari bos nya yang tempo hari memesan Tanah kavling di Sumba Barat Daya. Karena bangdon tidak bisa menemani maka kendali mobil di serahkan kepada Ongky. Biar bangdon tenang mengurus penjualan tanah dengan Bos nya dari Bali. Ya memang benar sedang ada penjualan tanah besar besaran di Sumba. Lanjut perjalanan menuju Weekuri, sebentar kami melewati jalan kampung yang masih cukup bagus dan sebentar kami melewati jalanan tak beraspal menuju laguna weekuri. Dari jalan tak beraspal masih 1 jam perjalanan karena jalan yang tidak bagus maka laju kendaraan pun tak bisa berlari kencang.

14479634_1343757175636623_8628880045892867561_n

Fathur, Ongky, Hafiz

14440607_1344560025556338_8243345398941457116_n

Laguna Weekuri

14457354_1344559685556372_822153130194312493_n

Sebuah laguna, ya laguna karena air yang masuk adalah air laut melalui sela sela batu karang dalam bahasa Sumba mempunyai arti weekuri adalah air yang dikupas. Jernihnya air laguna dan tenang terlihat gradasi warna tosca ke hijau permata. Laguna dengan di kelilingi oleh batu karang dan berbatasan langsung dengan laut. Saat hari minggu atau liburan Weekuri sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan, baik dari daerah lain di Sumba bahkan dari luar Pulau Sumba sekalipun. Untuk kebersihan di Weekuri masih terbilang cukup terjaga namun sayangnya belum ada tempat sampah yang memadai untuk pengunjung membuang sampahnya. Sebentar saya berenang di laguna merasakan air yang sebening kaca dan dingin menyegarkan. Saya lihat- lihat sekeliling di bawah air tidak nampak adanya kehidupan baik coral maupun ikan. Puas berenang saya naik dan menutup acara di Weekuri dengan mengambil foto serta video dari tebing batas laguna dengan laut.

Tak jauh dari laguna Weekuri kami melanjutkan explore ke pantai mandorak. Pantai kecil dan seolah terdapat mulut/ gerbang yang terbentuk oleh batu karang. Pemandangan dari atas batu karang dan pantai sangat indah. Selain pemandangannya yang indah banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar pantai ini. Para nelayan langsung menjual hasil tangkapanya di pinggir pantai. Dengan perahu kecil/ sampan mereka menjaring ikan sedapatnya dan ada pula yang lainnya dengan cara memancing dari atas batu karang. Tidak begitu lama kami di pantai Mandorak dan langsung melanjutkan ke kampung adat terbesar di Sumba yaitu Ratenggaro. Untuk lama perjalanan dari Weekuri/ Mandorak menuju Ratenggaro sekitar 1 jam. Ratenggaro ini salah satu kampung adat terbesar dengan kubur batu terbanyak di Sumba. Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adat (Uma Kelada) dengan menara yang menjulang tinggi mencapai 15 meter, berbeda dengan rumah – rumah adat di kampung lainnya yang tinggi menaranya hanya mencapai 8 meter. Ratenggaro yang berarti Kubur Garo ini ada 304 buah kubur batu dan 3 diantaranya berbentuk unik yang terletak dipinggir laut dan merupakan kuburan bersejarah. Masyarakat dikampung ini masih mempraktekkan tradisi Marapu dan adat istiadat peninggalan leluhur seperti kampung – kampung lain pada umumnya yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasi situs Kampung Ratenggaro berdekatan dengan situs kampung Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara sungai Waiha dengan bentangan pantai berpasir putih. Kampung Ratenggaro juga sering di datangi oleh wisatawan kapal pesiar karena terletak di pinggir pantai dan terlihat jelas dari kejauhan ketika berada di atas kapal, serta sangat mudah dijangkau dari bibir pantai dengan berjalan kaki sekitar 200 meter. Namun sayang di hari kedua kami explore terpaksa ada 2 destinasi yang di skip, yaitu pantai mbawana dan pantai watu maladong. Dengan alasan jauh dan jalan yang rusak akan memakan waktu kurang lebih 2 jam.

Video Perjalanan Sumba

14650561_1351036231575384_229955269109895450_n

Pantai Mandorak

14632853_1351036814908659_2407927109890405934_n

14610991_1351037221575285_8134214227095367582_n

Kubur batu Ratenggaro

Setelah dari Ratenggaro kami kembali menuju Waetabula untuk menunggu bus yang menuju Waikabubak. Diantarkan Ongky dengan oto bangdoni kami melaju kencang agar tidak ketinggalan bus. Bus terakhir dari Waetabula menuju Waikabubak adalah pukul 17:00 WITA. Setibanya di Waikabubak kami turun di Polsek kemudian berjalan sebentar ke Hotel Pelita dengan tarif 250/ malam. Kemudian sembari mencari makan malam dan mencari info adakah hotel lain yang lebih murah. Sambil makan nasi soto ayam kami mendapat info dari pemilik warung bahwa ada wisma yang harganya jauh lebih murah yaitu 100ribu/ malam. Dengan diantar anak pemilik warung kami menuju wisma yang tak jauh dari warung si bapak.

14680785_1351040574908283_6955696490559651560_n

Suasana malam Waikabubak

 

Video Sumba

 

Cerita Lanjutannya Selama di Sumba

http://tjuputography.com/air-terjun-lapopu-dan-matayangu-sumba-barat.html

http://tjuputography.com/puru-kambera-kakaroluk-loku-sumba-timur.html

http://tjuputography.com/watu-parunu-kaliuda-waimarang-bagian-timur-sumba-timur.html

Tarimbang & Wairinding, Sumba Bagian Tengah

http://tjuputography.com/laputi-sumba-bagian-tengah.html

http://tjuputography.com/waingapu-sumba-timur.html

Minggu, 17 April 2016

Naik Andong Melihat Alap- alap, Magelang Jawa Tengah

puncak Alap-alap

puncak Alap-alap

Baiklah sebenernya ini bukan beneran naik andong/ delman tapi ini adalah sebuah pendakian *huah gaya banget pendakian. Awalnya dari mana ya saya juga bingung, tapi intinya datang sebuah pesan lewat BBM yang menanyakan apakah boleh meminjam tenda?. Bersambung dengan obrolan secara langsung bahwa ucup mau meminjam tenda untuk naik ke gunung Andong. Entahlah saya mendadak galau dengan mau naik gunung dan di situ saya di ajak sekalian daripada cuma pinjam tenda katanya. Dan… saya pun tergoda ikut mereka naik Gunung Andong. Seminggu sebelum berangkat naik gunung Andong saya balik lagi dinas ke kota Tuban meyelesaikan beberapa pendingan kerjaan. Selesai kerjaan di Tuban tepatnya pukul 00:00 saya bertolak dari Tuban menuju Boyolali lewat Semarang karena oper bis cuma sekali. Sampai di Boyolali sudah terang dan waktu menunjukkan pukul 08:00. Sabtu 2 April 2016 sebelum ke Magelang saya benerin motor yang sedang rusak walau akhirnya tidak bisa di pakai ke Magelang juga. Kemudian packing yang mau di bawa untuk pendakian. Sudah 2 tahun lebih tidak naik gunung apakah saya masih kuat untuk memulainya lagi? ntahlah saya jalani saja. Tas carier kecil 50 liter saya isi dengan celana dan kaos ganti buat jaga- jaga kalau hujan kemudian hammock yang pada akhirnya gak di pakai dan beberapa roti serta minuman yang dibelikan sama ibu. Karena sleeping bag saya terlalu besar dan menuh- menuhin tas justru saya tinggalkan.

 

Meeting point di simpang 5 kota Boyolali bertemu dengan Ucup, Joko, Cahyo, Burhan dan Aan. Kami berangkat bertujuh di tambah saya dan adek saya Ahsin. Perjalanan dari Boyolali menuju basecamp pendakian kami tempuh dengan 5 motor saya sendiri, Joko sendiri, Ucup dengan Burhan, Cahyo dengan Ahsin dan Aan sendiri. Perjalanan santai jalanan pun ramai karena malam minggu banyak orang yang mencari hiburan dengan teman atau pacar ke kota atau sekedar ke tempat makan. Jalur yang kami lewati adalah Boyolali- Ampel- Ringroad Salatiga dan sebelum Ambarawa ada perempatan besar kalau ke kiri adalah ke arah Kopeng & Magelang. Kami ambil jalan kekiri arah Kopeng dan ikuti terus hingga tiba di daerah Ngablak Magelang. Tiba di Desa Ngablak kami di sambut beberapa warga yang memang menyiapkan rumah mereka untuk sekedar istirahat sementara para pendaki. Udara dingin suasana tenang dan sepi khas pegunungan. Merdu jangkrik beradu dengan tiupan angin menggetarkan pepohonan. Hening suasana malam tiba- tiba pecah oleh canda tawa kami sebelum menanjak menuju puncak Alap- alap. Konon kata warga pendakian via Gogik ini cuma butuh waktu 1,5 jam jalan santai.

Gunung Andong

Gunung Andong

Waktu sudah menunjukkan pukul 00:00 kami segera bersiap memulai pendakian. Jalur pendakian via Gogik ini di awali dengan melewati jalan setapak samping sebuah pondok pesantren. Kemudian masuk ke kebun warga desa dan mulai berganti jalan setapak khas jalur gunung dengan di samping kanan kiri pohon cemara. Ternyata benar baru 15 menit pertama pendakian saya sudah merasa kecapekan dan nafas menjadi tersenggal- senggal. Pos 1 kami istirahat sebentar sambil mengisi tenaga dan saling koordinasi dengan yang lain. Setelah cukup istirahat kami melanjutkan pendakian dan herannya mulai masuk 15 menit kemudian badan saya terasa semakin panas di ikuti tenaga seperti mengisi terus. Sepertinya habbit tubuh saya sudah kembali lagi, ketika sudah panas berjalan jadi tak merasakan capek dan lemas. Namun di luar tenaga saya yang gak habis- habis ada Aan dan Ucup yang semakin kecapekan dan kami harus pelan- pelan dalam perjalanan. Pendakian kami sangat santai dan banyak istirahat namun tak terasa sudah 1,5 jam kami lalui namun belum juga tiba di puncak Alap- alap. Punggungan gunung sebelum puncak malam itu sungguh riskan bagi kami, punggungan yang hanya setapak di kanan dan kiri adalah langsung curam jatuh ke dasar. Jalan perlahan dan terkadang harus merangkak berhati- hati agar tidak terjatuh. Kabut dan angin kencang tiba- tiba datang menemani di akhir pendakian kami menuju puncak. Visibility menjadi sangat kurang karena tebalnya kabut yang menutupi jalan kami.

12936665_1196189017060107_2954395052266519008_n

Tiba di puncak Alap- alap sudah menunjukkan pukul 02:00 kami segera mendirikan tenda, ya tenda kapasitas 3 orang sedangkan 4 orang lagi tidur diluar tenda berbekal sarung. 2 jam pendakian membuat kami cukup membutuhkan waktu untuk istirahat agar esok harinya bisa menanti dan menikmati sunrise dengan segar. Saya, Ahsin, dan Cahyo tidur di luar tenda sedangkan Ucup hingga sang fajar hampir menghampiri sendiri menghabiskan 3 batang rokok dalam kegelapan dan dinginnya udara puncak Alap- alap. Pukul 05:00 kami terbangun dan angin berhembus kencang udara menjadi semakin dingin terpaksa badan kami saling berhimpitan agar tidak terlalu terasa dingin. Waktu menunjukkan pukul 05:30 dan langit mulai semburat memerah namun sepertinya matahari tidak muncul sempurna karena terhalang awan tebal menghitam. Guratan- guratan merah menghiasi langit biru gelap sudah cukup mengobati capek semalaman mendaki. Rumpu kehijauan pun perlahan mulai nampak dan menambah menghiasi frame kamera kami yang datang menikmati sunrise Gunung Andong.

11140007_1196556030356739_4024304940676728926_n

Awan UVO

10426744_1197673470244995_616660524796693053_n

Dengan Foreground Rerumputan

12512415_1196309170381425_424147007816537883_n

Sunrise Hunter

12670879_1196312560381086_852686961321167510_n

Selfie ria

12919925_1196311313714544_7182246588971364939_n

Abaikan

12920260_1196312943714381_934252681216044614_n

Travollution

12928345_1197164310295911_1012535898366061770_n

Kembang Kabur kanginan

12920394_1196312477047761_1841157315425172072_n 12923115_1196295417049467_8607928385350464305_n 12938107_1197080253637650_8312502855062373512_n 12938200_1200934273252248_6181823802308418742_n 12963347_1196310383714637_2709762406642320471_n 12963490_1202013286477680_4786632800428549015_n 12963514_1199370506741958_7431094584633364003_n 12993491_1203492242996451_7912529357376383995_n 13001074_1200694809942861_6551670929641501901_n

Waktu terus berjalan tanpa tau kami sedang asik menikmati dingin nan menyejukkan kulit, hati dan mata di paginya Andong. Sinar keemasan matahari pagi mulai berganti dengan kabut tipis lambat laun semakin menebal. Mulai tak nampak puncak yang ada di sebelah yang konon disana berdiri sebuah makam. Kabut semakin tebal menelan banyak pemandangan yang tadinya kami nikmati. Kami pun mulai mati gaya dan tak tau lagi mau bergaya apa atau mau ngapain. Kumpulkan pasukan rapatkan barisan dan berkemas rapikan tenda dalam lipatan. Pasukan siap untuk menuruni jalur pendakian dan pulang menuju rumah masing- masing.

12494860_1196315653714110_9006631031589616385_n 13001153_1202763373069338_6269440830592878765_n 13006535_1201698763175799_8036943156678732856_n 13007169_1203500012995674_3573714743333530256_n 13010601_1202036953141980_526451439745910194_n

Karena hampir semua kurang istirahat malam dalam perjalanan kami semua sempat oleng ketika berkendara. Turun sampai di beskem gogik pun kami tak istirahat terlebih dahulu. Setelah siap melaju kami semua pun segera meninggalkan beskem Gogik dan mampir sebentar ke warung makan. Namun justru semakin kantuk tak tertahankan ketika perut kami di isi dengan makanan. Kami berjuang sekuat tenaga agar tidak ketiduran ketika berkendara. Cukup tangguh karena kami mampu menempuh perjalanan dengan rasa kantuk yang kuat hingga 1 jam perjalanan. Untuk menghindari hal hal yang tidak di inginkan kami pun mampir sebentar di Pom bensin untuk tidur sebentar barang 15-30 menit agar berkurang rasa kantuk.